Mataku terbuka. Aku menyempatkan tidur sore setelah pulang bekerja dari restoran. Aku duduk. Menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Aku menatap seluruh isi flat. Tak ada yang istimewa. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu. Aku tersenyum getir. Kalau diingat-ingat lagi, Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama bagi seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Di lain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.
Sudahlah. Tak ada waktu untuk menyesali kehidupan kini. Toh waktu tak akan berhenti untuk memberi ruang bagiku. Aku bergegas bangkit untuk segera berangkat ke bar. Sebentar lagi matahari akan sepenuhnya terbenam. Aku sudah harus tiba lebih awal.
Crack!
Suara pecahan kaca terdengar membuatku kembali tersadar. Aku melihat kepingan pecahan gelas sudah berserakan tak jauh dari kakiku.
“Kau tak apa?” Jisung bergegas mendekat. Aku langsung berjongkok untuk memungut pecahan itu satu persatu. “Jangan di pegang,” Jisung melarangku dan segera mengambil sapu di belakang hendak membersihkan pecahan kaca yang berserakan di sekitar kakiku.
“Berdirilah!” katanya. “Biar aku saja.” Aku merasa tak enak jika Jisung yang harus membersihkan kekacauan yang aku perbuat. Tapi Jisung tak membiarkanku mengambil alih sapu dari tangannya.
“Apa yang terjadi?” Hwan sudah berdiri di sampingku. Sontak aku memegangi dada karena kaget. “Aku tak sengaja menjatuhkan gelas,” jawabku sambil tertunduk. Untunglah belum banyak pelanggan yang datang jam segitu sehingga tak ada yang menyadari kejadian barusan kecuali kami bertiga. Jisung juga sangat sigap membersihkan sisanya.
“Kau pesankan gelas baru saja!” Hwan memberi instruksi pada Jisung. Aku membelalak. Aku tak tahu apakah Hwan marah padaku atau tidak. Tapi kenapa dia membeli gelas baru padahal aku hanya memecahkan satu gelas saja?
Hwan meninggalkan kami berdua di sana. Aku segera menyusulnya. “Maaf Hwan.”
Pria yang dipanggil namanya itu berhenti lalu berbalik. “Kau bisa memotong gajiku sebagai ganti gelas yang sudah kupecahkan. Bagaimanapun aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah kulakukan.”
“Tak perlu, lagi pula gelas itu sudah cukup lama di pakai. Aku memang ingin menggantinya dengan yang baru,” tolak Hwan. “Gajimu tak akan cukup,” bisiknya sambil mencondongkan badannya ke arah telingaku. Ucapannya terdengar seperti meledek di telingaku.
“Tapi…”
“Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi. Kembalilah bekerja.” Hwan menepuk pelan pundakku. Astaga. Dimana lagi aku bisa menemukan bos sebaik ini? ramah pula. Walau sebenarnya tampangnya tak terlalu mendukung. Aku akui dia memiliki wajah yang tampan. Hidung kecil nan mancung. Dia juga tinggi. Tampak begitu gagah dalam balutan kemeja dengan potongan leher rendah. Di mataku dia tampak seperti pria yang suka bergonta-ganti wanita. Tapi aku tak pernah begitu tertarik dengan kehidupan orang lain.
“Terima kasih,” aku sedikit membungkukkan badan. “Kalalu begitu, aku akan lebih bekerja keras,” kataku sambil mengangkat tangan yang terkepal. Menunjukkan kalau aku akan bekerja lebih semangat. Aku menatapnya penuh tekad lalu segera membalikkan badan kembali bekerja.
“Kau ada masalah? Sampai melamun begitu,” Jisung langsung bertanya begitu aku sudah tiba di dekatnya. Dia melirikku sekilas karena sibuk meracik minuman untuk pelanggan. Tak lama kemudian Haeri datang untuk mengambilnya.
“Hwan itu orang yang seperti apa?” tanyaku mengalihkan pertanyaan Jisung.
“Hwan? Kenapa? Kau tertarik padanya?” tanya Jisung.
“Tidak,” balasku spontan. Dia berbicara seperti tak ada beban. Kata-kata itu begitu mudah meluncur dari mulutnya. “Kau tak perlu bereaksi berlebihan seperti itu,” lanjutnya lagi setelah melihat raut wajahku yang terkejut. “Ya…begitu, seperti yang kau lihat. Tapi sebenarnya dia jauh lebih kaya dari yang kau pikirkan,” bisiknya lagi.
Aku tampak tak menunjukkan ketertarikan ketika Jisung mengatakan kalau Hwan bukanlah dari kalangan bawah sepertiku. Kesimpulannya adalah dia jauh di atas awan. Sangat sulit untuk digapai.
*****
Aku belajar meracik minuman baru dari Jisung. Bar menamainya Teardrop. Minuman dengan campuran sedikit vodka. Salah satu menu yang paling mahal di bar ini. Jisung bilang sangat jarang orang yang memesan minuman ini. Jadi aku harus sangat berhati-hati. Jangan sampai membuat kesalahan atau bar akan kehilangan pelanggan VIP. Dia juga bilang ada satu pelanggan tetap yang selalu memesan minuman ini setiap kali ke sini.
“Siapa? Pasti dia sangat kaya,” kataku takjub. Harga satu gelas Teardrop mungkin bisa menghidupiku selama satu tahun bahkan lebih. Tentu saja bercanda. Yang jelas harganya sangat mahal untuk orang sepertiku.
“Ada,” Jisung melirik jam tangannya. “Seharusnya dia sudah di sini sebentar lagi,” kata Jisung. “Pastikan kau tak membuat kesalahan,” lanjutnya mengingatkan. Tiba-tiba aku menjadi gugup tanpa sebab. Apakah karena ini racikan pertamaku yang akan di coba oleh orang lain? Bukan orang biasa. Tapi pelanggan VIP.
Benar saja. Tak lama kemudian, seorang laki-laki sudah menduduki meja di depan kami. Jisung menganggukkan sedikit kepala memberi kode. Dialah orangnya. Aku menarik nafas pelan. Semoga dia tak merasakan perbedaan yang kentara dalam minuman yang baru saja kuletakkan di depannya.
Aku menyerngitkan kening. Teringat pria yang datang beberapa hari lalu tepat di hari pertamaku bekerja. Aku menilik sudut matanya. Pertanda kalau dia orang yang sama dengan ingatanku. Pria itu menenggak minumannya dalam sekali tegukan. Aku melirik Jisung. Dia menyuruhku untuk kembali membuat racikan Teardrop. Aku melakukannya hingga beberapa kali. Sekarang aku meletakkan gelas yang ke-enam.
Pria itu sudah tampak mabuk. Matanya terbuka setengah. Tepat saat itu Hwan kembali muncul di sampingku. Aku terlonjak kaget sambil memegangi dada. Dia selalu saja datang tiba-tiba. Dan aku tak pernah mendengar langkah kakinya ketika mendekat sehingga membuatku tak punya persiapan untuk menyambutnya.
“Astaga. Kenapa kau membiarkannya datang ke sini lagi?” kata Hwan pada Jisung. “Bukan aku yang menjaga pintu utama, bagaimana aku bisa tahu,” terang Jisung tak mau disalahkan. Hwan dan Jisung sudah mengenal selama hampir sepuluh tahun. Tetapi hubungan mereka tak pernah berkembang. Keduanya masih saja sama-sama kaku. Terlebih sekarang posisi Hwan adalah bos Jisung. Hubungan merekapun tak lebih dari sebatas atasan dan bawahan.
Hwan mengitari meja bar dan menghampiri pria yang sudah setengah mabuk di depanku. Dia menendang kaki pria itu sekali. “Hei! Sudah kubilang jangan kesini, kenapa kau tak pernah mengerti?” kata Hwan.
Pria itu mengangkat kepala. “Memangnya ada alasan aku tidak boleh ke sini? Tidak ada kan,” balas pria itu datar sambil memutar gelas di meja. Memainkan es batu di dalamnya.
“Pergilah kalau sudah selesai!” Hwan memberi instruksi. “Kenapa aku tidak boleh berlama-lama di sini?” sahut pria itu lagi.
“Kim Sam!” seru Hwan meninggikan suaranya. Aku terkesiap. Begitu pula dengan Jisung. Barulah aku tahu nama pria pemilik mata indah itu. Pria yang bernama Kim Sam itu kembali menenggak minumannya. Mengabaikan seruan Hwan. “Tak perlu marah-marah seperti itu,” balas Sam.
“Pergilah selagi aku bicara baik-baik. Aku terlalu capek untuk berdebat denganmu.” Hwan menghembuskan nafas dengan kasar. Lalu dia segera pergi meninggalkan Sam di sana. Aku melirik Jisung di samping yang tak acuh pada adu mulut antara Sam dan Hwan. Apa hanya aku yang menonton pertunjukkan di depanku ini?
“Kenapa? Kau takut aku akan kembali?” Langkah kaki Hwan berhenti setelah mendengar ucapan Sam barusan.
Hwan berbalik lalu kembali meneruskan langkah mendekati Sam. “Takut? Buat apa aku takut,” Hwan menyeringai. Dia mencondongkan badannya mendekatkan mulutnya dengan telinga Sam. “Toh sedari awal itu memang milikmu, aku tidak akan merasa kehilangan sedikitpun.” Hwan kembali berbalik dan berjalan meninggalkan Sam yang terkekeh di bangkunya.
Aku terlonjak ketika mata Sam tak sengaja bertemu dengan mataku. Dengan cepat aku memalingkan wajah, menghindari tatapannya. Tetapi dia malah melipat tangan di meja dan terus memperhatikanku. Aku tak yakin apakah dia masih sadar. Benar saja. Tak lama setelah itu, aku mendengar suara benturan di meja. Sam sudah tergeletak di meja. Kesadarannya sudah hilang.
****
Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja. Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai. “Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang. “Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis
Sam terbangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dia duduk, lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya semalaman. Dia menghela nafas setelah menyadari kalau dirinya tertidur di kamar yang tak asing. Dia mengerjap sekali. “Kenapa aku bisa sampai ke sini?” gumamnya lagi.Kenop pintu di putar. Dia berjalan menuruni anak tangga. Dilihatnya beberapa pelayan sudah sibuk di bawah sana menyiapkan sarapan. Dia memilih untuk mencuci muka lebih dulu. Dilihatnya potret wajahnya di cermin. Mata sayu dengan rambut berantakan. Ia melihat kancing bajunya terbuka setengah yang membuatnya mulai berpikiran yang aneh-aneh. Dia berusaha mengingat-ngingat kejadian semalam. Tapi usahanya sia-sia. Ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya sempat beradu mulut dengan Hwan, ia benar-benar tak ingat sama sekali kejadian setelahnya. “Bagaimana aku pulang semalam?” Sam menanyai salah sa
Aku kembali menarik pintu dengan cepat setelah melihat Em sudah berdiri tegap di pintu. Dia datang lagi. Aku menghela nafas lalu memutar knop pintu. “Selamat pagi nona,” sapanya hangat seperti biasa. “Rasanya aku sudah bilang kemarin kalau aku tak bisa dan tak mau,” jelasku. Hari ini aku berniat akan mencari pekerjaan baru karena aku tak bisa lagi bekerja di restoran jepang tempat aku bekerja dulu. Entah apa yang di katakan Em pada managerku di sana. Dia bilang tak mau lagi mempekerjakanku. Terpaksa aku harus mencari pekerjaan baru. “Kakek Chu bilang dia akan membiarkanmu tetap bekerja asalkan kau mau tinggal di rumah utama. Dia hanya memintamu tinggal di sana, tak akan mengganggu kehidupanmu yang lain,” terang Em. Dia menyampaik
Hwan bertepuk tangan. Setuju dengan ide kakeknya barusan. “Wow,” Hwan melirik Sam yang menatap tajam ke arahnya. Dia bergantian menatap raut mukaku yang tak kalah kesal. Kenapa Kakek Chu mengungkap pernikahan sekarang? “Kakek,” ucapku. Kakek Chu tertawa puas tak peduli dengan suasana canggung yang diciptakannya. Justru Sam bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Dia sudah cukup kesal dengan kembali tinggal di rumah utama. Sekarang kakeknya malah membual yang tidak-tidak. “Bagaimana bisa kau terpikirkan ide seperti itu?” Hwan masih saja bercanda dengan kakek Chu. “Tak buruk,” sahut Jay juga setuju. Dia meminum jus jeruknya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Jay padaku. “Tentu aku tak setuju,” Aku menjawab mantap. “Bukan.” Jay terkekeh mendengar jawaban spontanku. “Maksudku, menurutmu Sam bagaimana?” goda Jay. Ia laru
Aku meletakkan sendok di meja menyudahi sarapan. Seleraku langsung hilang. Aku langsung bangkit, malas berdebat dengannya. “Kau menghindar lagi rupanya. Persis seperti orang-orang yang tak punya keluarga,” desis Sam sambil melipat tangan di dada dan menyilangkan kaki. “Ya…. mereka tak mau menyelesaikan masalah sedangkan hobinya membuat masalah,” lanjut Sam sambil mengangkat bahu tak peduli. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa adanya rasa bersalah. Apa dia memang tipe orang yang suka merendahkan seperti ini? Jikalau iya, sungguh dia sangat bertolak belakang denganku. “Oh ya?” balasku kemudian berbalik. “Kalau begitu kau persis seperti orang yang berkeluarga. Punya banyak uang, punya semuanya tapi selalu merasa kurang. Apa mungkin karena kau kesepian?” balasku tak mau kalah. Aku menunjukkan smirk kemudian meninggalkann
Park Jinnie. Begitulah nama lengkap pemberian dari orang tuaku. Ya, nama yang cukup pasaran. Sering kali aku mengabaikan siapa saja yang memanggil nama itu ketika aku di tengah jalan. Bisa jadi itu Jinnie yang lain. Bukan diriku. Bisa dibilang semenjak lima tahun yang lalu, aku merubah kepribadianku menjadi lebih dingin dan tertutup ketika bertemu dengan orang baru. Aku selalu was-was jika mengingat kejadian masa lalu, walau banyak hal yang terlewatkan dan juga terlupakan. Apa kalian pernah mendengar tentang de javu? Seolah kejadian itu pernah terjadi sebelumnya. Padahal itu pertama kali. Lucu bukan? Langkah kakiku terhenti ketika Hwan memanggil namaku. Ingatan masa lalu ketika kakak laki-lakiku memanggil namaku kembali melintas di benakku dengan otomatis. Suaranya, tawanya setelah memanggil namaku. Semuanya.
Aku termangu ketika berdiri di depan lapangan luas. Eh, tidak. Di depanku ini lebih mirip seperti sirkuit. Ya. Lima menit kemudian aku harus mengemudikan mobil mengikuti petunjuk jalan dan juga lintasan buatan di depanku ini. Tanpa angin, tanpa ada salah bicara sedikit pun, Madam Bong menyeretku ke tempat asing itu. Dia mendaftarkan pelajaran mengemudi sekaligus mengikuti ujian untuk lisensi mengemudi. Itu semua tanpa persetujuanku. Aku melirik ke samping. Madam Bong menatap lurus. Dia tampak yakin, kemudian memutar badan menghadap ke arahku. “Semangat!” Tangannya yang terkepal terangkat. Aku menelan ludah. Ini pertama kalinya. Aku sudah mempelajari beberapa dasarnya beberapa menit yang lalu. Itu termasuk prosedur yang harus di jalani. Tapi ini masih te
Aku menenteng dua kantong besar di tangan sambil berjalan dengan tertatih-tatih memasuki rumah. Sunyi dan sepi. Tidak ada orang di rumah. Ya, hari sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Sudah waktunya untuk makan siang, tapi aku tak bisa melihat siapapun di rumah itu kecuali para palayan yang bertugas membersihkan rumah. Madam Bong sudah tiba di dapur lebih dulu. Tentu saja, dia hanya membawa dua kantong kecil di tangannya. Aku berdecak kesal. Dia ambil enaknya saja. Baiklah, tidak ada salahnya juga berbuat baik sebagai balasan karena sudah membuatku mendapatkan lisensi mengemudi pagi ini. Meskipun aku tidak tahu lisensi itu akan digunakan kapan, karena aku belum mempunyai mobil. “Letakkan di sana saja!” Madam Bong menunjuk sudut meja. Dia