“Apa maksudmu?” tanya Arsen sangat terkejut dengan apa yang baru saja Ivana katakan padanya.
Ivana berjalan mengambil amplop coklat di dalam tasnya dan menyerahkannya pada Arsen. Dan tanpa menunggu lama lagi, Arsen membuka amplop tersebut dan isinya adalah surat gugatan cerai yang dilayangkan Ivana.
“Aku menolaknya, Ivana.” Arsen menyatakan penolakannya dengan tegas. “Ada apa ini sebenarnya? Kenapa kamu ingin bercerai denganku?”
Arsen terlihat bingung, kesal juga kecewa menatap Ivana di depannya. “Kalau aku berbuat salah padamu, katakan. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini,” ucap Arsen.
Ivana menatap Arsen di depannya dengan tatapan nanar, kenyataannya hati Ivana jauh lebih sakit saat mengajukan perceraian ini.
“Aku sudah tidak mau denganmu. Aku merasa bosan dan jenuh dengan pernikahan kita. Semakin lama, perasaan cintaku padamu semakin hilang,” jawab Ivana sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak terlihat lemah dan terluka di depan Arsen.
Ivana melepaskan cincin di jari manisnya dan meletakkannya di telapak tangan Arsen. “Jangan tanya lagi. Aku sudah tidak mau denganmu, jadi ayo kita bercerai!”
Ivana melihat Arsen tertegun menatap cincin pernikahan di telapak tangannya. Terlihat jelas ekspresi terluka yang ditunjukkan Arsen saat ini.
‘Pintar sekali kamu bersandiwara, Arsen. Kalau aku tidak mengetahui rencana busukmu, mungkin aku akan langsung luluh hanya dengan melihat ekspresimu sekarang,’ batin Ivana sangat kesal. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar.
Gerakan tangannya terhenti saat memegang pegangan pintu. “Semuanya biar aku yang urus, kamu cukup datang saja ke persidangan,” ucap Ivana tanpa membalikkan badannya. “Ah, mungkin sebaiknya kamu tidak perlu datang ke persidangan. Cukup tanda tangan saja surat gugatan cerainya, biar sisanya aku yang urus. Bukankah lebih cepat akan lebih baik.”
Setelah mengatakan itu, Ivana keluar dari kamar tanpa menoleh lagi ke arah Arsen yang menatap kepergian Ivana dengan tatapan terluka juga bingung.
Malam itu hujan deras mengguyur kota, Ivana berdiri di depan jendela kamar tamu, tatapannya kosong menembus air yang terus mengalir. Tangannya mencengkeram erat pinggiran jendela, menggigil seiring perasaannya yang tercabik-cabik. Hatinya seakan ikut teriris oleh tetesan air hujan yang beradu dengan jendela. Ia merasa kesepian, takut, dan sedih sekaligus.
Ivana tak bisa membendung air matanya yang mengalir deras, seiring dengan hujan di luar sana. Ia masih sangat mencintai Arseno, suaminya yang tak lama lagi akan menjadi mantan. Namun, dia sadar bahwa pernikahan mereka bukanlah berdasarkan cinta, melainkan balas dendam yang telah direncanakan oleh Arsenio sejak lama.
Seiring tetesan air mata yang tak terbendung, Ivana menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit yang meluap. Bayangan Arsenio terus meneror pikirannya, membangkitkan rasa takut yang mencekam. Bagaimana mungkin suami yang seharusnya melindungi dan mencintainya, malah menjadi racun yang merenggut kebahagiaan hidupnya?
Namun di balik semua itu, ada secercah rasa harap yang masih tersimpan di lubuk hatinya. Ivana berusaha menenangkan dirinya, menguatkan hati dan menjaga kepercayaan bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan kebahagiaan yang sejati.
“Apa aku boleh berharap kamu akan menghentikan aksi balas dendammu itu, Arsen? Tapi kurasa itu tidak akan mungkin terjadi,” batin Ivana menangis dalam diam.
Dalam diam, Ivana berbisik pada dirinya sendiri, "Aku harus tegar dan berani menghadapi ini. Aku harus bisa melepaskan Arsenio, demi keselamatan keluargaku dan Ayah." Ia pun menarik napas dalam-dalam, mengusap air mata yang masih menggenang di wajahnya, dan melangkah perlahan menjauh dari jendela, meninggalkan hujan dan kenangan pahit di baliknya.
***
Seharian ini, Ivana sama sekali tidak bisa fokus bekerja.
Sampai lamunannya buyar karena suara dering ponsel. Ia pun berjalan ke arah mejanya, mengambil ponsel yang ternyata ada panggilan masuk dari Joseph. Ivana sudah menebak apa yang akan dibahas Ayahnya, dan itu membuat hatinya cukup berdebar.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat telepon itu.
"Halo, Ayah," sapa Ivana dengan suara yang berusaha tenang.
"Ivana, apa benar kamu menggugat cerai Arsen?" tanya Joseph langsung pada intinya, suaranya terdengar serius dan penasaran.
Ivana menelan ludah, merasa terpojok oleh pertanyaan ayahnya. "Iya, Ayah. Maaf, aku belum sempat bilang pada Ayah," jawab Ivana dengan suara lirih.
Ayahnya menghela napas, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sebenarnya kenapa? apa kalian ada masalah? Apa Arsen berselingkuh?” tanya Joseph memborong dan menebak semua hal yang mungkin terjadi.
“Tidak, Arsen tidak berselingkuh,” jawab Ivana.
“Lalu kenapa? bukankah kalian sedang program supaya bisa segera hamil?” tanya Joseph.
“Aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Yang pasti, aku sudah tidak ingin bersama Arsen lagi,” jawab Ivana yang juga bingung bagaimana memberi alasan yang tepat pada Ayahnya. Dia belum mengumpulkan semua hal tentang identitas Arsen yang sebenarnya.
“Kamu ini, dulu sangat ngotot menikah dengan Arsen. Padahal Ayah sudah menjodohkan kamu dengan Alex yang lebih baik. Sekarang, apa yang terjadi hingga kamu memutuskan untuk bercerai? Kamu pikir hidup dengan status janda itu mudah?" tanya Joseph menghela napas, begitu penasaran akan alasan di balik keputusan Ivana.
Mendengar ayahnya mengungkit soal perjodohan dengan Alex, Ivana merasa sesak. Ia tak ingin mengungkapkan bahwa suaminya itu ternyata memiliki sisi gelap yang tak bisa dia terima.
"Ayah, maafkan Ivana. Ada beberapa masalah yang tak bisa Ivana selesaikan dengan Arsen. Ivana sudah berusaha," ucap Ivana dengan suara bergetar, menahan air mata yang hendak jatuh.
Ayahnya terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, jika itu keputusanmu. Tapi ingat, Ivana, hidup ini penuh dengan pilihan. Kadang kita harus menanggung konsekuensi dari pilihan kita sendiri."
Ivana hanya bisa mengangguk, meski tahu ayahnya tak bisa melihatnya. "Terima kasih, Ayah. Aku mengerti," ucapnya pelan, berjanji pada diri sendiri bahwa dia akan belajar dari kesalahan ini dan menjadi lebih kuat.
Sambungan telepon pun terputus dan Aludra hanya bisa menghela napasnya, berharap proses perceraiannya dengan Arsen berjalan lancar.
Brak!
Ivana terkejut saat pintu dibuka dan muncul sosok Arsen di sana dengan kemeja yang sedikit basah. Ekspresi wajahnya terlihat tegang, dia berjalan mendekati Ivana yang berdiri di tempatnya.
Situasi menjadi sangat menegangkan, Ivana teringat akan kejadian di masa lalu, dia kini takut dan gelisah dengan sorot mata Arsen yang begitu tajam. Tanpa sadar, Ivana bergerak mundur mencoba menghindari Arsen.
“Sampai kapan kamu akan menghindariku, Ivana? Apa kita tidak bisa membicarakan hal ini dengan baik?” tanya Arsen terlihat kesal di sana.
“Su-sudah aku katakan, tidak ada yang ingin dibicarakan. Kamu cukup menandatangani surat gugatannya saja,” ucap Ivana.
“Aku masih tidak mengerti dengan keputusan yang kamu ambil ini, Ivana. Satu minggu yang lalu, kamu begitu bersemangat untuk melakukan program hamil, supaya kita bisa cepat punya anak. Kenapa sekarang kamu melakukan hal ini?” tanya Arsen sangat tidak memahami pola pikir istrinya.
“Ya, dan anak itu harus keguguran karena kesalahnmu, Arsen,” batin Ivana mengingat kejadian di kehidupan sebelumnya sambil menatap Arsen dengan tatapan yang memanas, antara sakit dan juga menyesalkan.
“Ivana, kalau ada keluhan atau hal yang membuatmu kesal padaku, katakan, Ivana. Jangan seperti ini,” pinta Arsen.
Entah hanya perasaan Ivana atau bukan, tetapi pria di depannya ini menunjukkan tatapan sendu, seakan semua ini sangat menyakitinya.
“Keputusanku sudah bulat,” jawab Ivana memalingkan wajahnya ke arah lain.
Arsen berjalan mendekati Ivana. “Stop! Berhenti di sana, jangan mendekatiku lagi!”
Mendengar hal itu, Arsen menghentikan langkahnya.
“Aku mohon, jangan seperti ini. Tolong turuti keinginanku untuk bercerai, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini lagi,” ucap Ivana.
“Tapi kenapa? Aku perlu alasan yang tepat,” ucap Arsen.
“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Arsen?” pertanyaan Ivana membuat Arsen bungkam.
“Cepat jawab, apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini. Dan, apa niatmu sebenarnya menikahiku?” tanya Ivana melihat Arsen di mana sorot matanya melebar seakan terkejut kalau Ivana mengetahui rahasianya. Tetapi dengan cepat, pria itu mengubah ekspresinya kembali.
“Kenapa tidak bisa menjawabku?” tanya Ivana.
“Apa yang kamu tau, Ivana?” tanya Arsen kini suaranya tidak selembut sebelumnya.
***
Acara dilanjut dengan resepsi di halaman gereja yang meriah. Zeeya sibuk menikmati banyak camilan dan dessert yang tersaji di sana.Resepsi di halaman gereja berlangsung meriah, dengan nuansa taman yang indah, dihiasi lampu-lampu berkelip dan bunga-bunga berwarna cerah. Meja-meja penuh dengan berbagai jenis hidangan lezat, dari makanan pembuka hingga hidangan penutup yang menggugah selera. Sambil berdiri di sekitar area dengan pemandangan danau yang tenang, para tamu menikmati kebersamaan dan suasana yang penuh kebahagiaan.Zeeya yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya, sudah berada di meja dessert, dengan wajah ceria dan penuh semangat. Camilan-camilan kecil, kue-kue manis, dan es krim berwarna-warni menarik perhatian balita tersebut. Dengan riang, dia memilih beberapa kue kecil dan memakannya satu per satu sambil tertawa kecil.
Saat mereka melangkah masuk ke dalam gereja, suasana penuh kehangatan menyambut. Hiasan bunga putih dan hijau menghiasi altar, sementara cahaya matahari yang masuk melalui kaca patri memberikan nuansa sakral. Para tamu, yang sebagian besar adalah kerabat dekat dan teman, sudah menempati tempat duduk mereka.Cedric dan istrinya, yang sedang berbincang di dekat pintu masuk, langsung melambai begitu melihat Arsen, Ivana, dan Zeeya. Cedric tersenyum lebar, lalu menghampiri mereka. "Akhirnya kalian sampai juga. Zeeya, kamu terlihat sangat cantik hari ini!" katanya sambil bercanda.Zeeya tersenyum malu-malu sambil merapat ke Ivana. "Terima kasih, Uncle Cedlic."Tak lama kemudian, Elmer dan Grasella datang menghampiri. Elmer tersenyum sopan, sementara Grasella tampak anggun dengan gaun biru muda. "Senang sekali bertemu kalian di sini," sapa Elmer. "Doly pasti bahagia melihat kalian hadir.""Iya, ini acara yang tidak mungkin kami lewatkan," balas Arsen sambil menjabat tangan Elmer. "Bagaiman
“Ini lumah siapa, Mom, Dad? Besal sekali!” ujar Zeeya yang ada di gendongan Arsen. “Ini, rumah keluarga Daddy. Selama di sini, kita akan tinggal di sini,” ucap Arsen. “Asyik… Zeeya bisa main lali-lali dan ke tempat bunga,” ucap Zeeya dengan lucunya. Arsen tertawa kecil sambil mencium pipi Zeeya yang penuh semangat di gendongannya. "Tentu saja, Sayang. Nanti Daddy ajak Zeeya lihat semua tempat di sini. Ada taman bunga yang besar, ada air mancur juga. Kamu pasti suka."Ivana tersenyum melihat kegembiraan putrinya. Dia mengamati mansion megah yang sudah direnovasi itu dengan perasaan campur aduk. Tidak banyak yang berubah, Arsen dan Doly tidak ingin menghilangkan momen penuh kenangan di sini. Berada di sini secara langsung tetap memberinya kesan yang berbeda. Besar, mewah, dan penuh aura nostalgia."Mommy juga bisa ikut main sama Zeeya?" tanya Zeeya dengan mata berbinar, memeluk leher Arsen erat-erat."Tentu saja," jawab Ivana sambil mengusap lembut kepala putrinya. "Mommy dan Daddy a
2 Tahun Kemudian….. “Apa ini serius?” tanya Arsen mendengar ucapan Doly di sana. “Ya, kamu pikir aku berbohong,” ujar Doly. “Apa kamu sudah bertemu dengan wanita yang akan dinikahi Doly, Ric?” tanya Arsen. “Ya, sudah. Ini sih beneran pawangnya si Doly,” kekeh Cedric. “Dia langsung tunduk sama omongan calon istrinya.”Cedric dan Arsen terkekeh mendengarnya. “Itu bukan tunduk. Tapi, bentuk rasa cinta,” ucap Doly. Arsen tertawa kecil mendengar pembelaan Doly yang terdengar tulus namun juga sedikit defensif. "Rasa cinta, ya?" ucap Arsen menggoda. "Jadi, siapa wanita hebat yang berhasil menjinakkan si Doly ini?"Cedric, yang masih terkekeh, menyela lebih dulu. "Percayalah, dia tipe yang nggak main-main. Elegan, cerdas, tapi juga punya aura tegas. Doly langsung berubah total kalau di dekat dia. Serius banget."Arsen menatap Doly dengan senyum penuh arti. "Wah, kalau sampai Cedric bilang begitu, berarti dia benar-benar istimewa. Aku penasaran ingin bertemu dengannya. Kapan kamu memper
Doly sudah berpenampilan rapi dengan setelan jasnya. Dia bersiap untuk datang ke sebuah undangan pesta salah satu kliennya. “Uh... pesona Doly memang tidak terkalahkan,” gumamnya penuh percaya diri sambil merapikan jas yang dikenakannya.Doly menatap dirinya sendiri di cermin besar, senyum puas menghiasi wajahnya. Dengan gaya khasnya, ia mengangkat dagu sedikit, memiringkan kepala, dan mengedipkan satu mata ke pantulan dirinya. "Siapa yang bisa menolak daya tarik ini?" ujarnya sambil tertawa kecil.Dia mengambil parfum mahal dari meja rias, menyemprotkannya dengan gerakan anggun ke pergelangan tangan dan lehernya. Setelah itu, dia memeriksa kembali dasinya untuk memastikan segalanya sempurna."Klien pasti akan terkesan. Lagi pula, bukan Doly namanya kalau tidak mencuri perhatian," gumamnya sambil tersenyum penuh percaya diri.Sebelum melangkah keluar, ia mengambil ponselnya dan melihat sekilas undangan di layar. "Saatnya membuat malam ini lebih berwarna," katanya s
“Wah, ada kue ikan,” ucap Doly menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Pria itu turun dari mobil dan berjalan mendekati pedagang kue ikan yang berjualan di sebuah gerobak pinggir jalan. “Bungkuskan kue ikannya, sepuluh biji,” pinta Doly. Pedagang tersebut menoleh ke arah Doly sambil menganggukkan kepalanya. “Baik, Tuan.” Sambil menunggu, Doly memainkan ponselnya. Dan saat itu, dia terkejut karena ponselnya dirampas oleh seseorang yang berada di atas motor bersama rekannya. Doly yang terkejut pun langsung berteriak, “Perampok! Perampok!” teriak Doly di sana membuat semua orang melihat ke arahnya. Sayangnya, motor yang dikendarai perampok itu sudah cukup jauh, sampai ada sebuah motor sport berwarna hitam melaju cepat mengejar perampok tersebut. Doly masih berdiri di tempatnya dengan tatapan yang penuh kegelisahan.Kejadian itu membuat suasana sekitar menjadi tegang sejenak. Doly berdiri terpaku, pandangannya mengikuti motor spo