LOGINNapasnya masih tersengal meski ia mencoba mengendalikan dirinya. Semuanya terlalu mendadak dan terlalu tuba-tiba bagi hatinya yang selama ini ia coba lupakan.
Ia bersandar di dinding lorong eksekutif dan kembali mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang. Lima tahun berlalu sejak perpisahan mereka, tapi pertemuan ini langsung merobek luka lama yang belum benar-benar sembuh. "Elena." Sebuah suara lembut menariknya kembali ke kenyataan. Elena menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya. "Oh! Maaf!" Elena buru-buru menegakkan tubuhnya. Wanita itu tersenyum ramah. "Saya Erika, kepala sekretaris di sini. Maaf, saya belum memperkenalkan diri tadi." Elena berusaha tersenyum meskipun emosinya masih kacau. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Erika." Erika mengangguk, lalu menurunkan suaranya sedikit. "Kamu baik-baik saja?" Elena terdiam. "Apakah wajahnya terlihat begitu kacau sampai-sampai Erika bisa menyadarinya?" pikir Elena. "Ah aku hanya sedikit terkejut, karena tidak menyangka CEO baru adalah seseorang yang aku kenal," jawabnya mencoba terdengar tenang. Erika menatapnya beberapa detik sebelum tersenyum kecil. "Pak Alexander memang bisa membuat siapa pun merasa tidak nyaman di pertemuan pertama, tapi sebenarnya dia ...." Wanita itu berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Lupakan! Ayo, saya akan menunjukkan meja kerjamu." Elena mengerjap. Ada sesuatu dalam cara Erika berbicara tentang Alexander yang terasa ganjil. Seakan wanita itu tahu sesuatu, tapi Elena tidak punya tenaga untuk memikirkan itu sekarang. Ia hanya ingin bekerja, bertahan, dan menghindari Alexander sejauh mungkin, tapi tentu saja hidup tidak pernah semudah itu. *** Hari itu berjalan seperti mimpi buruk. Elena sudah bekerja sebagai asisten eksekutif sebelumnya, tapi tidak pernah untuk seseorang seperti Alexander. Pria itu menuntut kesempurnaan dalam setiap detail, bahkan pada hal-hal yang terasa sepele. "Ini tidak cukup rapi," katanya sambil meletakkan berkas yang baru saja Elena cetak di mejanya. "Ulangi!" Elena menekan rahangnya. "Tapi isinya sudah sesuai permintaan Anda, Pak Alexander." Alexander mendongak dan menatapnya dengan ekspresi yang membuatnya merinding. "Aku tidak hanya bicara tentang isi, Elena. Aku bicara tentang keseluruhan presentasi." Elena menelan amarahnya. Ia mengambil kembali berkas itu dan kembali ke mejanya, lalu mengulanginya dan menyempurnakannya, kemudian mencetak ulang lagi, tapi ketika ia kembali dan menyerahkannya, Alexander hanya melihat sekilas sebelum meletakkannya lagi di meja. "Masih kurang." Elena mengepalkan tangannya. Ia tahu pria itu sengaja menyulitkannya dan sedang mengujinya, tapi ia tidak akan menyerah. Ia kembali ke meja, mengulang lagi, dan menyempurnakan lagi. Kali ini saat ia menyerahkan berkas itu, Alexander tidak langsung melihatnya. Ia malah menatap Elena lebih lama. "Kamu masih keras kepala seperti dulu," gumamnya. Elena mengangkat dagunya. "Aku hanya melakukan pekerjaanku, Pak Alexander." Alexander menahan senyum tipis. "Bagus." Elena tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau justru lebih kesal, tapi satu hal yang ia pelajari setelah bekerja satu hari penuh bersama Alexander, pria itu bukan lagi seseorang yang ia kenal dulu. Dulu Alexander adalah pria hangat, penuh ambisi, tetapi masih memiliki sisi lembut yang hanya ia tunjukkan pada orang-orang tertentu, tapi sekarang pria di hadapannya sekarang adalah orang yang dingin, tajam, dan penuh kontrol, bahkan ketika mata mereka bertemu, Elena merasa seperti menatap seseorang yang benar-benar asing dan itu lebih menyakitkan daripada yang ia perkirakan sebelumnya. Saat jam kerja berakhir, Elena langsung merapikan mejanya dan bersiap pergi, tapi sebelum ia bisa mencapai pintu keluar, suara Alexander menghentikannya. "Elena." Langkahnya terhenti. Ia menghela napas panjang sebelum berbalik. "Ya, Pak Alexander?" Pria itu menutup laptopnya, lalu berdiri. Langkahnya pelan saat ia berjalan mendekati Lana. Detik berikutnya, ia sudah berdiri di hadapannya begitu dekat hingga Elena bisa merasakan hawa hangat tubuhnya. Alexander menatapnya sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, "Kamu masih membenciku?" Elena terpaku dan jantungnya berdetak kencang. "Saya tidak tahu apa yang Anda maksud," katanya dengan suaranya datar. Alexander menyipitkan matanya. "Lima tahun, Elena dan kamu masih tidak ingin membicarakannya?" Elena tersenyum kecil. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, Pak Alexander. Anda memilih pergi dan saya memilih melanjutkan hidup." Alexander menegang. Elena melihat ekspresi itu untuk pertama kali sejak mereka berdua bertemu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar sikap dingin dan arogan yang selalu pria itu tunjukkan, tapi itu hanya sedetik, karena setelahnya Alexander tersenyum miring. "Baiklah. Kalau begitu kita mulai dari awal, Nona Elena." Elena menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam caranya mengatakan itu yang membuat hatinya berdebar tidak nyaman. "Mulai dari awal?" tanyanya pelan. Alexander memasukkan tangannya ke saku celana. "Sebagai atasan dan bawahan." Elena menahan napas. "Tentu saja, Pak Alexander." Alexander menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Bagus. Sampai jumpa besok!" Elena tidak membuang waktu. Ia langsung berbalik dan keluar dari ruangan itu.Alexander berbalik pada Elena. "Namanya Ethan. Dia adalah orang yang membantuku lima tahun lalu."Elena merasakan dadanya menegang. "Membantumu dalam hal apa?"Ethan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Membantunya menghilang."Elena terkejut. "Apa?"Ethan mengabaikan keterkejutannya dan melanjutkan, "Lima tahun lalu, seseorang menginginkan Alexander pergi. Mereka tidak hanya mengancammu, Elena, tapi mereka juga menginginkan dia mati."Mata Elena membelalak. "Apa maksudmu?"Alexander mengepalkan tangannya. "Elena aku tidak hanya pergi, karena ancaman padamu. Aku pergi karena ada seseorang yang ingin menyingkirkanku juga."Elena merasa kepalanya berputar tiba-tiba semuanya menjadi semakin rumit."Siapa mereka?" tanyanya pelan.Ethan menghela napas panjang. "Aku belum tahu pasti, tapi aku bisa memberitahumu satu hal."Elena menelan ludah dan menunggu. Ethan menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara rendah, "Orang yang mengancammu adalah Lucedra."Elena merasakan tubuhnya menegan
Alexander berdiri dan ekspresinya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu."Elena mengangkat wajahnya dan menatap mata pria itu yang penuh dengan tekad.Dulu Alexander memilih untuk pergi, tapi kali ini, ia memilih untuk bertahan.Elena hanya berharap bahwa itu bukan sebuah kesalahan. Ia masih menatap foto di layar ponsel Alexander dan tubuhnya masih membeku. Seseorang benar-benar mengawasinya.Ia merasakan tengkuknya meremang. Tadi malam ia pikir itu hanya paranoia, tapi sekarang bukti nyata ada di hadapannya."Elena," suara Alexander lebih lembut dari sebelumnya, "Kenapa kamu tidak meneleponku?"Elena menelan ludah. "Aku aku tidak ingin merepotkanmu."Alexander mengepalkan rahangnya. "Merepotkanku?"Nada suaranya meninggi dan berbahaya membuat Elena sedikit mundur, karena pria itu terdengar benar-benar marah."Ada seseorang yang mungkin mengincarmu, mengirimiku foto ini sebagai peringatan, dan kamu berpikir itu bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirkan?"Elena menggi
Itu adalah dirinya lima tahun yang lalu yang sedang berjalan sendirian di depan apartemennya dan tanpa sadar bahwa seseorang sedang mengamatinya dari kejauhan. Elena menahan napas saat mengambil foto lain. Ia sedang duduk di kafe dan membaca buku.Foto berikutnya lebih buruk. Itu adalah dirinya yang tertidur di kamar dan diambil dari luar jendelanya."Ya Tuhan!" bisiknya."Sekarang kamu mengerti?" suara Alexander terdengar berat.Elena merasa mual. Seseorang telah mengawasinya selama ini dengan cukup dekat untuk bisa mengambil foto-foto ini tanpa ia sadari."Siapa yang memberimu ini?" suaranya hampir tidak keluar.Alexander menggeleng. "Aku tidak tahu. Foto-foto ini dikirim kepadaku bersama pesan anonim."Elena menatap pria itu dengan nanar. "Dan kamu tidak berpikir untuk memberi tahuku?"Alexander mengepalkan tangannya. "Aku tidak bisa, Elena! Aku takut jika aku mencoba menghubungimu, mereka akan tahu dan benar-benar menyakitimu!"Elena menggeleng masih tidak percaya. "Kenapa sekaran
Elena berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat. Udara sore terasa sedikit menusuk, tetapi tidak sebanding dengan perasaan yang mendidih di dadanya.Kata-kata Alexander tadi terus terngiang di kepalanya. Elena berhenti di tepi jalan dan mengepalkan jemarinya. Ingin rasanya ia berbalik, menuntut jawaban, dan menanyakan semua hal yang selama ini menggerogoti pikirannya, bahkan setelah lima tahun, Alexander selalu merasa benar dan selalu percaya bahwa dunia harus mengerti dirinya tanpa perlu menjelaskan apa pun dan Elena tidak akan jatuh ke dalam perangkap itu lagi.Sebuah mobil hitam berhenti di depan restoran. Elena tahu itu adalah mobil Alexander. Jendela belakang terbuka dan suara dingin pria itu terdengar."Masuk, Elena!"Elena menghela napas panjang. Ia bisa saja menolak dan pulang dengan taksi, tetapi mereka masih dalam jam kerja, jadi tanpa berkata apa-apa, ia masuk ke dalam mobil.Perjalanan kembali ke kantor dipenuhi dengan keheningan yang nyaris menyiksa.Alexander du
Elena berdiri di depan cermin di apartemennya, menatap cukup lama bayangan dirinya dengan ekspresi kosong. Rambutnya masih sedikit berantakan setelah terburu-buru pulang dan ia bisa melihat sorot kelelahan di matanya. Hari pertama bekerja di bawah Alexander sudah cukup melelahkan bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Elena menghela napas, lalu melepas jas kerjanya dan menggantinya dengan kaus longgar serta celana pendek. Ia berjalan ke dapur, menuangkan segelas air, lalu meneguknya perlahan. Pikirannya masih penuh dengan pria itu. Jari-jari Elena mengenggam erat gelasnya, karena Alexander telah memberi kesan seolah-olah bahwa ia sudah meninggalkan Alexander dan seakan-akan ia yang bersalah padahal dia-lah yang pergi tanpa penjelasan satu kata pun. Elena masih ingat hari itu dengan sangat jelas, hari di mana ia menunggu, berharap Alexander akan kembali, dan berharap semuanya hanya kesalahpahaman, tapi tidak pernah ada pesan atau pun telepon. Setelah lima tahun, ia kembali s
Napasnya masih tersengal meski ia mencoba mengendalikan dirinya. Semuanya terlalu mendadak dan terlalu tuba-tiba bagi hatinya yang selama ini ia coba lupakan.Ia bersandar di dinding lorong eksekutif dan kembali mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang. Lima tahun berlalu sejak perpisahan mereka, tapi pertemuan ini langsung merobek luka lama yang belum benar-benar sembuh."Elena."Sebuah suara lembut menariknya kembali ke kenyataan. Elena menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya."Oh! Maaf!" Elena buru-buru menegakkan tubuhnya.Wanita itu tersenyum ramah. "Saya Erika, kepala sekretaris di sini. Maaf, saya belum memperkenalkan diri tadi."Elena berusaha tersenyum meskipun emosinya masih kacau. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Erika."Erika mengangguk, lalu menurunkan suaranya sedikit. "Kamu baik-baik saja?"Elena terdiam. "Apakah wajahnya terlihat begitu kacau sampai-sampai Erika bisa menyadarinya?" pikir Elena."Ah aku hanya sedikit terkeju







