“Tapi kita tidak…maksudku kita sudah bercerai, Ethan. Kita tidak mungkin tinggal bersama.”
Ethan mengangkat satu alisnya. “Mungkin kau lupa kalau aku belum menandatangani surat perceraian kita yang berarti secara hukum kau masih istriku.” Dira terdiam mendengar pernyataan itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia mempertaruhkan hatinya sekali lagi demi putra mereka? Ini bukan solusi yang ia bayangkan akan terjadi, tapi jalan apa lagi yang tersisa untuknya? Jika ia menolak usulan Ethan sudah pasti pria itu akan berusaha memisahkannya dari Noah, tapi jika ia menerimanya… besar kemungkinan ia akan kembali terluka. Dira memejamkan matanya erat. “Kurasa kau tidak perlu mencemaskan apa pun. Kita akan tinggal di rumah yang sama tidak lebih, jadi jangan membuang tenagamu untuk memikirkan apa yang tidak akan terjadi.” Ucapan itu dikatakan dengan nada merendahkan yang nyaris membuat Dira ingin membalas. Alih-alih menunjukkan kalau kata-kata Ethan melukainya Dira mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Baik, aku akan pergi bersamamu jika itu solusi yang bisa kau tawarkan.” “Tentu saja. Bukankah sudah kukatakan aku bisa berkompromi jika menyangkut tentang putraku. Sejauh menyangkut putraku, aku tidak akan bertindak egois.” “Putra kita.” Dira meletakkan gelasnya di atas meja. “Sebaiknya aku pergi.” Ethan mengangguk. “Kurasa lebih baik kalau aku mengantarmu pulang.” “Menurutku itu bukan ide yang bagus.” Tapi seperti biasa, Ethan bukan orang yang mau mendengarkan orang lain. Laki-laki itu sudah menghilang dibalik kamar kemudian muncul dengan kunci mobil di tangannya. “Ayo.” Dira menghembuskan napasnya kasar. Ethan tidak terbiasa dibantah, ujarnya mengingatkan dirinya sendiri. Mereka masuk ke mobil sport merah milik Ethan yang terlalu mencolok di lingkungan yang terlalu sederhana. Keheningan yang tercipta membuat suasana di dalam mobil terasa tidak nyaman. Dira berkali-kali melirik Ethan lewat ekor matanya. Pria itu fokus menyetir. “Maafkan aku,” gumam Dira tiba-tiba. Ethan tidak menjawab selama beberapa saat lamanya. “Untuk? Karena membohongiku atau karena pergi dariku, yang mana yang harus kumaafkan?” Dira sudah akan mengatakan kalau ia tidak menyesal memutuskan untuk pergi meski alasannya sama sekali tidak seperti yang diduga Ethan, tapi ia berhasil menahan diri di saat terakhir. Ia tidak ingin memancing kemarahan Ethan karena hal itu hanya akan membuat mereka berdua terlibat konfrontasi tanpa henti. Dan ia sudah cukup lelah mengalami hari-hari yang berat tanpa Ethan harus menambahnya. “Karena membohongimu.” Etahn meliriknya sekilas. Tidak mengatakan apa pun. Jadi seperti itu, pikirnya muram. Ethan sepertinya masih belum bisa memaafkannya. Dira memiringkan tubuhnya agar Ethan tidak melihatnya menangis. Andai saja Ethan tahu apa yang sudah ia lewati selama 5 tahun yang rasanya sangat sulit. Pergi dari kehidupan pria itu tidaklah mudah, tapi Dira tahu hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa melanjutkan hidup. *** “Kau… mau masuk?” Tawaran itu setengah hati tentu saja. Ia hanya ingin bersikap sopan dan sepertinya Ethan mengetahui hal itu karena pria itu menggelengkan kepala. “Sudah malam, kalian juga harus berkemas. Aku akan pergi.” “Tunggu Ethan!” serunya, menghentikan Ethan tepat sebelum pria itu masuk ke mobil. “Apa?” “Kita… maksudku tempat yang akan kita datangi, rumah yang…” Ethan mendesah. “Kau tahu rumah yang mana Dira atau seharusnya kau tahu.” dan tanpa banyak basa-basi lagi Ethan masuk ke mobil dan melajukan kendaraan tersebut menembus jalannan gelap. Mereka akan ke sana, pikirnya panik. Rumah yang menyimpan terlalu banyak kenangan yang ingin ia lupakan. Apa Ethan tidak merasakan hal yang sama? Tidakkah kenangan-kenangan yang ada di rumah itu mengganggunya? Rumah itu dulunya adalah tempatnya pulang, tapi kemudian ia menyadari perasaan itu tidak timbal balik hinnga akhirnya ia memutuskan pergi sebelum terluka lebih dalam. Dira membuang napas kasar. Jika Ethan tidak terganggu dengan hal itu, mungkin juga bisa melakukan hal yang sama. Siapa yang coba kau bohongi? Ia membuka pintu dan melihat pengasuh separuh waktu putranya hendak berkemas untuk pulang. “Apa benar yang dikatakan Bu Hani kalau kalian akan pergi?” Gen terlihat sedih dan merana dan sejujurnya Dira juga. Begitu menemukan tempat ini Dira merasakan kenyamanan yang sudah lama tidak ia temukan. Di sini, tidak seorang pun yang mengenalinya dan itu sesuatu yang ia butuhkan. “Ya, aku memang akan pergi.” “Berapa lama?” Dira mencengkeram tepi bajunya. “Aku tidak tahu.” Itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab dengan mudah. Gadis remaja itu mengangguk mengerti. Dira mendekat, mencengkeram bahunya. “Terima kasih karena telah merawat Noah selama ini. Kau seperti keluarga bagiku, Gen. Noah sudah menganggapmu sebagai kakaknya.” Gen mendongak, matanya berkaca-kaca. “Kuharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.” Dira mengangguk. Ia mengharapkan hal yang sama. “Kenapa mendadak?” tanya Gen sesaat kemudian. “Noah akan bertemu dengan ayahnya.” Mendengar hal itu kedua mata Gen membulat. “Noah… akan bertemu dengan ayahnya?” Dira mengangguk. “’Apa mungkin… apa mungkin pria yang tadi mengantarmu adalah…” Gen terlihat seolah-olah dia akan pingsan dan itu pasti sesuatu yang lucu seandainya saja situasi tidak serumit sekarang. “Ya, pria yang mengantarku adalah ayah Noah yang juga suamiku.” Rasanya aneh menyebut Ethan sebagai suaminya setelah sekian lama ia menganggap pria itu tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya. “Kenapa dia baru muncul sekarang? Memangnya selama ini dia di mana?” Dira tersenyum lebut. Ia menjauh dan memilih mengalihkan pembicaraan. “Kalau kau tidak keberatan, maukah kau membantuku berkemas? Ouh iya, semua benda yang ada di rumah ini akan menjadi milikmu. Aku hanya akan membawa sedikit.” Gen teragagap. “Kau… serius?” “Tentu saja. Selama ini kau selalu baik padaku dan Noah.” “Sebaliknya, kalianlah yang baik padaku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya aku tidak bertemu kalian. Aku suka bekerja padamu Dira, aku jadi memiliki sesuatu untuk dilakukan alih-alih hanya diam dan menerima semuanya dengan tangan terangkat.” Ucapan itu bagaikan sambaran petir bagi Dira. Itulah yang dulu ia lakukan. Menerima apa pun yang diberikan Ethan. Ia hanya mengenakan pakaian yang disukai Ethan. Memakan makanan yang disiapkan pria itu padanya tanpa perlu repot-repot menanyakan keinginannya. Berdandan setiap kalia pria itu mengajaknya keluar tidak peduli ia suka atau tidak. Dulu seperti itulah hidupnya. Didikte untuk melakukan sesuatu. Tapi kali ini Dira tidak akan membiarkan Ethan melakukan itu padanya. Kali ini ialah yang akan memegang kendali atas hidupnya sendiri. Ia tidak akan membiarkan kekuasaan Ethan mengontrol kehidupannya. Tidak lagi. Dan untuk itu ia perlu melakukan semacam perjanjian dengan Ethan. Perjanjian yang akan menjamin hak-hak pribadinya juga kendali atas hidupnya sendiri. “Oh, aku lupa mengatakan sesuatu. Ada paket untukmu.” Paket? “Ada di atas meja ruang tamu. Seseorang mengantarnya saat kau pergi.” Dira berjalan ke ruang tamu dan melihat kotak kecil dibungkus plastik kado berwarna putih teronggok di atas meja. Penasaran, Dira membuka untuk melihat isinya. Sebuah cincin. Cincin berlian putih besar dengan ukiran E&D di dalamnya. Cincin pernikahannya dengan Ethan. Kerongkongan Dira tercekat. Sebelum ia sempat menelaah lebih jauh telepon rumahnya berbunyi. Dira duduk di sofa dan mengangkatnya. “Kau sudah menerimanya?” Dira tidak perlu bertanya karena tahu apa yang dimaksud Ethan. “Ya,” balasnya menatap cincin pernikahan mereka dengan hati terpilin. “Bagus, kuharap cincin itu masih bisa dipakai, jika tidak kita akan membeli cincin lainnya.” Semudah itu. Bagi Ethan cincin pernikahan mereka hanya ukiran batu yang dipoles, tidak ada artinya sama sekali. Seperti dirinya bagi pria itu. Karena takut akan menangis, Dira mematikan teleponnya. Kenapa 5 tahun perpisahan mereka yang menyakitkan tidak juga mengubah perasaannya terhadap pria itu?“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya