Share

BAB 7

Author: Aphrodite
last update Last Updated: 2025-02-04 20:07:37

“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.

Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?”

Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?”

Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?”

“Noah bisa memetik jeruk itu langsung?”

“Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar.

“Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.”

Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat.

“Tapi, bagaimana jika pemiliknya marah?” tanyanya polos.

“Aku jamin pemiliknya tidak akan marah. Kau tahu Noah selain memetik jeruk kita bahkan bisa berenang dan bermain bola di sini. Apa kau menyukai ide itu?”

Ethan mewujudkan semua impian masa kecil anak-anak dalam satu paket mewah yang menyenangkan, pikir Dira getir. Ia membuang muka, merasa disingkikirkan hanya dalam hitungan detik.

Akan seperti inikah yang terjadi? Ethan menawarkan segalanya—segala yang selama ini tidak sanggup ia berikan pada putra mereka untuk memenangkan hatinya? Pemikiran itu membuat dadanya sesak. Anak-anak mungkin sulit didekati, tapi ketika hati mereka tersentuh maka mereka akan menawarkan kebahagiaan murni tanpa sedikitpun tipu daya.

Untungnya perjalanan tidak menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Mobil berhenti di depan sebuah vila besar yang dikelilingi pepohonan hijau nan rindang. Ada halaman luas dan taman buatan di bagian depan. Dira melihat jalan setapak berkerikil yang seingatnya membawa penghuninya menuju kolam renang. Sejauh mata memandang mmereka dikelilingi lautan. Lautan biru keperakan yang berkilauan seperti permata.

Dira membuka pintu dan menarik putranya keluar. Ia bersyukur dengan kacamata juga topi yang ia kenakan. Ini membuatnya tidak terlihat seperti yang ia inginkan.

“Ayo, aku akan menunjuk kamar kalian.”

Dira tanpa sadar mendesah lega. Ia sempat takut kalau mereka akan tidur di kamar yang sama. Syukurlah, sepertinya Ethan memiliki pemikiran yang sama dengannya.

Mereka berjalan menyusuri lorong panjang sementara lewat sudut matanya ia melihat para pelayan mengangkat koper mereka. Dira mengedarkan pandangan. Rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia datang. Tidak ada yang berubah kecuali foto pernikahan mereka kini sudah menghilang.

“Ini kamarmu, kau menyukainya?”

Dira tercengang, bukan hanya luasnya yang membuatnya terkejut, tapi bagaimana Ethan mendesign kamar untuk putra mereka dengan begitu teliti dan tentu saja sesuai dengan selera anak-anak berusia 4 tahun.

Ada begitu banyak mainan dan juga buku bergambar. Dira tersekat. Gambaran ini membuat semua usahanya untuk memberikan yang terbaik bagi putranya terdengar menyedihkan. Ia memang tidak bisa memberikan yang terbaik, tapi Dira memastikan ia selalu membuat putranya bahagia.

“Apa aku boleh menunggangnya?” seru Noah menunjuk mainan kuda-kudaan yang diletakkan di sudut kamar.

Ethan tersenyum mengangguk. “Untuk itulah mainan itu ada di sana. Kau bisa bermain sepuasnya. Semua ini milikmu sekarang.”

“Milikku?” bocah 4 tahun itu sepertinya kesusahan mengeluarkan kata-kata.

“Milikmu yang bebas kau gunakan sepuasnya.”

“Tapi bagaimana jika ada anak lain yang datang dan merebutnya?” wajahnya cemberut menggemaskan.

Ethan menekuk lututnya. “Bagaimana kalau kita berdua memastikan tidak ada anak yang boleh memasuki kamar ini, kau setuju?”

Noah mengangguk antusias sampai Dira takut kepalanya sakit.

“Aku akan mengantar Mommy ke kamarnya, kau bisa menunggu di sini sebentar?”

“Okke dokkeey!”

“Mommy akan segera kembali, setelah itu kau harus istirahat, oke?”

Noah mengangguk sebelum berlari menuju mainannya.

Seorang wanita tua bergegas masuk begitu Dira dan Ethan bergerak keluar.

“Siapa wanita itu?” tanya Dira penasaran saat mereka melanjutkan perjalanan.

“Pengasuh Noah.”

Pengasuh?

“Apa maksudmu pengasuh Noah? Aku tidak butuh pengasuh, aku bisa mengurus putraku sendiri!” geramnya.

Ethan membuka pintu kamar yang ada di samping kamar Noah.

“Aku tidak bilang kalau kau tidak bisa mengurusnya Dira, tapi kau jelas butuh tenaga bantuan, apa kau sudah pernah melihat dirimu sendiri? Dan dia bukan putramu, dia putra kita.”

Pertanyaan menohok itu membuatnya terdiam. Menjadi orang tua tunggal sekaligus menjadi pencari nafkah bukanlah hal yang mudah, ia tidak pernah benar-benar punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri dan Dira pikir itu tidak perlu. Buat apa? Ia tidak punya seseorang yang ingin ia bahagiakan dengan penampilannya. Baginya memastikan kebahagiaan Noah lebih penting daripada memerhatikan penampilannya.

“Aku tahu aku jelek, tapi kau tidak perlu membuatnya sejelas itu,” bentaknya kesal.

Mata Ethan menyipit. “Jangan menggunakan nada itu padaku. Aku tidak bilang kau jelek karena kau masih secantik yang kuingat, yang ingin kukatakan adalah terkadang kau butuh waktu untuk dirimu sendiri dan itu tidak akan bisa terjadi kalau kau hanya memusatkan perhatian pada putra kita. Kau butuh istirahat.”

Perhatian itu meskipun tidak disengaja membuat dadanya menghangat, tapi Dira mengusirnya dengan ganas. Tidak lagi ia akan terjebak dalam pusaran perasaan yang hanya akan memberinya rasa sakit.

“Ini kamar kita. Kuharap kau menyukainya.”

Dira mengerjap. “Kamar kita? Kupikir… kupikir…” otaknya mendadak lumpuh.

“Kau pikir apa Dira? Bahwa kita akan tidur di kamar yang berbeda? Sampai kapan? Sampai salah satu di antara kita menyerah?” tantang Ethan.

“Ta-tapi….”

“Aku tahu aku tidak bisa memercayaimu karena kau pernah mengkhianatiku, tapi seperti yang kukatakan demi putra kita aku bisa berkompromi.”

Kedua tangan Dira terkepal. “Aku tidak pernah mengkhianatimu. Kau yang mengkhianatiku.”

Ethan menoleh, tatapannya sama sekali tidak memberi Dira petunjuk tentang apa yang sedang dipikirkan pria itu dan hal itu hanya semakin menambah kemarahan Dira. Sejak dulu Ethan selalu menutup diri padanya. Hubungan yang mereka miliki hanya melibatkan fisik, tidak lebih.

“Aku punya permintaan,” ucap Dira memecah kebekuan di antara mereka.

Ethan melipat tangan di depan dadanya, menunggu Dira melanjutkan.

“Aku ingin bekerja.”

“Kau apa?” Suara Ethan terdengar berbahaya, tapi Dira tidak akan mundur. Ia tidak mau terjebak dalam kekuasaan pria itu lagi.

“Aku bisa bekerja di rumah ini sebagai tukang masak atau tukang bersih-bersih, apa pun. Kupikir hanya itulah yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu karena mengizinkanku tinggal gratis di rumahmu.”

Ethan mengusap dagunya. “Kau… sejak dulu selalu tahu bagaimana menentangku, bukan?”

Dira tidak menjawab.

“Kau ingin jadi pelayan di rumah ini?” seringai Ethan menjadi kejam. “Maka sejak sekarang kau adalah pelayan di rumah ini, Dira persis seperti yang kau inginkan. Kau akan melayani semua keperluanku. Apa pun yang kuinginkan.”

“Bukan seperti itu maksudku!”

Ethan berjalan mendekat dengan setiap inci tubuhnya meneriakkan kata “berbahaya”. Tatapan matanya yang tajam tampak kejam dan bengis.

Dira mengepalkan tangannya erat, berusaha mempertahankan ketenangannya dibawah tatapan Ethan yang begitu mengintimidasi. Pengaruh kehadiran pria itu pada dirinya… masih membuatnya takut dan ia benar-benar tidak ingin Ethan tahu dan menyadarinya.

“Kau ingin bekerja dan kau mendapatkannya. Itulah yang akan kau lakukan Dira, menjadi pelayanku, persis seperti yang kau inginkan. Mungkin kau mau menjadi pelayan juga di atas ranjangku?”

Tangan Dira terangkat, tapi Ethan lebih dahulu menangkupnya sebelum tangan itu mendarat di wajahnya. Ethan menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Dira sampai-sampai panas napas pria itu menyapu wajah Dira. Seringai yang muncul sesudahnya membuat Dira merasa seakan sedang berhadapan dengan iblis.

“Jangan memainkan permainan berbahaya saat kau tahu kau akan kalah di dalamnya. Kita berdua tahu kau menginginkanku, bukan begitu Dira?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 133

    “Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 132

    Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 131

    Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 130

    Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 129

    Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 128

    “Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 127

    Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 126

    Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann

  • Rahasia Dibalik Kepergian Istriku   BAB 125

    Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status