Nio menjaga raut wajahnya tetap tenang, “Ada terlalu banyak orang di sini,” ujarnya sambil melirik ke arah beberapa pelayan yang berdiri di kejauhan, mencoba tak terlihat tapi jelas memperhatikan. Sejenak, mata Sarah menyipit. Kemarahannya tersirat dari kerutan tipis di dahinya. Tapi ia menarik napas perlahan dan memaksakan senyum. “Kau masih seperti dulu. Hati-hati, terlalu berhati-hati.” Ia melepaskan pelukannya dan membalikkan badan. “Kalau begitu, ikut aku. Aku sudah menyiapkan makan malam. Kita bisa bicara lebih tenang di sana.” Nio mengangguk singkat dan mengikuti langkah Sarah menyusuri lorong menuju ruang makan yang lebih privat. Ruangan itu hangat, pencahayaannya lembut dengan lilin-lilin kecil yang menyala di tengah meja makan panjang berlapis kain sutra krem. Hidangan mewah tersaji rapi. Mereka duduk berhadapan, diam sejenak sebelum Sarah membuka pembicaraan. “Aku masih ingat makanan kesukaanmu,” katanya sambil m
Mobil hitam yang dikendarai Nio berhenti tepat di depan gerbang rumah mewah bergaya arsitektur Eropa klasik yang menjulang megah di tengah pekatnya malam. Lampu-lampu taman memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau samar pada air mancur besar di tengah halaman. Nio turun dari mobilnya. Ia datang sendiri, mengenakan kemeja hitam yang membaur dengan malam, jasnya terbuka, dan langkahnya penuh ketegasan. Saat ia mendekati gerbang besar yang dijaga dua pria bersenjata, keduanya segera menghadang, menyilangkan lengan dan mengarahkan senter ke wajahnya.“Tidak ada jadwal kunjungan malam ini,” ucap salah satu penjaga dengan nada tegas.Nio tidak menggubris. Ia melangkah satu langkah lebih dekat, menatap lurus ke mata penjaga itu. Suaranya tenang, tapi dingin dan berwibawa, “Sampaikan pada Sarah… bahwa Ethan Zaferino datang.”Kedua penjaga saling berpandangan, wajah mereka berubah seketika. Nama itu bagaikan bom yang meledakkan ketegangan di udara. Salah satu dari mereka segera bicara me
Perlahan, Nio berlutut di hadapan wanita tua itu. Tangannya menggenggam erat tangan Nenek Lina yang rapuh namun selalu kuat dalam ketenangan.“Nek…” suara Nio rendah dan penuh getaran, “Aku janji… Aku akan menyelesaikan semua ini. Apa pun itu, dendam, kebohongan, pengkhianatan, orang-orang yang mengincar hidupku akan aku hadapi sampai selesai.”Tatapannya tak lagi ragu, kali ini penuh keyakinan. “Aku nggak mau terus sembunyi. Aku tahu ini bukan hanya tentang aku, tapi tentang orang-orang yang aku sayangi. Ruby… dia berhak tahu semuanya. Dia pantas mendapatkan penjelasan, bukan luka dan kepergian.”Nenek Lina mengangguk pelan, mata tuanya berkaca-kaca. “Dan kau pun pantas mendapatkan ketenangan, Nio. Jangan biarkan masa lalu menghapus masa depanmu.”Nio mengangguk. “Aku akan kembali, Nek. Entah ke sini, atau ke Ruby. Tapi aku akan kembali sebagai diriku yang utuh. Bukan bayangan, bukan rahasia… tapi sebagai Nio yang memilih untuk hidup, bukan untuk
Ruby terdiam, matanya berkaca-kaca lagi, namun kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan karena seberkas harapan yang tiba-tiba menyelinap masuk.Ia mengangguk pelan, lalu membisikkan, “Terima kasih, Nek,” sebelum melangkah keluar dari rumah itu dengan langkah pelan namun sedikit lebih tenang.Begitu langkah Ruby menghilang di balik jalan setapak yang mengarah ke gerbang kayu tua, Nenek Lina masih berdiri memandangi bayangan itu dengan sorot mata sendu namun dalam. Jemarinya yang keriput masih memegang benang rajut, tapi gerakannya terhenti. Lalu, dengan suara pelan tapi sarat makna, Nenek Lina berkata tanpa menoleh,“Sampai kapan kamu akan terus bersembunyi seperti ini?”Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya, dari balik tembok, seseorang melangkah keluar perlahan.Nio berdiri di sana, wajahnya muram, mata sembab dan penuh penyesalan. Rambutnya sedikit berantakan, dan di balik ekspresi tegasnya, tampak luka batin yang dalam. Ia tidak
Pagi itu, mentari menembus celah-celah tirai jendela rumah kayu tua tempat Nenek Lina tinggal. Udara terasa hangat meski ada embusan angin laut yang lembut. Di dalam kamar, Nenek Lina duduk di kursi rotannya seperti biasa, jemarinya lincah merajut benang wol berwarna biru laut. Entah sudah berapa rajutan yang ia buat, tapi wajahnya tetap tenang dan damai.Pintu kamar diketuk pelan. Tak lama kemudian, Ruby muncul dari balik ambang dengan senyum kecil yang dipaksakan.“Nek…” sapa Ruby pelan.Nenek Lina mendongak, wajah keriputnya langsung berseri. “Ruby, masuklah. Duduk sebentar. Aku sedang menyelesaikan rajutan yang ah, entah yang ke berapa,” ucapnya sambil terkekeh ringan.Ruby duduk di bangku kayu kecil di samping sang nenek. Pandangannya sempat tertuju pada jemari Nenek Lina yang masih kuat merajut, lalu matanya menerawang ke luar jendela.“Aku melihat seseorang kemarin,” ujar Ruby perlahan.Nenek Lina menoleh, menatap Ruby tan
Nio mendesah pelan, lalu menatap ke arah bukit kecil di seberang, di mana dulu ia tinggal di rumah sederhana tak jauh dari rumah Nenek Lina. Ia kembali ke sana, menyusuri jalan setapak dengan rerumputan tinggi, hingga akhirnya berdiri di depan bangunan kecil yang pernah disebutnya rumah, sebuah pondok reyot dari kayu, yang meski sederhana, menyelamatkan hidupnya selama setahun lebih.Namun, pikirannya tidak berhenti di sana. Ia menatap ke arah kiri, sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri: rumah Nenek Lina.Ia bergegas menuju ke sana.Rumah itu... nyaris runtuh. Atapnya sudah berlubang, dindingnya retak, dan jendela kayunya tergantung patah. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tak ada asap dari dapur, tak ada suara dari dalam.Dengan hati-hati, Nio mendorong pintu rumah yang mengeluarkan bunyi berderit pelan. Di dalamnya gelap dan berdebu. Ia melangkah masuk, menatap sekitar, rak tua, kursi reyot, lemari dengan daun pintu yang terbuka, dan me