Pagi menyapa kamar VIP rumah sakit dengan cahaya matahari yang lembut menembus tirai. Di atas ranjang, Nio duduk bersandar dengan bantal tambahan di punggungnya, mengenakan gaun pasien yang sudah sedikit kusut. Ruby duduk di kursi di samping tempat tidur, matanya waspada saat seorang dokter dan dua perawat masuk ke ruangan dengan tablet dan alat pemeriksaan di tangan.
“Selamat pagi, Tuan Ethan,” sapa sang dokter sambil tersenyum ramah.“Pagi, Dok,” balas Nio, suaranya masih berat karena baru bangun tak lama sebelumnya.Dokter memeriksa hasil dari monitor infus dan catatan medis di tangannya, lalu membuka tablet dan melihat grafik vital pasien. Sambil memeriksa denyut nadi Nio dan memperhatikan bekas luka di bagian dada dan lengan, ia berkata dengan nada profesional namun tetap tenang.“Keadaan Anda cukup stabil untuk saat ini, tapi kami butuh memastikan tidak ada cedera dalam yang terlewat. Saya sarankan beberapa pemeriksaan tambahan hari ini, teRuby menoleh cepat ke arah Nio, matanya melebar. Ia seperti tak percaya pria itu mengatakannya dengan begitu lugas, seolah mendeklarasikan perang di hadapan mantan tunangannya sendiri. Tapi Nio tidak menarik kata-katanya. Tangannya terulur ke meja, menggenggam tangan Ruby dan memberinya sedikit tekanan, menegaskan bahwa itu bukan sekadar sandiwara.“Kau ingin aku diam?” tanya Sarah lirih, seolah tersedak dengan keputusan itu. “Kau ingin aku melihatmu hidup damai dengan wanita yang menggantikan tempatku? Kau pikir aku bisa berpura-pura semua ini tidak terjadi?”“Aku tidak menyuruhmu pura-pura,” balas Nio, nadanya dingin. “Aku hanya memperingatkan. Dunia kita berbeda sekarang, Sarah. Aku tidak ingin perang, tapi aku juga tidak akan segan jika kau menantangku.”Sarah menggertakkan giginya, matanya menatap tajam ke arah genggaman tangan Nio dan Ruby. “Baiklah,” gumamnya. “Aku akan diam. Aku akan jaga jarak dari kehidupanmu sebagai Nio... dan dari Ruby.”
Di depan lift parkiran, berdiri seorang wanita dengan setelan kerja elegan berwarna krem. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, bibirnya dipulas dengan warna merah marun yang tegas. Sarah.Wajah wanita itu memucat seketika saat melihat Ruby dan Nio berjalan beriringan… bergandengan tangan. Matanya membelalak, terutama saat melihat tangan Nio tidak hanya menggenggam tangan Ruby tapi juga menariknya mendekat dan mengecup pipi Ruby dengan lembut, tanpa ragu sedikit pun.Ruby nyaris menarik tangannya refleks, tapi sebelum sempat bergerak, genggaman Nio justru menguat. Matanya menatap Sarah dengan dingin dan tegas.Sarah membuka mulut, suaranya nyaris tercekat. “Kalian… apa hubungan kalian berdua?”Tidak ada senyum di wajah Sarah. Tatapannya campuran antara keterkejutan, kepanikan, dan rasa tidak percaya.Ruby menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak cepat. Ini bukan bagian dari rencana, dan ia tahu Sarah tidak akan tinggal diam.
Lampu malam di kamar rumah sakit menyala lembut, memantulkan cahaya hangat ke permukaan dinding putih yang bersih. Di luar jendela, langit Macau mulai pekat, dihiasi kelap-kelip lampu kota yang memantul di permukaan sungai. Ruby duduk di sisi ranjang, memandangi Nio dengan sorot mata yang penuh keraguan, seolah menyusun kata yang tak mudah diucapkan.“Nio,” ucapnya pelan.Nio menoleh, matanya menatap penuh tanya. “Ayahku ingin aku membawa kau, Nio Alenka ke rapat dewan minggu ini,” kata Ruby akhirnya, sorot matanya lurus ke arah Nio, mencoba membaca reaksinya.Nio terdiam, “Maksudmu… aku?”Ruby mengangguk pelan. “Ya. Ayah ingin memastikan bahwa suamiku, masih hidup.” Ia menghela napas berat. “Aku tahu ini bukan permintaan yang mudah. Apalagi sekarang... kau bukan lagi Nio. Kau adalah Ethan.”Hening menyelimuti mereka sesaat. Angin malam dari jendela yang sedikit terbuka menyelusup masuk, membuat tirai tipis bergoyang perlahan. Nio menatap jauh ke luar, ke arah kegelapan kota, seolah
Langkah kaki Ruby memasuki lobi kantor pusat terlihat tenang dan tegap. Meski wajahnya tampak lelah setelah menghabiskan waktu seharian di rumah sakit, aura wibawanya tetap tidak berkurang sedikit pun. Seorang karyawan sempat menyapanya dengan gugup, dan Ruby hanya membalas dengan senyum kecil sebelum langsung menuju ruangannya di lantai atas. Begitu pintu lift terbuka, Laila, sekretaris pribadinya, langsung berdiri dari kursinya dengan ekspresi cemas. “Selamat datang kembali, Bu Ruby,” sapa Laila dengan sopan. “Maaf mengganggu, tapi saya rasa ini mendesak.” Ruby mengangguk, meletakkan tas di atas meja kerjanya tanpa duduk. “Ada apa?” Laila menelan ludah sebelum menyerahkan sebuah berkas dan berbicara dengan suara pelan namun jelas, “Baru saja saya mendapat informasi… Tuan Gerry mulai bergerak. Ia sudah mendekati beberapa anggota dewan di perusahaan cabang. Katanya... ia mencoba membujuk mereka untuk mendukung pergantian posisi presdir.” Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Rub
Begitu pintu tertutup dan langkah sang dokter menjauh, keheningan tipis menyelimuti ruangan. Ruby duduk di sisi ranjang sambil memainkan gagang cangkir kopi yang kini sudah dingin.“Nio…” katanya pelan, menoleh ke arah Nio. “Aku harus pergi sebentar.”Nio mengangkat alis. “Sekarang?”Ruby mengangguk. “Tadi telepon yang masuk dari Laila. Ada laporan mendadak soal proyek yang sedang aku tangani. Ternyata aku tidak bisa cuti selama yang aku kira. Aku harus hadir di rapat koordinasi online dan menandatangani beberapa dokumen penting. Aku akan pulang malam nanti, sebelum kamu tidur.”Nio hanya menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti. Pekerjaan kamu penting, Ruby. Dan kamu memang tidak pernah setengah-setengah soal tanggung jawab. Jangan terlalu ditunda, nanti malah lebih repot.”Ruby menatap wajah Nio beberapa detik, seolah sedang menghafalkan garis wajah itu satu per satu. Lalu ia tersenyum kecil dan merapikan selimut pria itu.
Ruangan itu sunyi saat hasil tes terakhir muncul di layar monitor. Hanya suara jarum infus yang menetes perlahan dan detik jam dinding yang terdengar. Dokter memandangi layar lebih lama dari biasanya. Matanya bergerak lambat, lalu beralih pada lembar cetakan di tangannya. Ekspresinya tak berubah, tapi Nio tahu ada sesuatu yang disembunyikan.Ruby, yang duduk di sisi tempat tidur Nio, menggenggam tangan pria itu sambil menunggu penuh harap. "Bagaimana, Dok?" tanyanya dengan senyum kecil.Dokter itu menghela napas ringan, lalu memaksakan senyuman profesionalnya. "Hasil pemeriksaan secara umum terlihat baik. Tekanan darah, detak jantung, dan beberapa parameter utama sudah stabil. Kalau tidak ada keluhan baru sampai malam ini, Tuan Ethan bisa pulang besok pagi."Ruby sontak berdiri dan memeluk lengan Nio erat. "Syukurlah... akhirnya. Kita bisa pulang." Matanya berbinar, penuh harapan.Nio hanya tersenyum tipis. Ia meremas jemari Ruby, namun pandangannya tetap tertuju pada dokter yang nyar