Setelah prosesi selesai, para tamu undangan diarahkan menuju area makan siang dan networking. Namun Nio dan Ruby sempat berdiri berdua di tepi panggung, menikmati momen kebanggaan itu hanya untuk mereka berdua.
“Kau hebat,” bisik Ruby sambil menyentuh lengan Nio. “Aku tahu kau akan sampai di titik ini.”Nio tersenyum, wajahnya sedikit teduh terkena sinar matahari. “Kalau bukan karena kamu, aku mungkin masih keras kepala di sudut gudang yang gelap.”Ruby terkekeh pelan. “Kamu masih keras kepala sampai sekarang.”Nio menoleh menatap istrinya. “Tapi kamu tetap memilih untuk ada di sampingku.”“Aku selalu percaya padamu, bahkan ketika kamu tidak percaya pada dirimu sendiri.”Mereka saling diam sejenak, hanya saling menatap dalam keheningan yang hangat. Di tengah kesibukan dunia, di antara keramaian dan suara tertawa para undangan, ada ruang kecil di antara mereka yang hanya milik berdua tenang dan utuh.<Nio mengangguk, hatinya kian mantap. Ia berdiri, lalu membantu nenek Lina berjalan ke kursi yang telah disiapkan Markus di sudut ruangan.Sebelum duduk, nenek Lina menoleh sekali lagi pada Nio. “Hari ini, Nak, bukan hanya pesta ulang tahun pernikahan. Hari ini adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh kembali, bahkan setelah badai sekalipun. Peganglah itu baik-baik.”Nio tersenyum tulus, menunduk hormat. “Aku akan selalu mengingatnya, Nek.”Hari ini, ia siap berdiri di samping Ruby, tak hanya sebagai suami, tapi sebagai pria yang akan selalu menjaga cintanya.***Langit sore di tepi pantai terlihat indah, dihiasi semburat jingga yang perlahan berpadu dengan biru laut. Angin membawa aroma asin yang lembut, sementara debur ombak menjadi irama alami yang mengiringi suasana sakral sore itu. Di tengah hamparan pasir putih, sebuah altar sederhana berdiri, dihiasi rangkaian bunga putih dan merah muda yang menjuntai, membuat tempat itu tampak hangat dan penuh cinta.Acara hanya dihadiri oleh orang
Ruang rias itu dipenuhi aroma lembut bunga segar dan wangi bedak halus. Ruby duduk tenang di depan meja rias besar dengan cermin yang dikelilingi lampu-lampu kecil, membuat wajahnya tampak bersinar. Jemari perias bekerja luwes, menyapukan kuas tipis ke pipinya, memberi rona alami yang lembut. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, dihiasi hiasan kecil berbentuk bunga putih. Ruby menatap pantulan dirinya di cermin, hatinya bergetar. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin lagi, tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda.Gaun putih sederhana yang dipilihnya beberapa hari lalu kini membalut tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada detail berlebihan, hanya potongan yang anggun dan elegan, seakan gaun itu memang dibuat khusus untuknya. Ruby meraba perlahan kain gaun itu, merasakan kehalusan teksturnya. Senyumnya muncul tipis, campuran gugup dan bahagia.Pintu ruang rias berderit pelan. Nyonya Ashaki masuk dengan langkah anggun, membawa kehangatan seorang ibu yang selalu menenangkan. Sa
Tuan Ashaki kembali mengangkat cangkir tehnya, kali ini dengan ekspresi lega. “Bagus. Jadi kita punya dua hal untuk dirayakan pesta ulang tahun pernikahan kalian, dan doa agar cucu pertama segera datang.”Nyonya Ashaki mengangguk setuju. “Kami akan mendukung kalian sepenuhnya. Apapun yang kalian butuhkan, katakan saja.”Ruby akhirnya menghela napas, pasrah pada alur pembicaraan. Meski masih ingin mengeluh, hatinya tak bisa mengabaikan tatapan bahagia orang tuanya. Ia pun menunduk, menghirup teh hangat itu perlahan, mencoba menenangkan hatinya. Sementara di sampingnya, Nio tetap duduk dengan wajah tenang, menatap ke depan dengan keyakinan bahwa apa yang ia lakukan barusan adalah langkah terbaik.Usai percakapan panjang itu, suasana di ruang tamu mulai mereda. Tuan Ashaki tampak puas dengan apa yang ia dengar, sementara Nyonya Ashaki dengan wajah lembut kembali menuangkan teh ke cangkir Nio dan Ruby. Malam semakin larut, dan meski hangatnya kebersamaan begit
Nio menatap langsung, tenang, “Syukurlah, berjalan cukup baik. Banyak tantangan, tapi saya menikmati setiap prosesnya. Ruby juga sangat membantu, meski ia tidak menyadarinya.” Ruby tersipu mendengar itu, membuat ibunya tersenyum bangga. Tuan Ashaki hanya mengangguk singkat, namun ada kilatan rasa puas di matanya. Seiring waktu, tawa mulai terdengar di meja makan. Suasana yang semula kaku berubah menjadi hangat. Nyonya Ashaki bahkan menceritakan sedikit kenangan masa kecil Ruby, membuat Ruby menutup wajahnya karena malu sementara Nio menahan tawa. Setelah makan malam selesai, mereka berpindah ke ruang tamu. Suasana jauh lebih santai, lampu hangat menerangi ruangan, dan aroma teh hijau yang baru diseduh menyebar lembut. Nyonya Ashaki menuangkan teh ke dalam cangkir keramik, lalu menyerahkannya pada masing-masing. Ruby duduk di sisi Nio, sementara Tuan Ashaki bersandar di kursinya, menatap mereka dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Ia mengangkat cangkirnya sejenak, menyerup
Ruby duduk di seberang meja kerja Nio, ia menarik napas dalam-dalam lalu berkata pelan, “Nio… aku ingin mengajakmu menemui Papa.”Nio yang baru saja membuka dokumen di laptopnya langsung menghentikan gerakan jarinya. Ia mengangkat kepala, menatap Ruby dengan heran. “Papamu? Maksudmu… malam ini?”Ruby mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan keraguan yang sama. “Iya. Tadi siang Papa menelponku, katanya beliau ingin mengundang kita makan malam bersama. Sejujurnya aku juga kaget, mendadak sekali. Tapi… kurasa sebaiknya kita pergi. Aku tidak ingin mengecewakan Papa.”Nio bersandar di kursinya, mencoba mencerna perkataan Ruby. Undangan mendadak itu jelas mengejutkannya, apalagi mengingat hubungan yang selama ini agak kaku antara dirinya dan ayah mertuanya. “Makan malam bersama keluarga? Begitu saja tanpa ada alasan?” tanyanya hati-hati.Ruby menggeleng, meski keraguannya tampak jelas. “Aku juga tidak tahu apa tujuannya, mungkin hanya ingin bertemu. Lagipula… sudah lama kita tidak makan bersa
Nio bisa membayangkan betapa bahagianya Ruby di sini, di tempat terbuka dengan suasana hangat dan akrab.Destinasi ketiga adalah sebuah pantai pribadi yang cukup eksklusif. Jalan menuju ke sana agak jauh, namun ketika mobil berhenti dan Nio turun, semua lelah perjalanan terbayar lunas. Hamparan pasir putih membentang luas, ombak bergulung perlahan, dan suara laut menjadi musik alami yang menenangkan.Clara tersenyum, seolah tahu reaksi Nio. “Ini lokasi favorit untuk beach wedding. Bisa dilakukan sore menjelang senja, ketika matahari terbenam. Bayangkan, pelaminan kecil dengan latar belakang laut, kursi tamu berderet rapi di pasir, dan janji suci diucapkan dengan suara ombak sebagai saksi.”Nio berjalan pelan ke arah bibir pantai, membiarkan pasir menyentuh sepatunya. Ia memandang jauh ke cakrawala, membayangkan Ruby berdiri di sampingnya, gaunnya tertiup angin laut, cahaya keemasan senja memeluk wajahnya.“Indah sekali,” ucapnya lirih. Ia tersenyu