Ruby terdiam, matanya berkaca-kaca lagi, namun kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan karena seberkas harapan yang tiba-tiba menyelinap masuk.Ia mengangguk pelan, lalu membisikkan, “Terima kasih, Nek,” sebelum melangkah keluar dari rumah itu dengan langkah pelan namun sedikit lebih tenang.Begitu langkah Ruby menghilang di balik jalan setapak yang mengarah ke gerbang kayu tua, Nenek Lina masih berdiri memandangi bayangan itu dengan sorot mata sendu namun dalam. Jemarinya yang keriput masih memegang benang rajut, tapi gerakannya terhenti. Lalu, dengan suara pelan tapi sarat makna, Nenek Lina berkata tanpa menoleh,“Sampai kapan kamu akan terus bersembunyi seperti ini?”Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya, dari balik tembok, seseorang melangkah keluar perlahan.Nio berdiri di sana, wajahnya muram, mata sembab dan penuh penyesalan. Rambutnya sedikit berantakan, dan di balik ekspresi tegasnya, tampak luka batin yang dalam. Ia tidak
Pagi itu, mentari menembus celah-celah tirai jendela rumah kayu tua tempat Nenek Lina tinggal. Udara terasa hangat meski ada embusan angin laut yang lembut. Di dalam kamar, Nenek Lina duduk di kursi rotannya seperti biasa, jemarinya lincah merajut benang wol berwarna biru laut. Entah sudah berapa rajutan yang ia buat, tapi wajahnya tetap tenang dan damai.Pintu kamar diketuk pelan. Tak lama kemudian, Ruby muncul dari balik ambang dengan senyum kecil yang dipaksakan.“Nek…” sapa Ruby pelan.Nenek Lina mendongak, wajah keriputnya langsung berseri. “Ruby, masuklah. Duduk sebentar. Aku sedang menyelesaikan rajutan yang ah, entah yang ke berapa,” ucapnya sambil terkekeh ringan.Ruby duduk di bangku kayu kecil di samping sang nenek. Pandangannya sempat tertuju pada jemari Nenek Lina yang masih kuat merajut, lalu matanya menerawang ke luar jendela.“Aku melihat seseorang kemarin,” ujar Ruby perlahan.Nenek Lina menoleh, menatap Ruby tan
Nio mendesah pelan, lalu menatap ke arah bukit kecil di seberang, di mana dulu ia tinggal di rumah sederhana tak jauh dari rumah Nenek Lina. Ia kembali ke sana, menyusuri jalan setapak dengan rerumputan tinggi, hingga akhirnya berdiri di depan bangunan kecil yang pernah disebutnya rumah, sebuah pondok reyot dari kayu, yang meski sederhana, menyelamatkan hidupnya selama setahun lebih.Namun, pikirannya tidak berhenti di sana. Ia menatap ke arah kiri, sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri: rumah Nenek Lina.Ia bergegas menuju ke sana.Rumah itu... nyaris runtuh. Atapnya sudah berlubang, dindingnya retak, dan jendela kayunya tergantung patah. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tak ada asap dari dapur, tak ada suara dari dalam.Dengan hati-hati, Nio mendorong pintu rumah yang mengeluarkan bunyi berderit pelan. Di dalamnya gelap dan berdebu. Ia melangkah masuk, menatap sekitar, rak tua, kursi reyot, lemari dengan daun pintu yang terbuka, dan me
Nio mengangguk. “Ya. Dan bukan orang Rusia yang menghianati operasi malam itu. Bukan mereka yang membuatku jatuh ke laut dan hampir mati.” Ia menunduk sesaat, lalu kembali menatap Markus. “Sarah yang melakukannya. Dia yang menarik pelatuknya. Dia yang menembakku dari belakang.”Markus terdiam sejenak. “Dan mengenai kematian ayahmu, Tuan Edward…?”“Aku tidak pernah percaya pada versi cerita Sarah sejak awal,” ujar Nio tajam. “Ayahku terlalu kuat, terlalu waspada, untuk dikalahkan oleh konspirasi luar tanpa pengkhianatan dari dalam.”Markus bergumam, “Kau berpikir Sarah membunuh Tuan Edward?”“Aku yakin,” jawab Nio mantap. “Sarah bukan sekadar boneka Yakuza. Dia punya ambisi. Dan saat ayahku menolak pernikahan kami karena menyadari sisi gelap Sarah, dia mengambil jalannya sendiri. Dan itu adalah darah.”Markus mengangguk pelan, seolah mengerti potongan teka-teki yang perlahan kembali membentuk gambar utuh. “Kalau begitu… apa rencanamu?”
Angin malam bertiup lebih dingin dari sebelumnya, menggigit kulit dan menyesakkan dada.Nio mengusap pelipisnya yang mendadak berdenyut. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dulu ia pikir ia hanya seorang anak mafia, lalu berubah menjadi pebisnis muda ambisius. Tapi kini, kenyataan berkata lain. Hidupnya lebih dalam dari yang ia duga lebih berdarah dan lebih penuh jebakan.“Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” tanya Nio akhirnya, suaranya sedikit bergetar.Sarah menghela napas panjang. “Karena aku juga takut, Ethan. Aku pikir jika aku menguasai semua warisanmu, aku bisa menukar posisiku, atau menenangkan mereka. Tapi ternyata… aku juga hanya bidak. Dan kini, mereka mulai kehilangan kesabaran. Beberapa dari mereka… sudah berada di sini. Di kota ini.”Nio menatap Sarah tajam. “Jadi... kau ingin kerja sama? Atau kau hanya ingin menyelamatkan dirimu?”Sarah menatapnya, kali ini jujur, tanpa topeng. “Keduanya. Aku pernah mencintaimu, Ethan. Dan mungkin... bagian keci
Nio menggeleng. “Hanya potongan-potongan kecil. Wajah, tempat, kadang suara. Tapi tidak utuh.”Sarah menarik napas panjang. Ia melangkah mundur dan memberikan isyarat kecil pada pengawalnya agar tidak terlalu tegang. Lalu ia duduk di kursi yang disiapkan di tengah taman, memandang Nio dengan senyum yang sulit ditebak.“Kalau begitu… kita punya banyak hal untuk dibicarakan.”Nio dan Markus duduk di seberangnya. Ketegangan masih menggantung di udara, walau permukaannya tampak tenang. Para penjaga masing-masing faksi hanya berpura-pura rileks, tapi mata mereka saling mengawasi, dan tangan mereka tak jauh dari senjata.“Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan,” ucap Sarah. “Tapi aku juga. Seperti… kenapa kamu tak datang menemuiku lebih cepat? Kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?”“Aku bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya,” balas Nio jujur. “Semua baru datang kembali… setelah seseorang mencoba membunuhku lagi.”Senyum Sarah menghilang sesaat. “Mereka masih mencarimu, Ethan. Kamu tahu it