Satu bulan kemudian.Cahaya matahari baru saja mengintip malu dari balik tirai kamar. Ruby terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya terasa berat dan tidak nyaman. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk, namun rasa pusing yang datang membuatnya terpaksa duduk sambil memegangi kepala. Sudah beberapa hari terakhir ia merasakan hal aneh. Tubuh lelah, mudah mual, dan kadang kehilangan selera makan. Namun pagi ini, rasa itu lebih kuat dari biasanya.Di dapur, terdengar suara panci dan aroma roti panggang. Nio tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sejak pernikahan mereka yang kedua kali, ia lebih sering meluangkan waktu di pagi hari untuk memastikan Ruby mendapat makanan hangat sebelum memulai aktivitas. Perlahan ia melangkah keluar kamar. Baru beberapa langkah, aroma masakan semakin kuat masuk ke hidungnya, dan tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Ruby berhenti sejenak, lalu menutup mulutnya. Namun tak mampu menahan lebih lama, ia segera berlari ke wastafel terdekat dan memunta
Nio mengangguk, hatinya kian mantap. Ia berdiri, lalu membantu nenek Lina berjalan ke kursi yang telah disiapkan Markus di sudut ruangan.Sebelum duduk, nenek Lina menoleh sekali lagi pada Nio. “Hari ini, Nak, bukan hanya pesta ulang tahun pernikahan. Hari ini adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh kembali, bahkan setelah badai sekalipun. Peganglah itu baik-baik.”Nio tersenyum tulus, menunduk hormat. “Aku akan selalu mengingatnya, Nek.”Hari ini, ia siap berdiri di samping Ruby, tak hanya sebagai suami, tapi sebagai pria yang akan selalu menjaga cintanya.***Langit sore di tepi pantai terlihat indah, dihiasi semburat jingga yang perlahan berpadu dengan biru laut. Angin membawa aroma asin yang lembut, sementara debur ombak menjadi irama alami yang mengiringi suasana sakral sore itu. Di tengah hamparan pasir putih, sebuah altar sederhana berdiri, dihiasi rangkaian bunga putih dan merah muda yang menjuntai, membuat tempat itu tampak hangat dan penuh cinta.Acara hanya dihadiri oleh orang
Ruang rias itu dipenuhi aroma lembut bunga segar dan wangi bedak halus. Ruby duduk tenang di depan meja rias besar dengan cermin yang dikelilingi lampu-lampu kecil, membuat wajahnya tampak bersinar. Jemari perias bekerja luwes, menyapukan kuas tipis ke pipinya, memberi rona alami yang lembut. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, dihiasi hiasan kecil berbentuk bunga putih. Ruby menatap pantulan dirinya di cermin, hatinya bergetar. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin lagi, tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda.Gaun putih sederhana yang dipilihnya beberapa hari lalu kini membalut tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada detail berlebihan, hanya potongan yang anggun dan elegan, seakan gaun itu memang dibuat khusus untuknya. Ruby meraba perlahan kain gaun itu, merasakan kehalusan teksturnya. Senyumnya muncul tipis, campuran gugup dan bahagia.Pintu ruang rias berderit pelan. Nyonya Ashaki masuk dengan langkah anggun, membawa kehangatan seorang ibu yang selalu menenangkan. Sa
Tuan Ashaki kembali mengangkat cangkir tehnya, kali ini dengan ekspresi lega. “Bagus. Jadi kita punya dua hal untuk dirayakan pesta ulang tahun pernikahan kalian, dan doa agar cucu pertama segera datang.”Nyonya Ashaki mengangguk setuju. “Kami akan mendukung kalian sepenuhnya. Apapun yang kalian butuhkan, katakan saja.”Ruby akhirnya menghela napas, pasrah pada alur pembicaraan. Meski masih ingin mengeluh, hatinya tak bisa mengabaikan tatapan bahagia orang tuanya. Ia pun menunduk, menghirup teh hangat itu perlahan, mencoba menenangkan hatinya. Sementara di sampingnya, Nio tetap duduk dengan wajah tenang, menatap ke depan dengan keyakinan bahwa apa yang ia lakukan barusan adalah langkah terbaik.Usai percakapan panjang itu, suasana di ruang tamu mulai mereda. Tuan Ashaki tampak puas dengan apa yang ia dengar, sementara Nyonya Ashaki dengan wajah lembut kembali menuangkan teh ke cangkir Nio dan Ruby. Malam semakin larut, dan meski hangatnya kebersamaan begit
Nio menatap langsung, tenang, “Syukurlah, berjalan cukup baik. Banyak tantangan, tapi saya menikmati setiap prosesnya. Ruby juga sangat membantu, meski ia tidak menyadarinya.” Ruby tersipu mendengar itu, membuat ibunya tersenyum bangga. Tuan Ashaki hanya mengangguk singkat, namun ada kilatan rasa puas di matanya. Seiring waktu, tawa mulai terdengar di meja makan. Suasana yang semula kaku berubah menjadi hangat. Nyonya Ashaki bahkan menceritakan sedikit kenangan masa kecil Ruby, membuat Ruby menutup wajahnya karena malu sementara Nio menahan tawa. Setelah makan malam selesai, mereka berpindah ke ruang tamu. Suasana jauh lebih santai, lampu hangat menerangi ruangan, dan aroma teh hijau yang baru diseduh menyebar lembut. Nyonya Ashaki menuangkan teh ke dalam cangkir keramik, lalu menyerahkannya pada masing-masing. Ruby duduk di sisi Nio, sementara Tuan Ashaki bersandar di kursinya, menatap mereka dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Ia mengangkat cangkirnya sejenak, menyerup
Ruby duduk di seberang meja kerja Nio, ia menarik napas dalam-dalam lalu berkata pelan, “Nio… aku ingin mengajakmu menemui Papa.”Nio yang baru saja membuka dokumen di laptopnya langsung menghentikan gerakan jarinya. Ia mengangkat kepala, menatap Ruby dengan heran. “Papamu? Maksudmu… malam ini?”Ruby mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan keraguan yang sama. “Iya. Tadi siang Papa menelponku, katanya beliau ingin mengundang kita makan malam bersama. Sejujurnya aku juga kaget, mendadak sekali. Tapi… kurasa sebaiknya kita pergi. Aku tidak ingin mengecewakan Papa.”Nio bersandar di kursinya, mencoba mencerna perkataan Ruby. Undangan mendadak itu jelas mengejutkannya, apalagi mengingat hubungan yang selama ini agak kaku antara dirinya dan ayah mertuanya. “Makan malam bersama keluarga? Begitu saja tanpa ada alasan?” tanyanya hati-hati.Ruby menggeleng, meski keraguannya tampak jelas. “Aku juga tidak tahu apa tujuannya, mungkin hanya ingin bertemu. Lagipula… sudah lama kita tidak makan bersa