بيت / Romansa / Rahasia Istri Yang Disakiti / Bab 4 : Retakan Pertama

مشاركة

Bab 4 : Retakan Pertama

مؤلف: qia
last update آخر تحديث: 2025-10-24 14:28:06

Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.

Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.

Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.

“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.

“Iya.”

“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”

Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.

“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”

Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”

Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”

“Aku cuma mau kamu jujur,” jawab Seeyana, suaranya bergetar. “Akhir-akhir ini kamu berubah.”

Ravent tertawa kecil, tanpa humor. “Berubah? Aku kerja lebih keras. Itu salah?”

“Bukan soal kerja,” balas Seeyana cepat. “Soal pulang. Soal kamu yang makin jauh. Soal aku yang selalu nunggu.”

“Yan,” Ravent mengusap wajahnya. “Kamu terlalu banyak mikir. Jangan cari-cari masalah.”

Masalah.

Kata itu lagi.

Seeyana menarik napas dalam-dalam. “Kalau aku nggak ngomong, aku dianggap nggak ngerti. Kalau aku ngomong, aku dibilang bikin masalah. Jadi aku harus gimana, Ven?”

Hening sejenak. Hujan di luar terdengar semakin deras.

Ravent melangkah mendekat. “Kamu harus bersyukur. Banyak perempuan di luar sana yang suaminya bahkan nggak pulang.”

Kalimat itu menghantam tepat di dadanya.

“Jadi sekarang aku harus bersyukur karena kamu pulang larut?” tanya Seeyana lirih, nyaris tak percaya.

Ravent mendengus. “Kamu ini nggak pernah puas.”

Seeyana menggeleng, matanya berkaca. “Aku nggak minta lebih. Aku cuma minta ditemani. Didengerin. Sekali aja.”

“Dan aku bilang aku capek!” suara Ravent meninggi. “Kamu di rumah. Kamu nggak tahu rasanya ditekan, dikejar target, dihina atasan.”

“Aku juga capek, Ven,” balas Seeyana, kali ini suaranya lebih tegas. “Capek ngerasa sendirian di rumah sendiri.”

Ravent terdiam. Matanya menatap Seeyana lama, lalu tertawa pendek. “Kamu lebay.”

Satu kata itu cukup.

Seeyana merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh. “Lebay?” ulangnya pelan. “Perasaanku lebay?”

“Kamu kebanyakan drama,” lanjut Ravent tanpa sadar. “Makanya aku males ngobrol.”

Kata males itu seperti pisau. Air mata Seeyana jatuh, tapi ia tak lagi menyekanya. “Jadi selama ini kamu pulang larut karena males ketemu aku?”

Ravent memalingkan wajah. “Aku nggak bilang gitu.”

“Tapi itu yang kamu maksud,” bisik Seeyana.

Hening kembali menggantung, lebih berat dari sebelumnya.

Ravent menghela napas panjang. “Yan, aku nggak selingkuh. Kalau itu yang ada di kepalamu.”

Seeyana menatapnya cepat. “Aku nggak pernah bilang kamu selingkuh.”

“Tapi tatapan kamu bilang begitu,” balas Ravent tajam.

Dadanya berdegup kencang. “Aku lihat kamu sama perempuan lain.”

Kata-kata itu akhirnya keluar.

Ravent membeku sesaat, lalu tertawa kecil. “Kamu ngintipin aku sekarang?”

“Aku nggak ngintip. Aku lihat.”

“Teman kantor,” jawab Ravent cepat. “Jangan lebay.”

“Teman kantor nggak pegangan tangan,” suara Seeyana bergetar hebat.

Ravent terdiam. Tatapannya berubah dingin. “Kamu salah lihat.”

“Kamu bohong,” Seeyana akhirnya berkata, hampir tanpa suara.

Itu pertama kalinya ia berani mengatakan itu.

Ravent menegang. “Hati-hati ngomong.”

“Aku cuma pengin jujur,” balas Seeyana, dadanya naik turun. “Aku nggak bisa terus pura-pura.”

Ravent melangkah mundur. “Aku pulang ke rumah buat istirahat, bukan buat diinterogasi.”

“Kalau rumah ini tempat istirahat, kenapa aku selalu sendirian?” tanya Seeyana lirih.

Ravent tak menjawab. Ia mengambil kemeja lain dari lemari, lalu masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup keras.

Seeyana berdiri di ruang tengah, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti orang asing yang baru saja diusir dari hidup suaminya sendiri.

Malam itu, mereka tidur membelakangi. Tak ada sentuhan. Tak ada kata.

Pagi harinya, Ravent berangkat lebih awal dari biasanya. Seeyana mendengar pintu tertutup tanpa pamit. Ia bangun terlambat, dengan mata sembab dan kepala berat.

Di meja makan, sarapan yang ia siapkan tetap utuh. Ia duduk lama, menatap kursi kosong.

Retakan itu kini nyata. Tidak lagi bisa disembunyikan dengan senyum atau sabar.

Dan Seeyana tahu—setelah malam itu, tidak ada lagi jalan kembali ke keadaan semula.

استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق

أحدث فصل

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

    Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

    Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

    Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 4 : Retakan Pertama

    Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 3 : Pundak yang Terbebani

    Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.Suryani.Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajun

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 2 : Nafas yang Berat

    Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.Aku berangkat lebih pagi. Rapat.Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Gru

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status