Home / Romansa / Rahasia Istri Yang Disakiti / Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

Share

Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

Author: qia
last update Last Updated: 2025-10-30 10:54:38

Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.

Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.

Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.

Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.

Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.

Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.

Ia makan sendiri. Lagi.

Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang lebay, drama, bikin capek. Seeyana menelan ludah, memaksa makanan turun meski tenggorokannya sempit.

Setelah membereskan dapur, ia memutuskan keluar rumah. Persediaan dapur kembali menipis. Ia mengambil tas kain, mengunci pintu, lalu berjalan menyusuri jalan kecil di kompleks. Udara pagi terasa lembap, sisa hujan semalam masih meninggalkan genangan di beberapa sudut.

Di minimarket kecil dekat ujung jalan, Seeyana berdiri di rak sembako, menimbang-nimbang harga. Tangannya terulur, lalu ragu, lalu kembali menarik diri. Ia menghela napas panjang.

“Seeyana?”

Suara itu membuatnya menoleh. Victor berdiri beberapa langkah darinya, membawa keranjang belanja berisi kopi dan roti. Senyumnya hangat, tapi tidak berlebihan.

“Oh,” Seeyana terkejut kecil. “Mas Victor.”

“Kita sering ketemu di sini, ya,” katanya ringan. “Belanja pagi juga?”

“Iya,” jawab Seeyana singkat.

Victor melirik rak di depannya, lalu kembali menatap Seeyana. “Kamu kelihatan capek.”

Kalimat itu sederhana. Tidak menghakimi. Tidak memaksa. Tapi dada Seeyana mendadak terasa penuh. Ia tersenyum tipis, lebih seperti refleks. “Biasa aja.”

Victor tidak membantah. Ia hanya mengangguk, lalu membayar belanjaannya. Saat Seeyana masih menghitung uang di dompet, Victor sudah kembali berdiri di sampingnya.

“Aku antar sampai rumah?” tawarnya. “Kelihatannya berat.”

Seeyana ragu sejenak, lalu mengangguk kecil. “Terima kasih.”

Mereka berjalan berdampingan tanpa banyak bicara. Langkah mereka pelan, disertai suara burung dan motor yang lalu-lalang. Di tengah diam itu, Seeyana menyadari sesuatu—ia tidak merasa tertekan. Tidak perlu memilih kata. Tidak perlu berhati-hati.

Di depan rumah, Victor menyerahkan tas belanja itu. “Kalau butuh apa-apa… atau cuma mau ngobrol, aku ada.”

Seeyana menatapnya sesaat. “Terima kasih, Mas.”

Victor tersenyum, lalu pergi.

Seeyana berdiri lama di depan pintu, memegang gagang yang dingin. Ia tidak tahu mengapa dadanya terasa sesak hanya karena perhatian sekecil itu.

***

Malam turun dengan hujan rintik. Seeyana duduk di ruang tamu, lampu sengaja diredupkan. Ponselnya tergeletak di meja. Sejak pagi, tidak ada kabar dari Ravent.

Hampir pukul sembilan, layar ponsel menyala.

Pesan masuk.

Nomor tak dikenal.

Kamu mau lihat sendiri, atau terus pura-pura?

Jantung Seeyana berdegup kencang. Ia menggenggam ponsel itu erat.

Maksud kamu apa? balasnya akhirnya.

Beberapa detik berlalu. Lalu pesan berikutnya muncul.

Kafe Jalan Melati. Jam sembilan lewat.

Seeyana menatap jam di dinding. Waktu terasa berjalan terlalu cepat, tapi juga terlalu lambat. Ia menutup mata sejenak. Separuh dirinya ingin mengabaikan pesan itu, berpura-pura tak pernah membaca. Tapi separuh lainnya—yang sudah terlalu lelah ingin tahu kebenaran, apa pun risikonya.

Saat hampir pukul sembilan, suara motor berhenti di depan rumah. Seeyana berdiri, mengintip lewat jendela.

Ravent turun dari motor, mengenakan kemeja rapi. Ia tidak masuk. Ia mengecek ponselnya sebentar, lalu kembali menyalakan mesin dan pergi.

Seeyana mengambil tas kecil dan jaket tipis. Tangannya gemetar saat mengunci pintu. Ia mengikuti dari jarak jauh, menjaga agar tidak terlihat. Hujan mulai turun lebih deras, memburamkan pandangan.

Motor Ravent berhenti di depan sebuah kafe kecil dengan lampu temaram. Seeyana memarkir sedikit jauh, jantungnya terasa hendak meloncat keluar. Ia berdiri di balik kaca mobil, menatap ke dalam.

Ravent duduk di salah satu meja. Tidak sendirian.

Perempuan itu datang beberapa menit kemudian. Rambutnya panjang, senyumnya lebar. Ia duduk berhadapan dengan Ravent, lalu tertawa kecil. Ravent ikut tersenyum—senyum yang sudah lama tidak Seeyana lihat di rumah.

Mereka berbicara. Dekat. Terlalu dekat.

Lalu tangan Ravent terulur, menggenggam tangan perempuan itu di atas meja.

Napas Seeyana tercekat. Dunia di sekitarnya seolah mengecil, menyisakan pemandangan itu saja. Tidak ada lagi ruang untuk menyangkal. Tidak ada lagi alasan yang bisa ia buat-buat.

Air mata jatuh, tapi ia tidak menghapusnya.

Ia mundur perlahan, kaki terasa lemas. Hujan membasahi rambut dan jaketnya, tapi ia tak peduli. Saat hendak kembali ke mobil, sebuah suara memanggilnya.

“Seeyana?”

Ia menoleh. Victor berdiri beberapa langkah darinya, memegang payung. Wajahnya terkejut, lalu berubah paham saat melihat arah pandang Seeyana.

Ia tidak bertanya. Tidak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah mendekat, lalu menyampirkan jaketnya ke bahu Seeyana.

“Yuk,” katanya pelan. “Kamu nggak perlu lihat lagi.”

Seeyana tak membantah. Ia berjalan di samping Victor, hujan semakin deras. Di belakang mereka, kafe itu tetap menyala, menyimpan tawa yang bukan lagi miliknya.

Di dalam mobil, Seeyana menunduk. Air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan. Bahunya bergetar, napasnya tersengal.

Victor menyalakan mesin, lalu berkata pelan, “Kamu nggak salah.”

Kalimat itu membuat pertahanannya runtuh sepenuhnya.

Malam itu, Seeyana duduk sendirian di ruang tamu rumahnya. Jam menunjukkan hampir tengah malam ketika pintu terbuka. Ravent masuk dengan langkah biasa, seolah tak terjadi apa-apa.

“Kamu belum tidur?” tanyanya.

Seeyana berdiri. Suaranya tenang, terlalu tenang. “Kamu dari kafe Jalan Melati.”

Ravent membeku sesaat. “Kamu ngikutin aku?”

“Aku lihat,” jawab Seeyana. “Semuanya.”

Hening jatuh di antara mereka.

Untuk pertama kalinya, Ravent tak langsung menyangkal.

Dan di detik itu, Seeyana tahu bukan hanya cintanya yang diuji,

tapi keberaniannya untuk memilih dirinya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

    Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

    Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

    Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 4 : Retakan Pertama

    Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 3 : Pundak yang Terbebani

    Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.Suryani.Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajun

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 2 : Nafas yang Berat

    Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.Aku berangkat lebih pagi. Rapat.Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Gru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status