Home / Romansa / Rahasia Istri Yang Disakiti / Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

Share

Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

Author: qia
last update Last Updated: 2025-11-01 10:42:47

Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.

“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.

Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”

“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.

Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”

“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”

Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”

Kata itu lagi.

Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”

“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”

“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”

Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Aku kerja capek, pulang malah diinterogasi. Kamu tahu nggak rasanya punya istri yang selalu curiga?”

Seeyana tersenyum tipis. “Curiga muncul karena kebohongan, Ven. Bukan sebaliknya.”

Ravent terdiam sejenak, lalu memalingkan wajah. “Aku nggak mau ribut malam ini.”

“Tapi aku mau kejelasan,” jawab Seeyana. “Sekarang.”

“Dan kalau aku bilang nggak ada apa-apa?” tantang Ravent.

“Kalau kamu jujur,” Seeyana menarik napas, “aku masih bisa dengar. Tapi kamu memilih meremehkan perasaanku.”

Ravent mengusap wajahnya. “Kamu berubah, Yan. Dulu kamu nggak gini.”

Seeyana mengangguk lagi. “Iya. Dulu aku diam.”

Kalimat itu membuat Ravent menoleh cepat.

***

Pagi berikutnya, rumah itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ravent berangkat tanpa sarapan. Seeyana tidak menahannya. Ia duduk di meja makan sendirian, memegang cangkir teh yang sudah tak hangat.

Ponselnya bergetar.

Ibu.

Seeyana menatap layar beberapa detik sebelum mengangkat. “Iya, Bu.”

“Kamu kenapa semalam ribut sama Ravent?” suara Suryani terdengar tajam tanpa pembuka.

Seeyana menarik napas. “Kami cuma bicara.”

“Bicara sampai Ravent pulang dengan kepala pusing?” Suryani mendengus. “Kamu itu istri. Tugasmu bikin suami tenang, bukan nambah masalah.”

“Aku cuma minta jujur,” jawab Seeyana, berusaha tenang.

“Jujur apa?” Suryani tertawa kecil. “Kamu ini kebanyakan curiga. Perempuan kalau di rumah aja pikirannya ke mana-mana.”

Kalimat itu menyengat. “Bu, saya lihat sendiri.”

“Lihat apa?” Suryani memotong. “Kamu jangan suka ngarang. Ravent itu anak baik. Kalau kamu terus begini, kamu sendiri yang bikin rumah tanggamu hancur.”

Seeyana menggenggam ponsel erat. “Bu, saya capek disalahkan terus.”

“Capek?” Suryani meninggi. “Kamu tinggal di rumah, makan dari uang suami. Apa yang kamu capekkan?”

Hening sesaat. Lalu Seeyana menjawab pelan tapi jelas, “Capek tidak didengar.”

Suryani terdiam sejenak, lalu berkata dingin, “Kamu itu harus tahu diri. Jangan sampai menyesal nanti.”

Sambungan terputus.

Seeyana meletakkan ponsel. Tangannya gemetar, tapi kali ini bukan karena takut melainkan karena marah yang selama ini ia tekan.

Siang hari, hujan turun lagi. Seeyana duduk di beranda, menatap jalan yang basah. Ia memikirkan hidupnya hari-hari yang dihabiskan menunggu, mengalah, dan menyimpan luka sendiri.

Langkah kaki terdengar. Victor berhenti di depan pagar, membawa payung.

“Kamu kelihatan pucat,” katanya hati-hati.

Seeyana tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja.”

Victor mengangguk, tak memaksa. “Kalau butuh tumpangan ke mana-mana, bilang. Cuacanya lagi nggak bersahabat.”

“Terima kasih,” jawab Seeyana. “Aku cuma… lagi butuh waktu.”

Victor menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku di sini kalau kamu perlu.”

Ia pergi. Seeyana menyadari satu hal penting perhatian yang sehat tidak menuntut apa pun.

***

Malamnya, Ravent pulang dengan wajah tegang. Seeyana sedang melipat pakaian di ruang tengah.

“Ibu nelpon aku,” kata Ravent tanpa basa-basi.

Seeyana menatapnya. “Aku tahu.”

“Kamu cerita apa ke ibu?” Ravent menekan.

“Apa adanya,” jawab Seeyana. “Aku lihat kamu dengan perempuan lain.”

Ravent tertawa pahit. “Kamu bikin aku kelihatan seperti penjahat.”

“Kamu bikin dirimu sendiri seperti itu,” balas Seeyana tenang.

Ravent melangkah mendekat. “Yan, jangan kebablasan. Aku masih suamimu.”

Seeyana berdiri. “Dan aku masih istrimu. Tapi itu bukan alasan untuk dibohongi.”

Ravent terdiam. Wajahnya berubah, defensifnya mulai goyah. “Aku cuma butuh teman bicara.”

“Dan aku apa?” tanya Seeyana.

Hening.

Ravent menghela napas panjang. “Kamu terlalu emosional.”

Seeyana mengangguk pelan. “Kalau perasaanku selalu dianggap berlebihan, mungkin memang aku tak punya tempat di sini.”

Ravent terkejut. “Kamu mau ke mana?”

“Aku belum bilang aku pergi,” jawab Seeyana. “Aku bilang aku mulai sadar.”

Ia mengambil tas kecil dari sofa. “Aku mau ke rumah teman sebentar. Aku butuh ruang.”

Ravent menatapnya, tak biasa melihat Seeyana setegas itu. “Jangan lebay.”

Seeyana menoleh. “Kali ini, aku memilih diriku sendiri.”

Ia melangkah keluar, meninggalkan Ravent berdiri di ruang tengah dengan kebingungan yang baru pertama kali muncul di wajahnya.

Di luar, hujan rintik menyambut. Seeyana menarik napas dalam-dalam. Udara terasa dingin, tapi dadanya justru lebih lapang.

Untuk pertama kalinya, ia tidak menunggu.

Dan di langkah itu, Seeyana tahu—keputusan kecil ini akan mengubah segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

    Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

    Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

    Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 4 : Retakan Pertama

    Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 3 : Pundak yang Terbebani

    Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.Suryani.Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajun

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 2 : Nafas yang Berat

    Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.Aku berangkat lebih pagi. Rapat.Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Gru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status