Share

Bab 3 ; Seminggu Sebelum Pernikahan (2)

Tuan Derin yang makan dengan tenang seketika menjatuhkan sendoknya, nafsu makannya langsung menghilang saat melihat putri tertuanya tiba-tiba muntah tepat di seberang mejanya. Nyonya Derin yang hendak duduk di samping tuan Derin kembali berdiri, kedua matanya melotot menatap Syakila. Arsyila yang berada di samping Syakila terlihat panik. Gadis itu segera berdiri memegangi tubuh Syakila yang hendak limbung setelah muntah di depan semuanya.

“Astaga, Kila!” teriak nyonya Derin terburu-buru menghampiri Syakila.

“Apa yang terjadi padamu?!” tanya nyonya Derin menggantikan Arsyila memegangi tubuh Syakila yang lemas.

“Aku akan membersihkan semuanya!” Arsyila yang melihat bekas muntahan Syakila di lantai segera berlari ke belakang untuk mengambil ember dan kain pel.

“Aku minta maaf,” sesal Syakila melihat wajah panik keluarganya. Harusnya ini jadi makan malam yang tenang di keluarganya, namun karena ulahnya sekarang makan malam mereka kacau.

“Sudah, jangan meminta maaf! Aku akan memapahmu ke kamar. Kau istirahatlah! Aku akan buatkan bubur yang hangat untuk kau makan.” Syakila mengangguk. Menurut saat sang ibu memapahnya menuju tangga, mengantarnya sampai ke dalam kamar miliknya. Meninggalkan tuan Derin yang masih tak bergeming dari tempat duduknya.

Arsyila menyusul Syakila dalam kamar setelah membersihkan bekas muntahan kakaknya. Gadis itu masuk ke dalam setelah mengetuk pintu kamar. Setelah Arsyila masuk, terlihat sang kakak tengah berbaring lemas di atas kasur sempitnya. Senyum tipis merekah di bibir pucat Syakila mendapati tatapan penuh kekhawatiran dari sang adik.

“Jangan tersenyum! Kau tak lihat wajahmu sangat pucat seperti mayat?!” seru Arsyila yang sudah duduk di tepi kasur Syakila. Gadis itu menggenggam tangan sang kakak erat seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. “Bercerminlah, wajahmu bahkan lebih putih dari kertas,” balas Syakila diselingi tawa, menatap Arsyila dengan tatapan jenaka. Arsyila yang menyadari rasa cemasnya sudah sedikit berlebihan mulai menghela napas. Arsyila sangat menyayangi kakaknya, karena itulah gadis itu selalu berlebihan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Syakila.

“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja sebelumnya. Kenapa tiba-tiba begini? Kalau kau sakit, harusnya kau beritahu aku lebih awal!”

“Kalau begini, kau jadi sangat mirip dengan ibu,” balas Syakila terkekeh pelan. Masih menanggapi Arsyila dengan candaan.

“Berhenti bercanda!”

“Maaf. Sepertinya aku tak sengaja makan roti basi,” jawab Syakila pada akhirnya. Kini wajahnya berubah serius.

“Roti basi?! Bagaimana bisa kau memakan roti yang basi?!” Syakila menutup kedua telinganya. Gadis itu sudah memperkirakan sebelumnya, reaksi Arsyila tidak mungkin biasa saja.

“Emmm ya … tadi di swalayan aku membeli satu. Aku baru sadar roti itu basi setelah menghabiskannya.”

“Kenapa kau—“

Kata-kata Arsyila tertahan saat mendengar suara pintu kamar diketuk. Dua gadis itu menoleh ke arah pintu kamar bersamaan.

“Masuklah!” seru Syakila memberi ijin. Saat pintu kamar terbuka, sosok tuan Derin muncul. Pria paruh baya dengan rambut yang memutih separuhnya itu berdiri di tengah-tengah pintu.

“Bagaimana keadaanmu? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya tuan Derin, kekhawatiran tercermin dalam sepasang matanya. Pria itu masih berdiri di sana, tampak enggan mendekat meski hanya selangkah saja.

“Aku baik-baik saja. Ayah tidak perlu cemas.”

“Apanya yang baik-baik saja?! Lihatlah Ayah, dia benar-benar ceroboh! Dia seperti ini karena memakan roti basi dari swalayan!” sahut Arsyila menggebu-gebu. Tuan Derin yang mendengar penjelasan Arsyila terlihat terkejut.

“Roti basi?” Raut tak percaya tergambar jelas di wajah tuan Derin. Syakila hanya menunduk, sedang Arsyila mengangguk dengan yakin.

“Lain kali jangan makan sembarangan,” nasehat tuan Derin dijawab anggukan oleh Syakila.

“Apa kau meminum vitamin yang kuberikan dengan rutin?” Tuan Derin kembali bertanya. Lagi-lagi Syakila menjawabnya dengan anggukan. Kening Arsyila berkerut. “Vitamin? Vitamin apa? Kenapa Ayah tidak memberikannya padaku?” tanya Arsyila penasaran. Selama ini dia tidak pernah tau tentang vitamin yang dikonsumsi Syakila. Jika Syakila mendapatkannya, kenapa dirinya tidak?

“Saat bekerja kita harus lebih memperhatikan kondisi tubuh. Ayah akan memberimu juga segera setelah kau ikut bekerja bersama Ayah,” jawab tuan Derin dingin. Sayang jawaban pria itu belum memuaskan rasa penasaran Arsyila. Saat Arsyila hendak bertanya lebih lanjut, nyonya Derin muncul di belakang tuan Derin yang menghalangi pintu.

“Bergeserlah, aku tidak bisa masuk jika kau menghalangi jalan!” seru nyonya Derin membuat tuan Derin langsung melompat masuk ke dalam. “Kau mengejutkanku!” keluh tuan Derin dengan ekspresi terkejutnya, membuat Arsyila diam-diam menahan tawa. Jarang sekali melihat ekspresi macam itu di wajah datar sang ayah.

“Aku membawa bubur untuk putriku,Kila. Makanlah selagi hangat. Kau akan merasa lebih baik setelah memakannya.” Nyonya Derin dengan perhatian memberi Syakila sesendok bubur di tangannya, meniupnya dengan sabar sebelum menyuapkannya pada Syakila.

“Kalian berdua turunlah dan lanjutkan makan malamnya. Biarkan Kila makan buburnya dengan tenang,” perintah nyonya Derin pada suami dan putri bungsunya. Tanpa mengatakan apa-apa tuan Derin lebih dulu meninggalkan kamar Syakila. Sedangkan Arsyila masih merasa enggan meninggalkan kakaknya.

“Kau bisa melihat kakakmu lagi setelah makan,” ucap nyonya Derin mengetahui keengganan Arsyila. Akhirnya Arsyila dengan berat hati meninggalkan kamar kakaknya, menyusul sang Ayah ke meja makan.

Sampai di meja makan Arsyila dengan cepat mengambil piringnya. Tuan Derin yang sudah tak tertarik lagi menyentuh makanannya memilih menghisap pipa miliknya. Pria itu duduk sedikit lebih jauh dari meja makan agar Arsyila tak terganggu dengan asap yang mengepul dari pipanya.

“Kapan hari kelulusanmu?” tanya tuan Derin setelah Arsyila menyelesaikan suapan terakhirnya.

“Sekitar sepuluh hari lagi,” jawab Arsyila ragu-ragu, merasa sedikit tidak nyaman saat sang ayah membahas tentang kelulusannya. Sepertinya Arsyila sudah tau kemana arah pembicaraan ini selanjutnya.

“Nilaimu sudah keluar? Apa kau sudah menyiapkan formulir pendaftaran ke universitas Aston?”

Arsyila menghela napasnya. Dugaannya benar! Sejak dirinya berada di kelas tiga, orang tuanya terus saja menyuruhnya masuk ke universitas Aston. Alasannya? Karena disana murah dan dekat dengan rumah mereka. Ayahnya selalu mengatakan itu satu-satunya pilihan terbaik untuk Arsyila.

“Belum. Ayah, aku sudah bilang tidak ada jurusan yang aku sukai di sana,” jawab Arsyila dengan nada mengeluh, berharap sang Ayah mau memberinya keleluasaan untuk memilih.

“Keterampilan bisa dipelajari. Kau tak perlu menyukainya. Lagi pula lebih bagus kau mengikuti jejak kakakmu,” tandas tuan Derin membungkam Arsyila. Skak mat untuk Arsyila. Keinginannya belajar fashion diluar kota Aston sepertinya hanya tinggal harapan semu saja.

“Aku tau kau berpikir kami egois. Tapi pikirkan lagi! Aku dan ibumu hanya menginginkan apa yang terbaik. Lagi pula, kau tak kasihan pada ibumu? Setelah kakakmu menikah, hanya kau satu-satunya putri yang dia punya,” lanjut tuan Derin. Kali ini pipa di tangannya sudah berhenti mengepulkan asap.

“Kan ada kak Kila, dia putri ibu juga,” jawab Arsyila enteng hendak berdiri dari kursinya. Duduk lebih lama bersama ayahnya hanya membuat perdebatan mereka semakin panjang.

“Ya, tapi setelah menikah dia tidak akan lagi tinggal bersama kita. Kakakmu Kila akan pergi ke Oswald mengikuti suaminya, jawab tuan Derin membuat kaki Arsyila seketika lemas. Gadis itu kembali terduduk di kursinya.

“O-Oswald?!” gumam Arsyila tergagap. Sama sekali tak terlintas di benak Arsyila jika suatu hari dia akan berpisah dengan Syakila.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status