Tuan Derin yang makan dengan tenang seketika menjatuhkan sendoknya, nafsu makannya langsung menghilang saat melihat putri tertuanya tiba-tiba muntah tepat di seberang mejanya. Nyonya Derin yang hendak duduk di samping tuan Derin kembali berdiri, kedua matanya melotot menatap Syakila. Arsyila yang berada di samping Syakila terlihat panik. Gadis itu segera berdiri memegangi tubuh Syakila yang hendak limbung setelah muntah di depan semuanya.
“Astaga, Kila!” teriak nyonya Derin terburu-buru menghampiri Syakila.“Apa yang terjadi padamu?!” tanya nyonya Derin menggantikan Arsyila memegangi tubuh Syakila yang lemas.“Aku akan membersihkan semuanya!” Arsyila yang melihat bekas muntahan Syakila di lantai segera berlari ke belakang untuk mengambil ember dan kain pel.“Aku minta maaf,” sesal Syakila melihat wajah panik keluarganya. Harusnya ini jadi makan malam yang tenang di keluarganya, namun karena ulahnya sekarang makan malam mereka kacau.“Sudah, jangan meminta maaf! Aku akan memapahmu ke kamar. Kau istirahatlah! Aku akan buatkan bubur yang hangat untuk kau makan.” Syakila mengangguk. Menurut saat sang ibu memapahnya menuju tangga, mengantarnya sampai ke dalam kamar miliknya. Meninggalkan tuan Derin yang masih tak bergeming dari tempat duduknya.Arsyila menyusul Syakila dalam kamar setelah membersihkan bekas muntahan kakaknya. Gadis itu masuk ke dalam setelah mengetuk pintu kamar. Setelah Arsyila masuk, terlihat sang kakak tengah berbaring lemas di atas kasur sempitnya. Senyum tipis merekah di bibir pucat Syakila mendapati tatapan penuh kekhawatiran dari sang adik.“Jangan tersenyum! Kau tak lihat wajahmu sangat pucat seperti mayat?!” seru Arsyila yang sudah duduk di tepi kasur Syakila. Gadis itu menggenggam tangan sang kakak erat seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. “Bercerminlah, wajahmu bahkan lebih putih dari kertas,” balas Syakila diselingi tawa, menatap Arsyila dengan tatapan jenaka. Arsyila yang menyadari rasa cemasnya sudah sedikit berlebihan mulai menghela napas. Arsyila sangat menyayangi kakaknya, karena itulah gadis itu selalu berlebihan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Syakila.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja sebelumnya. Kenapa tiba-tiba begini? Kalau kau sakit, harusnya kau beritahu aku lebih awal!”“Kalau begini, kau jadi sangat mirip dengan ibu,” balas Syakila terkekeh pelan. Masih menanggapi Arsyila dengan candaan.“Berhenti bercanda!”“Maaf. Sepertinya aku tak sengaja makan roti basi,” jawab Syakila pada akhirnya. Kini wajahnya berubah serius.“Roti basi?! Bagaimana bisa kau memakan roti yang basi?!” Syakila menutup kedua telinganya. Gadis itu sudah memperkirakan sebelumnya, reaksi Arsyila tidak mungkin biasa saja.“Emmm ya … tadi di swalayan aku membeli satu. Aku baru sadar roti itu basi setelah menghabiskannya.”“Kenapa kau—“Kata-kata Arsyila tertahan saat mendengar suara pintu kamar diketuk. Dua gadis itu menoleh ke arah pintu kamar bersamaan.“Masuklah!” seru Syakila memberi ijin. Saat pintu kamar terbuka, sosok tuan Derin muncul. Pria paruh baya dengan rambut yang memutih separuhnya itu berdiri di tengah-tengah pintu.“Bagaimana keadaanmu? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya tuan Derin, kekhawatiran tercermin dalam sepasang matanya. Pria itu masih berdiri di sana, tampak enggan mendekat meski hanya selangkah saja.“Aku baik-baik saja. Ayah tidak perlu cemas.”“Apanya yang baik-baik saja?! Lihatlah Ayah, dia benar-benar ceroboh! Dia seperti ini karena memakan roti basi dari swalayan!” sahut Arsyila menggebu-gebu. Tuan Derin yang mendengar penjelasan Arsyila terlihat terkejut.“Roti basi?” Raut tak percaya tergambar jelas di wajah tuan Derin. Syakila hanya menunduk, sedang Arsyila mengangguk dengan yakin.“Lain kali jangan makan sembarangan,” nasehat tuan Derin dijawab anggukan oleh Syakila.“Apa kau meminum vitamin yang kuberikan dengan rutin?” Tuan Derin kembali bertanya. Lagi-lagi Syakila menjawabnya dengan anggukan. Kening Arsyila berkerut. “Vitamin? Vitamin apa? Kenapa Ayah tidak memberikannya padaku?” tanya Arsyila penasaran. Selama ini dia tidak pernah tau tentang vitamin yang dikonsumsi Syakila. Jika Syakila mendapatkannya, kenapa dirinya tidak?“Saat bekerja kita harus lebih memperhatikan kondisi tubuh. Ayah akan memberimu juga segera setelah kau ikut bekerja bersama Ayah,” jawab tuan Derin dingin. Sayang jawaban pria itu belum memuaskan rasa penasaran Arsyila. Saat Arsyila hendak bertanya lebih lanjut, nyonya Derin muncul di belakang tuan Derin yang menghalangi pintu.“Bergeserlah, aku tidak bisa masuk jika kau menghalangi jalan!” seru nyonya Derin membuat tuan Derin langsung melompat masuk ke dalam. “Kau mengejutkanku!” keluh tuan Derin dengan ekspresi terkejutnya, membuat Arsyila diam-diam menahan tawa. Jarang sekali melihat ekspresi macam itu di wajah datar sang ayah.“Aku membawa bubur untuk putriku,Kila. Makanlah selagi hangat. Kau akan merasa lebih baik setelah memakannya.” Nyonya Derin dengan perhatian memberi Syakila sesendok bubur di tangannya, meniupnya dengan sabar sebelum menyuapkannya pada Syakila.“Kalian berdua turunlah dan lanjutkan makan malamnya. Biarkan Kila makan buburnya dengan tenang,” perintah nyonya Derin pada suami dan putri bungsunya. Tanpa mengatakan apa-apa tuan Derin lebih dulu meninggalkan kamar Syakila. Sedangkan Arsyila masih merasa enggan meninggalkan kakaknya.“Kau bisa melihat kakakmu lagi setelah makan,” ucap nyonya Derin mengetahui keengganan Arsyila. Akhirnya Arsyila dengan berat hati meninggalkan kamar kakaknya, menyusul sang Ayah ke meja makan.Sampai di meja makan Arsyila dengan cepat mengambil piringnya. Tuan Derin yang sudah tak tertarik lagi menyentuh makanannya memilih menghisap pipa miliknya. Pria itu duduk sedikit lebih jauh dari meja makan agar Arsyila tak terganggu dengan asap yang mengepul dari pipanya.“Kapan hari kelulusanmu?” tanya tuan Derin setelah Arsyila menyelesaikan suapan terakhirnya.“Sekitar sepuluh hari lagi,” jawab Arsyila ragu-ragu, merasa sedikit tidak nyaman saat sang ayah membahas tentang kelulusannya. Sepertinya Arsyila sudah tau kemana arah pembicaraan ini selanjutnya.“Nilaimu sudah keluar? Apa kau sudah menyiapkan formulir pendaftaran ke universitas Aston?”Arsyila menghela napasnya. Dugaannya benar! Sejak dirinya berada di kelas tiga, orang tuanya terus saja menyuruhnya masuk ke universitas Aston. Alasannya? Karena disana murah dan dekat dengan rumah mereka. Ayahnya selalu mengatakan itu satu-satunya pilihan terbaik untuk Arsyila.“Belum. Ayah, aku sudah bilang tidak ada jurusan yang aku sukai di sana,” jawab Arsyila dengan nada mengeluh, berharap sang Ayah mau memberinya keleluasaan untuk memilih.“Keterampilan bisa dipelajari. Kau tak perlu menyukainya. Lagi pula lebih bagus kau mengikuti jejak kakakmu,” tandas tuan Derin membungkam Arsyila. Skak mat untuk Arsyila. Keinginannya belajar fashion diluar kota Aston sepertinya hanya tinggal harapan semu saja.“Aku tau kau berpikir kami egois. Tapi pikirkan lagi! Aku dan ibumu hanya menginginkan apa yang terbaik. Lagi pula, kau tak kasihan pada ibumu? Setelah kakakmu menikah, hanya kau satu-satunya putri yang dia punya,” lanjut tuan Derin. Kali ini pipa di tangannya sudah berhenti mengepulkan asap.“Kan ada kak Kila, dia putri ibu juga,” jawab Arsyila enteng hendak berdiri dari kursinya. Duduk lebih lama bersama ayahnya hanya membuat perdebatan mereka semakin panjang.“Ya, tapi setelah menikah dia tidak akan lagi tinggal bersama kita. Kakakmu Kila akan pergi ke Oswald mengikuti suaminya, jawab tuan Derin membuat kaki Arsyila seketika lemas. Gadis itu kembali terduduk di kursinya.“O-Oswald?!” gumam Arsyila tergagap. Sama sekali tak terlintas di benak Arsyila jika suatu hari dia akan berpisah dengan Syakila.***Arsyila memeluk erat bantal milik Syakila sambil membenamkan wajahnya. Sejak mengetahui perpisahannya dengan Syakila, gadis itu terus menempel pada kakaknya. Hari pernikahan Syakila tinggal tiga hari lagi. Semakin sedikit waktu yang tersisa untuk menghabiskan waktu bersama sang kakak membuat Arsyila semakin frustasi. “Aku tidak bisa hidup tanpamu, kak,” rengek Arsyila kini melompat ke arah Syakila dan menjadikannya pengganti bantal yang dia peluk sebelumnya. Syakila yang sudah terbiasa dengan tingkah manja Arsyila hanya tersenyum. Satu tangannya membelai rambut coklat Arsyila lembut.“Apa kau sudah memutuskan ingin kuliah dimana?” tanya Syakila membuat Arsyila melepaskan pelukannya. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, mengundang tawa renyah dari bibir Syakila.“Kurasa aku tidak punya pilihan lain selain universitas Aston. Aku akan ambil jurusan akutansi, sama seperti kakak,” jawab Arsyila lesu.“Bukankah kau pernah bilang sangat ingin belajar fashion? Apa kau sudah menyerah?”“Ya, aku
Arsyila menggeliat dalam tidurnya. Sudah lima malam Arsyila tidak menggunakan kasur di kamarnya. Gadis itu memilih tidur bersama Syakila di kamar sang kakak. Awalnya Syakila menolaknya, tapi karena Arsyila yang memaksa akhirnya mereka memutuskan tidur sambil berdesakan di atas kasur sempit Syakila. Begitu pula malam ini, Arsyila tidur sambil mendekap erat Syakila karena ini adalah malam terakhir sebelum Arsyila berpisah dengan sang kakak. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Arsyila tak pernah terbangun di tengah malam selama tertidur di kamar Syakila. Namun malam ini sesuatu mengusik tidurnya. Samar-samar Arsyila mendengar suara isakan. Awalnya Arsyila mengabaikannya, namun lama-lama suara isak tangis itu semakin terdengar jelas. Mata coklat Arsyila terbuka. Menoleh, menatap rambut hitam Syakila yang sedang tidur memunggunginya. Meski dalam gelap Arsyila masih bisa melihatnya. Suara isak tangis itu kembali terdengar, bersamaan dengan punggung Syakila yang mulai terguncang. Syakil
Arsyila membatu. Mata coklatnya tak lepas dari cermin yang memantulkan bayangannya menggunakan gaun pengantin. Seharusnya Syakila yang dia lihat di dalam cermin itu sekarang. Tapi kenapa? Tubuh Arsyila hampir ambruk saat merasakan kakinya yang mendadak lemas. Beruntung bibi Megy bergerak lebih cepat menopang tubuh Arsyila.“Sudah kubilang jangan bergerak dulu!”tegur bibi Megy menggotong tubuh lemas Arsyila dibantu para perias pengantin yang mendandani Arsyila. Mereka membawa Arsyila kembali ke atas ranjangnya. Sesaat Arsyila terlihat linglung. Gadis itu menggeleng saat bibinya menyodorinya minum. Mata Arsyila yang di penuhi kebingungan menatap sekelilingnya dengan panik.“Di-dimana Kak Kila?”tanya Arsyila pada sang bibi dengan suara bergetar. Bibi Megy tampak terdiam, ekspresi wajahnya berubah jadi tegang. Arsyila mengguncang tubuh sang bibi sambil terus bertanya, namun bibi Megy sama sekali tak menjawab. Air mata yang turun dari sepasang mata wanita itu seolah menjawab
Sebagian besar wanita akan menganggap hari pernikahan mereka adalah salah satu hari paling bersejarah dalam hidupnya. Dimana itu mungkin hanya akan terjadi sekali dalam hidup mereka.Ya, tentu saja! Itulah kenapa semua wanita ingin menjadi wanita yang paling cantik di hari pernikahannya. Sudah seharusnya begitu. Sayangnya itu tidak akan berlaku untuk Arsyila. Karena Arsyila tidak pernah mengira bahwa hari ini dirinya akan menjadi pengantin wanita, menggantikan sang kakak. Penampilan pengantin wanita sungguh jauh dari kata sempurna. Rambut coklat Arsyila dibiarkan terurai bebas. Mereka bahkan masih terlihat kusut meski Arsyila memakai veil di kepalanya. Para perias tidak memiliki waktu yang cukup untuk menata rambut Arsyila. Riasan di wajah Arsyila juga tidak sempurna. Sebagian riasannya terhapus karena air mata Arsyila. Jika bercermin sekarang, Arsyila pasti akan mengasihani dirinya. Dirinya terlihat menyedihkan meski memakai gaun pengantin yang mewah. Arsyila bel
Dingin. Itulah yang dirasakan Arsyila saat menyentuh kulit pucat Syakila dan mencium kening sang kakak untuk terakhir kali. Dimata Arsyila saat ini Syakila seperti seperti seorang putri tidur dalam dongeng. Syakila tampak cantik dalam balutan gaun warna putih dengan senyum yang menghias wajahnya. Dia seperti sedang menunggu pangeran menciumnya dan membebaskanya dari kutukan. Tunggu sebentar! Jika ini sama seperti cerita dongeng, mungkinkah mata amber Syakila akan kembali terbuka?“Bisakah Anda mencium kakakku?”tanya Arsyila pada Reyga yang masih setia berdiri di samping peti sang kakak. Hanya pria itu satu-satunya orang yang ada bersamanya sekarang. Meskipun tanpa menoleh ke arah Reyga, Arsyila yakin pria itu mendengar permintaannya. Tapi pria itu hanya diam saja. Arsyila tertawa pelan, mentertawakan kebodohannya. Sepertinya dirinya sudah tidak waras dengan menyuruh orang lain mencium seorang mayat. Sebuah tangan terulur di depan wajah Arsyila, membantu Arsyila b
Tangan Arsyila yang menggenggam bunga lily putih terlepas, bersamaan dengan suara pintu kamar yang diketuk dari luar. Gadis itu terkesiap, secara reflek berbalik menatap sumber ketukan yang mengejutkannya.“Syila, keluarlah untuk makan!”suara cemas nyonya Derin dari balik pintu terdengar. Arsyila menghela napasnya. Gadis itu segera duduk di atas ranjang Syakila saat nyonya Derin membuka pintu kamar.“Aku akan turun nanti, aku ingin sendiri sekarang,” jawab Arsyila dingin tanpa menoleh ke arah nyonya Derin. Nyonya Derin menghela napasnya, menatap Arsyila sedih. Biasanya wanita paruh baya itu akan mengomeli Arsyila, tapi mungkin mulai hari ini wanita itu tidak akan melakukannya. Tanpa mengatakan apa-apa nyonya Derin kembali menutup pintu kamar, meninggalkan Arsyila sendirian.“Tidak mungkin,” gumam Arsila mirip sebuah bisikan. Tangannya menggenggam erat seprai yang didudukinya. Mata coklat Arsyila menatap horor bunga lily yang tergeletak di bawah kakinya. Ar
Lampu kamar menyala, sosok nyonya Derin tampak berdiri di depan pintu setelah pintu kamar Syakila benar-benar terbuka. Arsyila menutup kedua matanya rapat, berusaha mungkin menenangkan jantungnya yang berdetak cepat.“Tidak ada apa-apa. Biarkan dia istirahat. Kau pasti salah dengar.” Suara tuan Derin terdengar menenangkan nyonya Derin yang gelisah.“Aku mendengar suara benda jatuh tadi,” ucap nyonya Derin hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Namun tuan Derin mencekal tangan istrinya. “Sudah malam, kita juga harus istirahat.”Nyonya Derin kembali melangkah mundur. Menurut saat tuan Derin menariknya keluar kamar. Tak lama lampu kamar kembali dimatikan, suara pintu kamar yang ditutup terdengar.Arsyila menghembuskan napasnya, sepasang matanya telah terbuka. Tadi saat melihat gagang pintu yang bergerak, Arsyila dengan cepat melompat ke ranjang. Menutupi tubuhnya dengan selimut dan kembali berpura-pura terlelap. Beruntung waktunya pas.
Ekspresi aneh yang ditunjukan kasir pria itu membuat Arsyila merasa bingung. Adakah yang salah dengan pertanyaannya? Dalam hati Arsyila bertanya-tanya. Setelah beberapa detik pria itu tersenyum, kembali memasang wajah ramahnya.“Maaf nona, sebenarnya itu bukan permen,” jawab pegawai pria itu tampak enggan. “Sudah kuduga, ini bukan permen. Lalu makanan macam apa ini?” tanya Arsyila kembali sambil membolak-balik kotak merah mungil di tangannya.“Itu … juga bukan makanan,” jawab pegawai pria itu terlihat salah tingkah. Mendengar jawaban pegawai pria, Arsyila tampak terkejut.“Lalu apa ini?” tanya Arsyila kembali mengangkat kotak merah di tangannya, mengangkatnya lebih tinggi. Lagi-lagi ekspresi aneh ditunjukkan oleh si pegawai pria. Beberapa kali bibir pria itu terbuka tertutup, terlihat sulit menjelaskan. Melihat rekannya mengalami kesulitan, seorang pegawai wanita datang. “Ada yang bisa dibantu, nona?”tanya pegawai wanita itu ramah pada