Arsyila memeluk erat bantal milik Syakila sambil membenamkan wajahnya. Sejak mengetahui perpisahannya dengan Syakila, gadis itu terus menempel pada kakaknya. Hari pernikahan Syakila tinggal tiga hari lagi. Semakin sedikit waktu yang tersisa untuk menghabiskan waktu bersama sang kakak membuat Arsyila semakin frustasi.
“Aku tidak bisa hidup tanpamu, kak,” rengek Arsyila kini melompat ke arah Syakila dan menjadikannya pengganti bantal yang dia peluk sebelumnya. Syakila yang sudah terbiasa dengan tingkah manja Arsyila hanya tersenyum. Satu tangannya membelai rambut coklat Arsyila lembut.“Apa kau sudah memutuskan ingin kuliah dimana?” tanya Syakila membuat Arsyila melepaskan pelukannya. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, mengundang tawa renyah dari bibir Syakila.“Kurasa aku tidak punya pilihan lain selain universitas Aston. Aku akan ambil jurusan akutansi, sama seperti kakak,” jawab Arsyila lesu.“Bukankah kau pernah bilang sangat ingin belajar fashion? Apa kau sudah menyerah?”“Ya, aku memang sangat ingin belajar fashion. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ibu bahkan mengancam tak akan mau memberi biaya kuliah selain di universitas Aston. Ayah juga ingin aku seperti kak Kila. Setelah kupikir-pikir, hidup seperti kakak adalah yang terbaik,” jawab Arsyila panjang. Raut wajahnya menunjukkan kepasrahan atas hidupnya.“Jangan! Kau tidak boleh sama seperti aku!” seru Syakila tiba-tiba, membuat Arsyila terkejut. Tanda tanya tergambar di sepasang mata coklatnya.“Emm, maksudku kau adalah kau. Lalu aku adalah aku. Jelas kita adalah dua orang yang berbeda. Karena itulah kau harus jadi dirimu sendiri! Kau harus hidup sesuai apa yang kamu harapkan!” tegas Syakila membuat Arsyila terpana. Sesaat Arsyila bahkan tak tau harus berkata apa.“Tunggu sebentar.” Dengan terburu Syakila berjalan mendekati lemari pakaiannya. Arsyila yang penasaran ingin menyusul Syakila. Namun, belum sempat Arsyila berdiri, Syakila sudah kembali dengan sebuah brangkas kecil di tangannya.“Apa itu?” dahi Arsyila berkerut. Raut penasaran tergambar jelas di wajahnya. Syakila meletakkan brangkas kecil itu ke atas kasurnya. Kemudian berbalik, dengan cepat mengunci pintu kamarnya.“Dengar Arsyila,” ucap Syakila dengan suara pelan namun tegas. Wajah seriusnya membuat Arsyila menelan ludah dengan perasaan yang was-was. Apa Syakila seserius ini biasanya? Kakaknya biasanya hanya memanggilnya ‘Syila’ tapi kali ini dia memanggilnya ‘Arsyila.’ Bukankah ini sangat serius?! Kedua tangan Arsyila yang berada dalam genggaman Syakila terasa mulai berkeringat.“Kau benar-benar ingin belajar fashion, kan?” tanya Syakila mengunci tatapan Arsyila. Arsyila mengangguk pelan. “Tapi—“ Sepasang mata coklatnya menyiratkan sedikit keraguan.“Maka kau harus belajar fashion!Kau punya bakat, Syila! Aku tau itu! Ingat, bahkan kau sendiri yang telah mendesain gaun pengantinku. Jika kau mendalaminya, kau pasti akan berhasil mewujudkan mimpimu!” Arsyila bisa rasakan genggaman Syakila yang semakin erat di tangannya. Mata amber kakaknya berusaha meyakinkannya, tapi tetap saja, Arsyila masih merasa impiannya tidak mungkin bisa terwujudkan.Melihat Arsyila yang masih terdiam, Syakila akhirnya melepaskan genggaman tangannya. Tangan gadis itu beralih mengambil brankas kecil yang sebelumnya dia keluarkan dari lemari. Syakila memutar kunci brankasnya hingga kotak kecil itu terbuka sepenuhnya. Kening Arsyila berkerut saat melihat sebuah buku kecil dan cincin emas dikeluarkan dari sana.“Aku telah menghabiskan waktuku untuk mengumpulkan semua ini. Kurasa semua ini sudah cukup,” gumam Syakila menyerahkan buku tabungan dan cincin emas miliknya ke tangan Arsyila. “Gunakan itu untuk pergi ke universitas yang kau inginkan. Temanku merekomendasikan universitas Aegyo di Oswald, banyak desainer-desainer muda yang lulus dari sana. Setelah aku menikah, pergilah ke sana. Keluar dari rumah ini dan wujudkan mimpimu di sana!”Arsyila menatap Syakila tanpa berkedip sebelumnya. Mata amber kakaknya berhasil menghipnotisnya. Apa yang dikatakan Syakila, perlu waktu banyak untuk Arsyila mencernanya. Gadis bersurai coklat itu perlahan membuka buku kecil di tangannya. Mata coklatnya segera melebar melihat nominal yang tertera di dalamnya.“Kakak, apa gaji seorang akutan sebanyak ini?” tanya Arsyila tak percaya. “Kalau tau begitu, aku mau jadi akutan,” lanjutnya mendapat sentilan yang mendarat di dahinya. Arsyila mengaduh pelan, menatap Syakila dengan wajah sebal.“Sudah kubilang jadilah desainer seperti mimpimu! Lagi pula itu dari hasil kerja paruh waktuku. Jangan pernah beritahu orang tua kita tentang ini. Mereka akan melarangku bekerja jika mereka tau.”“Sebenarnya pekerjaan macam apa itu?” tanya Arsyila penasaran. Namun, sepertinya Syakila enggan untuk menjawab. “ Sudahlah, kau tidak akan mengerti meski aku menjelaskannya. Itu milikmu sekarang. Kau harus menggunakan uang itu dengan baik. Setelah masuk kuliah, kau bisa menyewa tempat tinggal sederhana dan mencari pekerjaan paruh waktu di sana.”“Tapi kakak, kau sudah bersusah payah mengumpulkan ini. Bagaimana bisa aku menggunakannya?” Arsyila menelan ludah saat Syakila memberinya tatapan tajam. “ Lagi pula,bagaimana dengan ibu?” tanya Arsyila berkilah.“Ibu akan baik-baik saja! Percayalah, dan yakinlah pada mimpimu!” tegas Syakila meyakinkan Arsyila. Arsyila menggigit bibir bawahnya. Sejujurnya hati Arsyila terbebani menerima uang sebanyak itu dari Syakila. Namun keyakinan yang diberikan Syakila padanya memberikannya semangat untuk mengejar mimpinya. Arsyila mendekap pemberian Syakila setelah memantapkan hatinya.“Terimakasih, kak. Aku berjanji akan membayar semua pemberianmu ini berkali-kali lipat!” seru Arsyila melompat memeluk sang kakak. Syakila tertawa melihat tingkah manja adik semata wayangnya. Bagi Syakila masa depan Arsyila lebih berharga dari segalanya. Karena itulah baginya tabungan yang dengan susah payah dia kumpulkan hanyalah pemberian kecil yang bisa dia berikan untuk adiknya. Syakila berharap adiknya bisa hidup dengan bahagia.“Kakak mau kemana?” tanya Arsyila saat melihat Syakila yang hendak beranjak pergi keluar dari kamar.“Swalayan, ada sesuatu yang harus aku beli,” jawab Syakila segera keluar dari pintu, entah kenapa terlihat sedikit terburu-buru.“Aku ikut!” teriak Arsyila berlari menyusul Syakila. Namun setelah Arsyila turun ke lantai bawah, Syakila sudah menghilang. Arsyila menatap jam gantung di ruang tamu rumahnya, sudah hampir waktunya makan malam, tapi sang kakak malah pergi keluar. Arsyila hendak menyusul Arsyila ke swalayan, tetapi disaat bersamaan nyonya Derin memanggilnya.Arsyila baru bisa menyusul Syakila setelah selesai membantu nyonya Derin menyiapkan makan malam. Gadis berambut coklat itu langsung berlari keluar menuju swalayan. Namun sampai di swalayan Arsyila tampak kebingungan. Arsyila tidak menemukan Syakila di sana.Ditengah kecemasan dan kepanikan yang melanda Arsyila, mata coklatnya melihat sosok yang mirip dengan Syakila. Gadis itu berdiri di gang dekat swalayan, memunggunginya. Jelas itu benar-benar Syakila. Arsyila yang melihatnya langsung berlari menghampiri Syakila.“Kakak!” panggil Arsyila membuat gadis berambut hitam itu menoleh. Arsyila terdiam saat melihat wajah sembab Syakila, mata gadis juga itu memerah. Syakila segera memalingkan wajahnya. Dengan cepat berbalik dan berjalan lebih dulu melewati Arsyila.“Ayo kita pulang!” ajak Syakila berjalan lebih cepat. Arsyila yang terlihat kebingungan segera mengikuti langkah Syakila. Namun sebelum itu, Arsyila sempat menoleh ke belakang. melihat sosok yang berada jauh di ujung gang. Orang itu memakai hoodie abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Dari perawakannya, Arsyila yakin dia adalah seorang pria. Penampilan orang itu terlihat mencurigakan. Apalagi dia berada di gang yang sepi seperti sekarang. Arsyila bergidik membayangkan yang tidak-tidak.“Kakak, tunggu aku!” teriak Arsyila berharap Syakila memelankan langkah kakinya. Namun sepertinya Syakila mengabaikannya. Syakila membuat Arsyila harus berlari demi menyamakan langkah mereka.“Kakak, apa kau baru saja menangis?” tanya Arsyila pelan membuat Syakila menghentikan langkahnya seketika. Arsyila yang berada di belakang Syakila nyaris menabrak punggung sang kakak.“Aku cuma kelilipan,” jawab Syakila berbalik menatap Arsyila. Arsyila menganggukkan kepalanya, percaya begitu saja dengan jawaban Syakila. Kening Syakila berkerut menatap tangan kakaknya.“Kakak, mana belanjaanmu?” tanya Arsyila merasa penasaran karena tak melihat Syakila membawa kantung belanja. Sesaat Arsyila bisa menangkap raut terkejut di wajah Syakila sebelum Syakila dengan cepat berbalik membuang muka.“Apa yang aku cari sudah aku dapatkan,” jawab Syakila dingin sambil melanjutkan langkahnya menuju rumah. Saat itulah Arsyila sadar, ada sesuatu di genggaman kakaknya.***Arsyila menggeliat dalam tidurnya. Sudah lima malam Arsyila tidak menggunakan kasur di kamarnya. Gadis itu memilih tidur bersama Syakila di kamar sang kakak. Awalnya Syakila menolaknya, tapi karena Arsyila yang memaksa akhirnya mereka memutuskan tidur sambil berdesakan di atas kasur sempit Syakila. Begitu pula malam ini, Arsyila tidur sambil mendekap erat Syakila karena ini adalah malam terakhir sebelum Arsyila berpisah dengan sang kakak. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Arsyila tak pernah terbangun di tengah malam selama tertidur di kamar Syakila. Namun malam ini sesuatu mengusik tidurnya. Samar-samar Arsyila mendengar suara isakan. Awalnya Arsyila mengabaikannya, namun lama-lama suara isak tangis itu semakin terdengar jelas. Mata coklat Arsyila terbuka. Menoleh, menatap rambut hitam Syakila yang sedang tidur memunggunginya. Meski dalam gelap Arsyila masih bisa melihatnya. Suara isak tangis itu kembali terdengar, bersamaan dengan punggung Syakila yang mulai terguncang. Syakil
Arsyila membatu. Mata coklatnya tak lepas dari cermin yang memantulkan bayangannya menggunakan gaun pengantin. Seharusnya Syakila yang dia lihat di dalam cermin itu sekarang. Tapi kenapa? Tubuh Arsyila hampir ambruk saat merasakan kakinya yang mendadak lemas. Beruntung bibi Megy bergerak lebih cepat menopang tubuh Arsyila.“Sudah kubilang jangan bergerak dulu!”tegur bibi Megy menggotong tubuh lemas Arsyila dibantu para perias pengantin yang mendandani Arsyila. Mereka membawa Arsyila kembali ke atas ranjangnya. Sesaat Arsyila terlihat linglung. Gadis itu menggeleng saat bibinya menyodorinya minum. Mata Arsyila yang di penuhi kebingungan menatap sekelilingnya dengan panik.“Di-dimana Kak Kila?”tanya Arsyila pada sang bibi dengan suara bergetar. Bibi Megy tampak terdiam, ekspresi wajahnya berubah jadi tegang. Arsyila mengguncang tubuh sang bibi sambil terus bertanya, namun bibi Megy sama sekali tak menjawab. Air mata yang turun dari sepasang mata wanita itu seolah menjawab
Sebagian besar wanita akan menganggap hari pernikahan mereka adalah salah satu hari paling bersejarah dalam hidupnya. Dimana itu mungkin hanya akan terjadi sekali dalam hidup mereka.Ya, tentu saja! Itulah kenapa semua wanita ingin menjadi wanita yang paling cantik di hari pernikahannya. Sudah seharusnya begitu. Sayangnya itu tidak akan berlaku untuk Arsyila. Karena Arsyila tidak pernah mengira bahwa hari ini dirinya akan menjadi pengantin wanita, menggantikan sang kakak. Penampilan pengantin wanita sungguh jauh dari kata sempurna. Rambut coklat Arsyila dibiarkan terurai bebas. Mereka bahkan masih terlihat kusut meski Arsyila memakai veil di kepalanya. Para perias tidak memiliki waktu yang cukup untuk menata rambut Arsyila. Riasan di wajah Arsyila juga tidak sempurna. Sebagian riasannya terhapus karena air mata Arsyila. Jika bercermin sekarang, Arsyila pasti akan mengasihani dirinya. Dirinya terlihat menyedihkan meski memakai gaun pengantin yang mewah. Arsyila bel
Dingin. Itulah yang dirasakan Arsyila saat menyentuh kulit pucat Syakila dan mencium kening sang kakak untuk terakhir kali. Dimata Arsyila saat ini Syakila seperti seperti seorang putri tidur dalam dongeng. Syakila tampak cantik dalam balutan gaun warna putih dengan senyum yang menghias wajahnya. Dia seperti sedang menunggu pangeran menciumnya dan membebaskanya dari kutukan. Tunggu sebentar! Jika ini sama seperti cerita dongeng, mungkinkah mata amber Syakila akan kembali terbuka?“Bisakah Anda mencium kakakku?”tanya Arsyila pada Reyga yang masih setia berdiri di samping peti sang kakak. Hanya pria itu satu-satunya orang yang ada bersamanya sekarang. Meskipun tanpa menoleh ke arah Reyga, Arsyila yakin pria itu mendengar permintaannya. Tapi pria itu hanya diam saja. Arsyila tertawa pelan, mentertawakan kebodohannya. Sepertinya dirinya sudah tidak waras dengan menyuruh orang lain mencium seorang mayat. Sebuah tangan terulur di depan wajah Arsyila, membantu Arsyila b
Tangan Arsyila yang menggenggam bunga lily putih terlepas, bersamaan dengan suara pintu kamar yang diketuk dari luar. Gadis itu terkesiap, secara reflek berbalik menatap sumber ketukan yang mengejutkannya.“Syila, keluarlah untuk makan!”suara cemas nyonya Derin dari balik pintu terdengar. Arsyila menghela napasnya. Gadis itu segera duduk di atas ranjang Syakila saat nyonya Derin membuka pintu kamar.“Aku akan turun nanti, aku ingin sendiri sekarang,” jawab Arsyila dingin tanpa menoleh ke arah nyonya Derin. Nyonya Derin menghela napasnya, menatap Arsyila sedih. Biasanya wanita paruh baya itu akan mengomeli Arsyila, tapi mungkin mulai hari ini wanita itu tidak akan melakukannya. Tanpa mengatakan apa-apa nyonya Derin kembali menutup pintu kamar, meninggalkan Arsyila sendirian.“Tidak mungkin,” gumam Arsila mirip sebuah bisikan. Tangannya menggenggam erat seprai yang didudukinya. Mata coklat Arsyila menatap horor bunga lily yang tergeletak di bawah kakinya. Ar
Lampu kamar menyala, sosok nyonya Derin tampak berdiri di depan pintu setelah pintu kamar Syakila benar-benar terbuka. Arsyila menutup kedua matanya rapat, berusaha mungkin menenangkan jantungnya yang berdetak cepat.“Tidak ada apa-apa. Biarkan dia istirahat. Kau pasti salah dengar.” Suara tuan Derin terdengar menenangkan nyonya Derin yang gelisah.“Aku mendengar suara benda jatuh tadi,” ucap nyonya Derin hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Namun tuan Derin mencekal tangan istrinya. “Sudah malam, kita juga harus istirahat.”Nyonya Derin kembali melangkah mundur. Menurut saat tuan Derin menariknya keluar kamar. Tak lama lampu kamar kembali dimatikan, suara pintu kamar yang ditutup terdengar.Arsyila menghembuskan napasnya, sepasang matanya telah terbuka. Tadi saat melihat gagang pintu yang bergerak, Arsyila dengan cepat melompat ke ranjang. Menutupi tubuhnya dengan selimut dan kembali berpura-pura terlelap. Beruntung waktunya pas.
Ekspresi aneh yang ditunjukan kasir pria itu membuat Arsyila merasa bingung. Adakah yang salah dengan pertanyaannya? Dalam hati Arsyila bertanya-tanya. Setelah beberapa detik pria itu tersenyum, kembali memasang wajah ramahnya.“Maaf nona, sebenarnya itu bukan permen,” jawab pegawai pria itu tampak enggan. “Sudah kuduga, ini bukan permen. Lalu makanan macam apa ini?” tanya Arsyila kembali sambil membolak-balik kotak merah mungil di tangannya.“Itu … juga bukan makanan,” jawab pegawai pria itu terlihat salah tingkah. Mendengar jawaban pegawai pria, Arsyila tampak terkejut.“Lalu apa ini?” tanya Arsyila kembali mengangkat kotak merah di tangannya, mengangkatnya lebih tinggi. Lagi-lagi ekspresi aneh ditunjukkan oleh si pegawai pria. Beberapa kali bibir pria itu terbuka tertutup, terlihat sulit menjelaskan. Melihat rekannya mengalami kesulitan, seorang pegawai wanita datang. “Ada yang bisa dibantu, nona?”tanya pegawai wanita itu ramah pada
Dahi Arsyila berkerut merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti tubuhnya jatuh lalu berguling-guling hingga menyebabkan tulangnya rontok semua. Benar, kini Arsyila ingat dirinya baru saja jatuh karena sebuah batu besar, di sebuah gang menyeramkan, di tengah-tengah hujan lebat. Seketika Arsyila membuka kedua matanya. Bola matanya berputar, menatap sekitar dengan tatapan ketakutan. Apa dia telah mati dengan mengenaskan menyusul sang kakak? Langit-langit putih dan cahaya lampu yang menyilaukan jadi yang pertama menyambut Arsyila. Ini bukan surga, Arsyila tau itu. Dimana dirinya sekarang? Arsyila berusaha bangun,namun seorang wanita muda berseragam biru tua tiba-tiba muncul dan menghentikannya.“Oh, Anda sudah bangun! Berbaringlah sebentar!” Arsyila menurut saat wanita berseragam itu membantu membaringkan kembali tubuhnya. Dari penampilannya, wanita itu mirip dengan seorang perawat. Tunggu, perawat?Arsyila kembali menatap sekelilingnya. Saat