Share

Bab 2 ; Seminggu Sebelum Pernikahan (1)

“Kau hanya boleh daftar kuliah universitas Aston, selain itu aku tak sudi membayar uang kuliahmu!” seru nyonya Derin membuat Arsyila mengerucutkan bibirnya.

“Tapi disana tidak ada jurusan tata busana. Aku sangat ingin belajar fashion, bu,” rengek Arsyila dihadiahi jitakan oleh nyonya Derin. Arsyila mengaduh, ingin mengomel namun tatapan tajam sang ibu membuat Arsyila memilih melipat bibirnya.

“Jangan bertingkah! Ikuti saja jejak kakakmu. Ambil jurusan akutansi dan ikut bekerja dengan ayahmu! Itu jauh lebih menjanjikan!”

“Tapi, aku—“

“Aku tidak mau lagi berdebat! Jika kau masih bicara, jangan salahkan aku jika ada panci melayang!” potong nyonya Derin yang sedang mengaduk supnya. Arsyila yang tengah duduk di kabinet dapur cepat-cepat turun sambil membungkam mulutnya. Ancaman nyonya Derin selalu ampuh untuk menutup mulut putri-putrinya saat mereka berdebat.

“Aku yang akan mengurus makan malamnya. Kau pergi dan susul kakakmu! Aku menyuruhnya membeli bumbu dapur di swalayan. Tapi sudah hampir setengah jam dia belum juga pulang,” perintah nyonya Derin disambut helaan napas oleh Arsyila.

“Itulah kenapa lebih baik kita memiliki ponsel di keluarga kita,” sahut Arsyila sekali lagi dihadiahi tatapan tajam dari nyonya Derin. Arsyila berdecak kesal, “baik-baik, aku pergi sekarang!”

Dengan enggan Arsyila mengambil kardigannya dan memakainya sebelum keluar dari rumahnya. Jarak swalayan dengan rumahnya tidak begitu jauh, hanya terpaut tiga gang saja. Cukup berjalan kaki, tidak sampai sepuluh menit Arsyila sampai. Arsyila menghentikan langkahnya saat melihat sosok yang dicarinya berada di depan teras swalayan. Syakila, gadis itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria asing.

“Kak Kila!” panggil Arsyila segera menghampiri kakaknya. Mendengar panggilan Arsyila, Syakila dan pria yang berbincang bersamanya tampak terkejut. Begitu Arsyila mendekat, pria yang sedang berbincang dengan kakaknya segera berpamitan dan pergi. Kening Arsyila berkerut. Ini kali pertama Arsyila melihat kakaknya berbincang dengan pria asing.

“Siapa dia?” tanya Arsyila merasa penasaran. Penampilan pria itu sungguh tidak biasa. Rambut panjang warna silver yang mencolok dan topi baseball merah sungguh perpaduan yang sangat norak.

“Aku tidak tau, dia hanya sedang bertanya alamat,” jawab Syakila membuat Arsyila mangut-mangut. Mata coklat Arsyila masih menatap punggung pria asing itu yang semakin jauh. Menurut Arsyila penampilan pria itu benar-benar aneh. Karena itulah mata coklat Arsyila tak bisa lepas darinya.

“Ayo kita pulang!” Arsyila terkejut saat Syakila menyambar lengannya, menariknya untuk pulang bersama.

Sepanjang jalan Arsyila terus berceloteh tentang kekesalannya pada sang ibu yang tidak mengijinkannya melanjutkan kuliah di luar kota Aston. Juga tentang keluarga mereka yang sangat tertutup akan kemajuan teknologi. Itu sangat parah! Bagaimana tidak, disaat semua teman-temannya memegang ponsel pintar, Arsyila hanya bisa menggigit jarinya. Jangankan ponsel pintar, ponsel jadul saja tidak pernah disentuhnya. Keluarga Derin benar-benar keluarga yang kolot. Mereka tak mengenal ponsel, televisi, apalagi internet. Mereka tetap teguh mempertahankan teknologi lama. Saat para bapak-bapak melihat berita melalui ponsel mereka, hanya tuan Derin yang masih setia dengan korannya. Nyonya Derin juga tak pernah iri pada para tetangganya yang sering membuka vidio nutube untuk memutar lagu kesukaannya saat radio usang di rumahnya masih bisa mengeluarkan suara dan menemaninya memasak.

“Benar-benar menyebalkan!” seru Arsyila kesal sambil membuka pintu rumahnya. Syakila yang sedari tadi mendengarkan curhatan adiknya hanya tertawa sambil mengikutinya dari belakang.

“Siapa yang menyebalkan?!” Sahut nyonya Derin membuat Arsyila hampir tersedak ludahnya. Tidak menyangka sang ibu yang seharusnya masih berkutat di dapur tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Nyonya Derin pasti akan menyemburnya jika Arsyila bilang dirinyalah yang menyebalkan. Syakila yang melihat benih-benih percek-cokan memilih segera lari ke kamarnya setelah menaruh kantung belanjanya. Melihat kakaknya yang melarikan diri, Arsyila memilih ikut berlari menyusul kakaknya tanpa menjawab pertanyaan ibunya.

“Kakak, jangan tutup pintunya!” teriak Arsyila mencegah Syakila menutup pintu kamarnya. Kedua kakak beradik itu akhirnya masuk ke dalam kamar Syakila, mengabaikan nyonya Derin yang mengomel di lantai bawah. Arsyila segera menjatuhkan dirinya ke atas kasur setelah Syakila mengunci pintu.

“Kakak, seminggu lagi kau akan menikah. Bagaimana aku menghadapi ibu jika dia marah? Dia tak akan berani menyentuhmu karena kau sudah bersuami. Aku pasti akan jadi bulan-bulanannya!” keluh Arsyila membuat Syakila tertawa. Syakila mengikuti Arsyila, menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur miliknya.

“Aku benar-benar iri padamu,kak. Kau jadi kebanggaan keluarga. Ayah selalu memujimu di depanku dan ibu juga tak pernah memarahimu. Selalu aku yang dimarahi! Kau berprestasi di sekolah, lulus dengan nilai tinggi dan memiliki pekerjaan yang bagus. Kau bahkan mendapatkan calon suami tampan dan kaya. Hidupmu benar-benar sempurna!” celoteh Arsyila membuat Syakila yang sebelumnya tersenyum lebar tercenung saat mendengar kata sempurna.

“Kau berpikir begitu?” tanya Syakila menoleh ke arah Arsyila yang berbaring di sampingnya. Arsyila mengangguk dengan semangat. “Sangat sempurna!” jawabnya. Syakila menghela napas, mulai bangkit dan duduk di tepi kasurnya.

“Emm, kurasa tidak begitu. Tidak ada hidup yang sempurna, Syila.”

“Tapi, kau punya!” Arsyila bangkit dan ikut duduk di dekat Syakila. “Kau bahkan memiliki kisah cinta seperti cinderela, dimana pangeran tampan, baik dan rupawan memilihmu dari sekian banyak wanita di dunia!”

“Kau berlebihan.” Syakila tertawa, menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak! Lihatlah kak Reyga! Dia tinggi, tampan, dan memiliki senyum yang menawan. Lalu dia juga sopan, baik, perhatian, lembut …. Ditambah dia juga kaya raya! Astaga, kau benar-benar gadis yang saaangat beruntung mendapatkan pria sepertinya!”

Syakila mengeluarkan jari dan menghitung banyaknya pujian yang dilontarkan Arsyila pada calon suaminya. “Bukankah kau terlalu banyak memujinya?” protes Syakila membuat Arsyila mengulum senyuman.

“Kau cemburu? Tenanglah, bagiku kau tetap kakak nomer satu di hati Syila.”

“Bukan begitu!” bantah Syakila. “ Dengar Syila, kau sebaiknya tidak dengan cepat menilai orang dari tampilan luarnya. Orang yang terlihat baik, belum tentu benar-benar baik, begitu juga sebaliknya. Jadi, berhati-hatilah!”

“Entah kenapa saat kau mengatakannya, aku jadi sedikit merinding,” bisik Arsyila mengusap tengkuknya. Wajah Syakila yang sebelumnya dipenuhi keseriusan kembali mencair saat senyumannya terbit.

“Kata orang, jika kau merinding itu artinya ada hantu di sekitarmu,” bisik Syakila dengan suara rendah, kali ini memasang wajah tegang. Arsyila yang mudah takut dengan cerita seram langsung merapatakan tubuhnya pada Syakila. “Di belakangmu!” teriak Syakila langsung melompat dari kasur membuat Arsyila panik dan ikut melompat. Tawa Syakila pecah, gadis bersurai hitam itu tertawa terbahak-bahak. Arsyila yang sadar tengah dipermainkan berlari mengejar Syakila yang sudah membuka kunci pintu dan keluar dari kamar.

“Hei, anak nakal! Berhenti berlarian!” Suara nyaring nyonya Derin menyambut telinga Arsyila begitu gadis itu keluar dari kamar Syakila. Dua kakak beradik itu segera berhenti. Di lantai bawah tampak nyonya Derin mendongak sambil berkacak pinggang.

“Kalian! Cepat turun untuk makan malam!” perintah nyonya Derin sambil berlalu, berjalan lebih dulu menuju meja makan. Syakila dan Arsyila saling bertatapan sebelum mereka saling menyatukan jemari mereka dan memutuskan berjalan bersama menuju meja makan.

Sampai di meja makan Arsyila mengambil tempat duduk tepat di depan ibunya, sedang Syakila di depan sang Ayah, tuan Derin yang sudah lebih dulu menyantap makan malamnya. Pria paruh baya itu tampak makan dengan tenang. Sesekali Arsyila melirik ke arahnya. Di atas meja makan sudah tersaji kentang rebus, sup jamur, dan gulai daging. Saat tangan Arsyila mulai mangambil gulai daging, gadis itu dikejutkan oleh suara decitan kursi Syakila yang tiba-tiba saja berdiri dari tempat duduknya.

“Hukh!”

Arsyila langsung berdiri dengan panik. Mata coklatnya menatap terkejut pada sang kakak. Di tengah-tengah makan malam, Syakila terlihat memuntahkan isi perutnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status