“Mas, aku ingin bercerai.”
Levana menatap suaminya dengan tatapan datar tanpa perasaan. Galen yang baru saja menenggak minumannya itu segera menoleh dan menatap istrinya dengan kening mengernyit. Tampak begitu heran.
Tidak ada reaksi yang berlebihan yang diberikan oleh Galen setelah itu kecuali hanya diam. Dia baru saja pulang dari kantor membawa serta tubuh yang lelah luar biasa. Seharusnya dia mendapatkan ketenangan saat berada di rumah, tetapi justru sebaliknya. Namun, Galen tidak menganggap ucapan istrinya itu sebagai hal yang serius.
“Sayang, kalau bercanda jangan keterlaluan. Aku baru pulang lho ini. Di perusahaan sangat tidak terkendali.” Begitu tanggapan Galen dengan lembut.
“Aku nggak sedang bercanda, Mas. Aku udah berpikir panjang dan memutuskan untuk bercerai denganmu.” Levana menjawab dengan tegas tanpa ada gurat keraguan.
Ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan gejolak apa pun. Dia hanya terlihat datar dan tidak berperasaan. Galen yang tadinya mengeluarkan senyumnya itu kini mengerutkan bibirnya. Menatap lebih dalam istrinya yang tiba-tiba berubah.
Dua hari lalu ketika dia meninggalkan Levana pergi ke kantor, semua masih baik-baik saja. Galen menginap di kantor untuk mengurus semua masalah yang terjadi pada perusahaannya. Perusahaan itu sedang dalam ambang pailit dan Galen berupaya untuk menyelamatkannya.
“Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?” Galen masih berbicara lembut. Dia tidak ingin membentak Levana meskipun dia ingin. Galen masih berpikir jika ini hanya sebuah candaan istrinya sekedar untuk bermain-main. “Apa kita ada masalah selama ini?”
“Kita nggak pernah memiliki masalah, Mas. Tapi, kamu yang bermasalah.” Levana menusuk suaminya dengan ucapannya. “Aku pikir perusahaan kamu akan tetap terkontrol dengan baik, ternyata sekarang justru limbung dan hampir bangkrut.”
“Kamu ingin cerai karena perusahaanku bermasalah?” Galen mencoba menebak.
“Iya. Aku tahu kondisi perekonomianmu sedang tidak bagus. Perusahaan sebentar lagi pailit. Lalu, bagaimana denganku dengan anak kita kedepannya? Aku rasa aku nggak bisa bertahan denganmu kalau harus ikut menanggung semua beban ini.”
“Kamu pikir karena perusahaan sekarang bermasalah, lantas kamu menganggap aku nggak bisa menafkahi kalian?”
“Kamu memang bisa menafkahiku, tapi apa bisa memberikanku lebih dari itu?” Levana masih bertahan dengan ekspresi datar yang dimiliki. Dia layaknya tokoh antagonis yang berada di sebuah film. Hal itu mampu menyentil perasaan Galen.
“Sayang.” Galen mendekat pada Levana. Lelaki itu menggengam tangan istrinya dengan kuat menunjukkan jika dia tak ingin kehilangan perempuan yang dicintianya. “Aku tahu sekarang perusahaan sedang dalam masa krisis, tapi kita pasti akan bisa melewati semuanya. Aku sedang berjuang sekarang.”
“Nggak ada jaminan perusahaan itu bangkit tanpa suntikan dana, Mas. Aku tahu mendapatkan dana sebanyak itu nggak mudah. Jadi, aku putuskan untuk mundur. Aku nggak bisa berada di sisimu lagi.”
Galen terdiam tak bisa berkata-kata. Tatapannya mengarah lurus pada mata Levana dan mencari kebohongan dalam sorot mata istrinya. Namun, seperti palu yang memukul hatinya, Galen tidak menemukan sorot lain di sana. Dia hanya melihat keteguhan Levana dengan keputusan yang diambil.
Beranjak, Galen mengusap wajahnya dengan kasar. Dia merasa seperti kehilangan setengah dari jiwanya. Apa benar, perempuan yang ada di depannya itu adalah Levana-nya. Apa benar yang sekarang dihadapi adalah istrinya? Perempuan yang selalu bersikap lembut dan mencintainya? Itulah pertanyaan yang bercokol di dalam kepala Galen saat ini.
“Lev, tunggulah sebentar lagi. Benar-benar sebentar lagi. Aku janji akan menyelesaikan semuanya dengan benar dan kita bisa hidup seperti sebelumnya.” Galen mengatakan itu dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan sedikitpun. “Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku akan menganggap kamu nggak pernah mengatakan apa pun sebelumnya, tetaplah di sini, di sisiku.”
Levana menggeleng. “Mulai sekarang Mas harus bisa mencoba untuk hidup tanpa aku. Akan ada perempuan yang lebih baik yang akan menggantikanku. Yang pasti, dia lebih tulus dariku.”
“Tapi aku nggak mau sama siapa pun selain kamu, Lev. Kamu lupa kalau perpisahan kita akan berdampak pada anak kita? Kamu istriku, Lev. Kamu yang seharusnya ada bersamaku dan mendampingiku bagaimanapun keadaannya! Ingat, Birru masih bayi dan dia butuh kita.”
“Dia hanya butuh aku, Mas. Dia nggak butuh kamu.” Kalimat itu sepergi godam yang menghantam nurani. “Sorry, Mas. Aku benar-benar nggak bisa melanjutkan hidup sama kamu.”
“Apa kamu nggak percaya kalau aku akan mampu melewati semua ini? Aku nggak minta kamu berjuang bersamaku. Aku hanya ingin kamu ada di sini menungguku pulang dan memberiku dukungan. Itu aja.” Galen masih mencoba untuk mempertahankan istrinya di sisinya.
Galen menatap Levana yang masih tampak begitu tenang. Lelaki itu terlihat sudah mulai tersulut emosi. Wajahnya bahkan sudah memerah karena amarah. Namun, dia masih mencoba untuk tidak berucap kasar kepada perempuan yang sudah memberikannya satu putra tersebut.
“Aku nggak bisa Mas. Aku akan tetap pergi dan tolong segera urus surat perceraiannya.”
“Kenapa kamu harus bersikap seperti ini, Lev. Apa yang kurang aku berikan ke kamu selama ini?” Pada akhirnya, Galen tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak berteriak. “Aku selalu berjuang untuk memberikan yang terbaik untuk kamu. Untuk kita. Lalu kenapa kamu harus meminta cerai di saat aku berada di titik terendah dalam hidupku, Lev. Apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa tetap tinggal?” Galen berdiri dan mondar-mandir tidak tenang.
Kali ini Levana berdiri. Dia mendekati Galen dan menatap suaminya penuh dengan rasa berkecamuk. Sayangnya, dia terlalu mahir mengolah ekspresi wajahnya agar terlihat tetap tenang.
“Percayalah, Mas. Akan ada hal lebih besar di depan sana yang akan bisa kita dapatkan kalau kita berpisah.”
“Omong kosong!” Galen meledak dalam amarah. “Jangan-jangan, kamu menemukan lelaki yang lebih kaya dariku?”
Levana diam tidak menjawab. Dia memilih untuk tidak menjelaskan apa pun kepada Galen dan menelan apa pun sendiri.
“Aku ke atas dulu. Aku akan bersiap untuk pergi.” Levana pergi begitu saja dari hadapan Galen. Setetes air mata tak lagi bisa dibendung yang pada akhirnya meluncur begitu saja. Namun, dia segera menyekanya agar tidak terlihat lemah di depan Galen.
Dengan langkah lebar, Levana menaiki tangga meninggalkan Galen. Mengenakan outernya, menggendong bayinya yang sudah membebatnya menggunakan selimut agar tetap hangat, Levana bergegas untuk mengambil koper yang sudah dipersiapkan. Lantas, dia keluar dari kamar dan kembali memasang wajah datarnya.
Galen sudah menunggu di depan kamar dengan kemarahan yang terlihat di wajahnya. “Sepertinya kamu sudah mempersiapkan semuanya,” ucap Galen. “Kamu bahkan sudah mengepak barang-barangmu sebelum aku pulang. Lalu, Birru ….”
“Tetaplah sehat, Mas.” Levana memutus ucapan Galen cepat. “Jangan lupa makan. Mungkin kita hanya berjodoh sampai di sini. Aku harap setelah ini Mas akan bahagia.”
Levana memberikan tatapan ketegarannya di depan sang suami. Tidak ada jejak kesedihan yang terlihat di wajahnya. Levana berjalan melewati Galen sebelum suara suaminya menghentikan langkahnya.
“Tinggalkan putraku di sini.” Suara Galen begitu dingin dan tajam. “Aku yang berhak atas dia.”
“Dia masih bayi dan dia lebih membutuhkanku. Aku tidak akan meninggalkan Birru di sini bersamamu dengan kondisimu yang masih berantakan. Fokuslah pada perusahaanmu dan tidak perlu memikirkan kami.”
“Aku tidak memikirkan kamu, Leva. Tapi, aku sedang memikirkan putraku. Ke mana kamu akan membawanya!” Galen sedikit meninggikan suaranya.
“Ke mana pun asal tidak di sini.” Levana menggenggam pegangan koper dengan kuat menahan segala gejolak yang muncul di dalam hatinya. Memberikan lontaran kalimat yang membuat Galen akan setengah mati membencinya. “Birru seorang laki-laki, di masa depan, dia tak membutuhkan kamu sebagai wali nikahnya.”
***
Levana tahu ucapannya ini akan memantik bara terpendam dan membakar amarah. Harusnya dia hanya perlu diam tak perlu mengatakan apa pun yang diketahui. Namun, ada dorongan kuat di dalam hati yang membuatnya harus bicara. Dia harus memberi tahu Sisil siapa dirinya agar perempuan itu tidak terlalu percaya diri.Lihatlah bagaimana reaksi perempuan itu. Sisil tak bisa menutupi ekspresi terkejut di wajahnya. Mungkin di luar sana, semua orang tahu jika Keyla adalah putri dari seorang Galen. Namun Levana mampu menyangkalnya dengan telak.“Maaf kalau ucapan saya mengejutkan Mbak Sisil, tapi saya berbicara sesuai fakta.” Levana tersenyum tipis. Sisil sudah berani mengklaim suaminya, ‘kan? Jadi tak salah kalau Levana pada akhirnya menyuarakan kebenaran yang seharusnya.Ekspresi Sisil lambat laun berubah. Keterkejutan itu akhirnya tersingkirkan dengan kekehan kecil di bibirnya. Terlalu lues melakukan itu, tetapi Levana tak bisa dibohongi.“Mbak Levana ini bicara apa. Kenapa menjadi tidak masuk ak
Galen belum pernah membahas masalah itu sebelumnya. Seingatnya, Levana juga tidak bertanya hal apa pun tentang kehidupan rumah tangga Galen dengan istri keduanya. Yang dia tahu kalau Galen sudah cerai dengan Sisil tanpa ada pertanyaan lanjutan.Terlalu gegabah menerima Galen kembali sampai-sampai Levana lupa jika ada hal penting yang seharusnya dia pastikan terlebih dulu. Memangnya ada pengaruhnya? Tentu saja ada. Levana tidak ingin memonopoli Galen dan membuat Galen harus menjauh dari anaknya yang lain dan hanya fokus pada Birru.“Duduk dulu.” Galen sabar menanggapi istrinya. “Aku akan menjawabnya.”Tatapan Levana masih sengit, tetapi Galen tak gentar. Dia genggam tangan Levana dengan lembut, lalu sedikit mendorongnya agar perempuan itu duduk di sofa.Galen sebenarnya lelah. Seharian ini dia berada di luar untuk mengurus ini dan itu, bertemu dengan beberapa orang, dan melakukan banyak hal. Kemejanya bahkan sudah keluar satu sisi dari celana, sedangkan lengan kemeja sudah dilipat samp
“Jadi ….”“Levana.”Panggilan itu membuat Levana yang tadinya ingin berbicara dengan Birru seketika terhenti. Dia lantas mendongak, sedikit menolehkan kepalanya untuk mencari sumber suara. Nyatanya sumber suara yang tadi memanggilnya itu berada tak jauh darinya dengan posisi di depannya.Ada dua orang perempuan berbeda generasi tengah melangkahkan kakinya mendekat ke arahnya. Levana tentu mengenal sosok paruh baya yang kini tengah memasang ekspresi yang tidak mampu Levana jabarkan.Entah itu sebuah ekspresi kesal atau terkejut, tetapi yang bisa Levana pastikan adalah itu ekspresi tak bersahabat. Ditemani dengan perempuan asing yang kalau Levana bisa tebak, dia akan mengatakan itu adalah mantan istri suaminya.Belum juga Levana mampu mencerna keadaan, tiba-tiba saja Birru berceletuk. “Hai, Oma,” sapanya dengan riang.Panggilan itu reflek membuat Levana menatap lekat pada Birru. Tangannya yang mengenggam tangan bocah itu seketika menguat. Satu pertanyaan besar muncul di dalam kepala Lev
“Itu bener, Gi. Kami memang udah ketemu sebelum aku ketemu kamu.” Diperjelas oleh Levana.Gia berdecak ketika pada akhirnya dia gagal menjadi perantara dua sejoli tersebut. Ternyata, semesta justru sudah lebih dulu mempertemukan mereka tanpa perantara siapa pun. Namun, bukan itu sekarang yang menjadi pertanyaan besar di kepala Gia.“Ceritain dong, Mas, gimana kalian pada akhirnya kembali sama-sama. Udah satu rumah lagi, ‘kan. Ini terlalu cepat gitu lho maskudku.”Maka mengalirlah cerita bagaimana di awal mereka bertemu. Cerita itu keluar begitu saja dengan terangkai apik. Bagaimana dulu mereka dipenuhi kemarahan karena masih diselubungi salah paham. Lalu dengan perlahan mereka tahu jika perpisahan mereka bukan murni dari Levana yang ingin meninggalkannya, melainkan ada alasan yang cukup besar dibaliknya.“Mama nyariin Mas ke mana-mana,” adu Gia kepada kakaknya. “Mama dan Papa murka banget karena Mas hilang gitu aja. Terus tentang perusahaan juga, kayaknya semuanya jadi nggak terkendal
Mobil hitam itu sudah pergi. Birru juga sudah tidak ada di sana lagi, tetapi jiwa Retno seakan mati. Tubuhnya membeku, kakinya seakan menancap di dasar bumi. Perempuan itu hanya mampu menatap ke arah menghilangkan bocah Birru itu dengan wajah kaku dan pucat pasi.Dia tolak nalurinya yang mengatakan jika Birru adalah cucunya. Namun, hatinya tak bisa menyangkal kenyataan jika bocah itu memiliki kemiripan hampir sembilan puluh persen dengan Galen di masa kecil.“Ma.” Panggilan itu membuat kesadarannya kembali. “Mama baik-baik saja?”Sedikit linglung, Retno menatap perempuan di depannya tak fokus. Membutuhkan waktu beberapa saat untuk Retno memanggil kembali kesadarannya dan memberikan senyum kecil di bibirnya.“Kalian sudah selesai.” Dia tatap Keyla dengan lekat. Gadis kecil yang sejak bayi dia urus seperti cucunya sendiri itu tidak menolak fakta jika Keyla bukanlah darah dagingnya.Adalah Albirru Rakhan Wiraguna yang seharusnya dia sayangi karena faktanya, dialah cucu yang sebenarnya. B
“Mbak Leva.”Levana baru saja memarkirkan mobilnya di Mama Food ketika suara itu terdengar di telinganya. Gia tersenyum lebar mendekatinya dengan langkah riang seolah baru saja bertemu dengan kakaknya yang sudah lama tak pulang.“Gi. Kamu dari mana?” tanya Levana. “Pagi banget.”“Habis nganter Naka sekolah. Terus sengaja kesini mau ketemu Mbak Leva. Ada yang mau aku bicarakan.”Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi dan tentu saja restoran Levana masih proses menuju buka. Tidak menolak, Levana mengangguk. “Mau masuk?” tawarnya.“Kalau di sini aja boleh nggak? Di mobil juga lebih aman.”Tidak ada penolakan ketika Levana lagi-lagi menyetujui. Levana tahu pembicaraan ini masih akan terkait Galen. Lelaki itu yang tidak bisa ditemui, Galen yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, atau Galen yang tiba-tiba menjual semuanya sahamnya. Namun, apa pun itu, dia akan mendengarkan.Benar saja, Gia membuka obrolannya dengan memberikan informasi tersebut. Tidak begitu jauh dari apa yang sudah dip