Di dalam dapur restoran dipenuhi dengan aroma lezat yang memikat. Suara alat masak terdengar tumpang tindih tidak karuan. Desisan minyak panas, serta teriakan singkat para kru dapur saling bersahutan. Kepala koki memberikan intruksi cepat dan tegas, sementara para koki pun fokus pada masing-masing pesanan.
Para pelayan mencatat pesanan dengan sigap, mengantarkan pesanan, dan memastikan tamu dilayani dengan baik. Keseluruhan situasi ini terlihat di sebuah restoran yang baru berdiri selama satu tahun belakangan ini. Mama Food sedang menjadi primadona baru untuk para pemburu kuliner berkat menu masakan nusantara yang ditawarkan.
Di jam makan siang seperti ini, kesibukan bertambah dua ratus persen. Tak hanya tamu yang datang untuk makan, tetapi sebagian juga sambil membicarakan pekerjaan.
“Bos, sepertinya kita memang butuh perluasan restoran ini agar bisa menampung banyak orang.” Salah satu chef yang tengah sibuk pun mengawali obrolan dengan pemilik restoran yang ikut berkutat di dapur.
Seorang perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan tata boga itu kini tengah membantu memasak dengan lihai di depan kompor, menggunakan alat masak dengan mahir, tentu saja juga cekatan.
“Dan jangan lupa tambah tenaga.” Yang lain menimpali.
Levana yang tengah mengaduk ayam teriyaki di wajan itu tersenyum. “Masih diusahan. Kalian sabarlah sebentar lagi.”
Mereka sudah mengeluh tentang masalah ini sejak beberapa bulan yang lalu karena pelanggan mereka semakin membludak. Tentu saja hal itu membuat mereka semua harus bekerja lebih ekstra. Namun, apalah daya jika mereka masih proses pencarian karyawan baru yang cocok menurut Levana.
Matahari hampir tenggelam ketika Levana memutuskan naik ke rooftop. Menikmati waktunya dengan menyesap coklat hangat selepas bekerja. Restoran akan tutup pukul sepuluh malam, dan dia meninggalkan dapur ketika aktivitas di dapur masih sibuk meskipun tak sesibuk beberapa jam lalu.
“Ibu mau pulang sekarang atau mau diambilkan sesuatu lagi?” tanya salah karyawan yang baru saja mengantarkan pesanan di salah satu meja yang ada di rooftop tersebut.
“Oh, tolong minta buatkan sup ayam dan kentang goreng ukuran jumbo. Saya akan membawa pulang nanti.” Levana mendongak menatap karyawannya dan memberikan senyum kecil.
“Pasti untuk Mas Birru, Bu,” ucap sang karyawan.
Levana tersenyum. “Benar. Pesanannya selalu sama. Kalau sudah selesai kasih tahu saya agar saya bisa langsung bawa pulang.”
Karyawan tersebut segera mengangguk sebelum meninggalkan rooftop. Pemanfaatan tempat di ruko itu menjadi salah satu hal yang menarik di Mama Food. Rooftop selalu menjadi salah satu tempat yang dipilih oleh pelanggan dari sore hingga malam karena mereka bisa menikmati pemandangan di bawah sana serta udara langsung dari alam.
Levana berdiri dan mendekati pagar pembatas. Berdiri di sana sambil melihat betapa sibuknya jalanan di bawah sana. Waktu ternyata begitu cepat berlalu. Ini sudah lima tahun setelah kejadian kelam malam itu.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya mengusir segala ingatan masa lalu yang ada di dalam kepalanya. Masa lalu itu tidak akan pernah kembali, tetapi memori kejadiannya terpatri dalam ingatan.
“Bu, sudah siap.” Lamunan Levana tercecer karena suara karyawannya. “Makanan sudah ada di kasir.”
“Oke, saya turun.” Angguknya.
Perempuan itu meninggalkan pagar pembatas roof top sebelum sesuatu terjadi. Kakinya yang tadinya melangkah itu seketika terhenti, terpaku di tempatnya berdiri. Seperti sebuah gerakan slow motion, dunia Levana seakan terhenti detik itu juga ketika dia mendapati seorang lelaki muncul dari arah ujung tangga.
Tatapan mereka bertemu. Hiruk pikuk tempat itu, obrolan-obrolan orang-orang di sekitarnya seolah menghilang begitu saja. Kini seperti ada sebuah lorong yang hanya ada Levana dan juga lelaki itu. Lelaki yang dia tinggalkan lima tahun lalu, Galen.
Lelaki yang sudah dia berikan luka dalam tanpa alasan. Lelaki yang ditinggalkan di titik terendah hidupnya. Juga, lelaki yang masih dicintainya sampai detik ini.
Kini, lelaki itu ada di depannya dengan ekspresi dinginnya. Menatapnya seakan mereka tidak pernah terlibat sebelumnya. Dunia ini begitu luas. Levana sudah mencoba berlari jauh dan berusaha untuk tidak lagi bersinggungan dengan Galen atau keluarga lelaki itu. Namun, takdir seakan tengah mempermainkannya.
“Pak Galen sudah datang.” Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba muncul dari belakang Levana dan mendekati Galen, membuat lelaki itu memutus tatapan mereka yang sempat terpatri beberapa detik lalu.
Galen mengangguk dan mengulas senyum kecil di bibirnya. “Maaf sudah menunggu. Saya baru saja meeting dadakan di kantor dan harus bersabar karena macet.” Suara berat itu masih sama seperti lima tahun lalu. Wajahnya bahkan semakin tampan seiring bertambahnya usia. Galen, terlihat semakin matang.
“Tidak masalah, Pak. Saya juga belum lama datang. Mari, Pak. Meja kita ada di sana.” Lelaki yang bertemu dengan Galen itu menunjukkan arah di belakang Levana.
“Terima kasih.”
Galen dan lelaki asing itu berjalan semakin mendekat. Degup jantung Levana semakin menggila, udara di sekitarnya semakin menipis, bahkan perempuan itu harus menahan napas ketika Galen melewatinya yang masih berdiri kaku di tempatnya. Aroma tubuh lelaki itu menguasi indera penciuman Levana ketika dia kembali meraup oksigen di sekitarnya. Aroma Galen seperti sebuah tamparan keras tepat di wajahnya. Wangi itu berubah. Galen sepertinya sudah tidak lagi menggunakan parfum yang disukai oleh Levana.
Tentu saja Galen akan membuang semua kenangannya bersama dengan Levana setelah perempuan itu meninggalkanya dengan cara yang sangat menyakitkan.
Hal itu mau tak mau membuat Levana sadar, jika lima tahun berlalu dan sudah mengubah semuanya. Dirinya saja sudah berjalan sampai sejauh ini. Apalagi Galen yang memiliki segalanya.
Dia mencoba untuk berpegangan pada kursi yang ada di sampingnya ketika merasa kakinya sedikit bergetar. Menyadarkan dirinya jika keputusannya lima tahun lalu itu adalah keputusan yang tepat. Lihat saja, Galen bahkan terlihat hidup dengan baik sekarang.
“Ibu baik-baik saja?” Karyawannya yang melihat Levana terdiam tak bergerak itu mendekat. “Ibu sakit? Ibu terlihat pucat.” Levana dipaksa untuk sadar dan kembali kepada realita.
Menarik napasnya panjang, Levana mencoba untuk mengumpulkan kepingan-kepingan kesadaran yang beberapa waktu lalu tercecer. Dia lantas menutup matanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan karyawannya.
“Saya baik-baik saja. Agak sedikit pusing tadi. Saya akan turun sekarang.”
Buru-buru, Levana melangkah menjauh dari meja tersebut tanpa menoleh ke belakang. Dia mencoba terus mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terbawa arus. Hubungannya dengan Galen sudah berakhir lima tahun yang lalu. Dia sendiri yang memilih mundur dan mencari ‘kebahagiaannya’ sendiri.
Lantas, benarkah dia benar-benar bahagia? Entahlah. Levana selama ini hanya mencoba untuk tetap melanjutkan hidup tanpa berpikir hal buruk.
‘Dia sudah bahagia sekarang. Dia juga terlihat lebih baik dari sebelumnya. Setelah kepergiannya, lelaki itu pasti sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan.’
Levana terus mengatakan itu di dalam dirinya sampai dia masuk ke dalam mobil. Kedua tangannya saling meremas dan mencoba meredam kegugupan.
Ketukan pintu mobilnya membuat Levana menoleh. Seorang karyawan berdiri di samping mobilnya.
“Ibu, pesanannya ketinggalan.”
Hampir saja. Kalau dia lupa, sudah bisa dipastikan, Birru akan merajuk kepadanya. “Terima kasih.”
Memilih segera meninggalkan restoran, Levana harus melupakan kejadian tadi dan melenyapkan dari ingatannya. Anggap saja pertemuan yang baru saja terjadi itu hanyalah sebuah halusinasi sesaat.
***
Levana tahu ucapannya ini akan memantik bara terpendam dan membakar amarah. Harusnya dia hanya perlu diam tak perlu mengatakan apa pun yang diketahui. Namun, ada dorongan kuat di dalam hati yang membuatnya harus bicara. Dia harus memberi tahu Sisil siapa dirinya agar perempuan itu tidak terlalu percaya diri.Lihatlah bagaimana reaksi perempuan itu. Sisil tak bisa menutupi ekspresi terkejut di wajahnya. Mungkin di luar sana, semua orang tahu jika Keyla adalah putri dari seorang Galen. Namun Levana mampu menyangkalnya dengan telak.“Maaf kalau ucapan saya mengejutkan Mbak Sisil, tapi saya berbicara sesuai fakta.” Levana tersenyum tipis. Sisil sudah berani mengklaim suaminya, ‘kan? Jadi tak salah kalau Levana pada akhirnya menyuarakan kebenaran yang seharusnya.Ekspresi Sisil lambat laun berubah. Keterkejutan itu akhirnya tersingkirkan dengan kekehan kecil di bibirnya. Terlalu lues melakukan itu, tetapi Levana tak bisa dibohongi.“Mbak Levana ini bicara apa. Kenapa menjadi tidak masuk ak
Galen belum pernah membahas masalah itu sebelumnya. Seingatnya, Levana juga tidak bertanya hal apa pun tentang kehidupan rumah tangga Galen dengan istri keduanya. Yang dia tahu kalau Galen sudah cerai dengan Sisil tanpa ada pertanyaan lanjutan.Terlalu gegabah menerima Galen kembali sampai-sampai Levana lupa jika ada hal penting yang seharusnya dia pastikan terlebih dulu. Memangnya ada pengaruhnya? Tentu saja ada. Levana tidak ingin memonopoli Galen dan membuat Galen harus menjauh dari anaknya yang lain dan hanya fokus pada Birru.“Duduk dulu.” Galen sabar menanggapi istrinya. “Aku akan menjawabnya.”Tatapan Levana masih sengit, tetapi Galen tak gentar. Dia genggam tangan Levana dengan lembut, lalu sedikit mendorongnya agar perempuan itu duduk di sofa.Galen sebenarnya lelah. Seharian ini dia berada di luar untuk mengurus ini dan itu, bertemu dengan beberapa orang, dan melakukan banyak hal. Kemejanya bahkan sudah keluar satu sisi dari celana, sedangkan lengan kemeja sudah dilipat samp
“Jadi ….”“Levana.”Panggilan itu membuat Levana yang tadinya ingin berbicara dengan Birru seketika terhenti. Dia lantas mendongak, sedikit menolehkan kepalanya untuk mencari sumber suara. Nyatanya sumber suara yang tadi memanggilnya itu berada tak jauh darinya dengan posisi di depannya.Ada dua orang perempuan berbeda generasi tengah melangkahkan kakinya mendekat ke arahnya. Levana tentu mengenal sosok paruh baya yang kini tengah memasang ekspresi yang tidak mampu Levana jabarkan.Entah itu sebuah ekspresi kesal atau terkejut, tetapi yang bisa Levana pastikan adalah itu ekspresi tak bersahabat. Ditemani dengan perempuan asing yang kalau Levana bisa tebak, dia akan mengatakan itu adalah mantan istri suaminya.Belum juga Levana mampu mencerna keadaan, tiba-tiba saja Birru berceletuk. “Hai, Oma,” sapanya dengan riang.Panggilan itu reflek membuat Levana menatap lekat pada Birru. Tangannya yang mengenggam tangan bocah itu seketika menguat. Satu pertanyaan besar muncul di dalam kepala Lev
“Itu bener, Gi. Kami memang udah ketemu sebelum aku ketemu kamu.” Diperjelas oleh Levana.Gia berdecak ketika pada akhirnya dia gagal menjadi perantara dua sejoli tersebut. Ternyata, semesta justru sudah lebih dulu mempertemukan mereka tanpa perantara siapa pun. Namun, bukan itu sekarang yang menjadi pertanyaan besar di kepala Gia.“Ceritain dong, Mas, gimana kalian pada akhirnya kembali sama-sama. Udah satu rumah lagi, ‘kan. Ini terlalu cepat gitu lho maskudku.”Maka mengalirlah cerita bagaimana di awal mereka bertemu. Cerita itu keluar begitu saja dengan terangkai apik. Bagaimana dulu mereka dipenuhi kemarahan karena masih diselubungi salah paham. Lalu dengan perlahan mereka tahu jika perpisahan mereka bukan murni dari Levana yang ingin meninggalkannya, melainkan ada alasan yang cukup besar dibaliknya.“Mama nyariin Mas ke mana-mana,” adu Gia kepada kakaknya. “Mama dan Papa murka banget karena Mas hilang gitu aja. Terus tentang perusahaan juga, kayaknya semuanya jadi nggak terkendal
Mobil hitam itu sudah pergi. Birru juga sudah tidak ada di sana lagi, tetapi jiwa Retno seakan mati. Tubuhnya membeku, kakinya seakan menancap di dasar bumi. Perempuan itu hanya mampu menatap ke arah menghilangkan bocah Birru itu dengan wajah kaku dan pucat pasi.Dia tolak nalurinya yang mengatakan jika Birru adalah cucunya. Namun, hatinya tak bisa menyangkal kenyataan jika bocah itu memiliki kemiripan hampir sembilan puluh persen dengan Galen di masa kecil.“Ma.” Panggilan itu membuat kesadarannya kembali. “Mama baik-baik saja?”Sedikit linglung, Retno menatap perempuan di depannya tak fokus. Membutuhkan waktu beberapa saat untuk Retno memanggil kembali kesadarannya dan memberikan senyum kecil di bibirnya.“Kalian sudah selesai.” Dia tatap Keyla dengan lekat. Gadis kecil yang sejak bayi dia urus seperti cucunya sendiri itu tidak menolak fakta jika Keyla bukanlah darah dagingnya.Adalah Albirru Rakhan Wiraguna yang seharusnya dia sayangi karena faktanya, dialah cucu yang sebenarnya. B
“Mbak Leva.”Levana baru saja memarkirkan mobilnya di Mama Food ketika suara itu terdengar di telinganya. Gia tersenyum lebar mendekatinya dengan langkah riang seolah baru saja bertemu dengan kakaknya yang sudah lama tak pulang.“Gi. Kamu dari mana?” tanya Levana. “Pagi banget.”“Habis nganter Naka sekolah. Terus sengaja kesini mau ketemu Mbak Leva. Ada yang mau aku bicarakan.”Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi dan tentu saja restoran Levana masih proses menuju buka. Tidak menolak, Levana mengangguk. “Mau masuk?” tawarnya.“Kalau di sini aja boleh nggak? Di mobil juga lebih aman.”Tidak ada penolakan ketika Levana lagi-lagi menyetujui. Levana tahu pembicaraan ini masih akan terkait Galen. Lelaki itu yang tidak bisa ditemui, Galen yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, atau Galen yang tiba-tiba menjual semuanya sahamnya. Namun, apa pun itu, dia akan mendengarkan.Benar saja, Gia membuka obrolannya dengan memberikan informasi tersebut. Tidak begitu jauh dari apa yang sudah dip