Share

Part 2

Author: Loyce
last update Last Updated: 2025-07-21 17:44:30

Di dalam dapur restoran dipenuhi dengan aroma lezat yang memikat. Suara alat masak terdengar tumpang tindih tidak karuan. Desisan minyak panas, serta teriakan singkat para kru dapur saling bersahutan. Kepala koki memberikan intruksi cepat dan tegas, sementara para koki pun fokus pada masing-masing pesanan.

Para pelayan mencatat pesanan dengan sigap, mengantarkan pesanan, dan memastikan tamu dilayani dengan baik. Keseluruhan situasi ini terlihat di sebuah restoran yang baru berdiri selama satu tahun belakangan ini. Mama Food sedang menjadi primadona baru untuk para pemburu kuliner berkat menu masakan nusantara yang ditawarkan.

Di jam makan siang seperti ini, kesibukan bertambah dua ratus persen. Tak hanya tamu yang datang untuk makan, tetapi sebagian juga sambil membicarakan pekerjaan.

“Bos, sepertinya kita memang butuh perluasan restoran ini agar bisa menampung banyak orang.” Salah satu chef yang tengah sibuk pun mengawali obrolan dengan pemilik restoran yang ikut berkutat di dapur.

Seorang perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan tata boga itu kini tengah membantu memasak dengan lihai di depan kompor, menggunakan alat masak dengan mahir, tentu saja juga cekatan.

“Dan jangan lupa tambah tenaga.” Yang lain menimpali.

Levana yang tengah mengaduk ayam teriyaki di wajan itu tersenyum. “Masih diusahan. Kalian sabarlah sebentar lagi.”

Mereka sudah mengeluh tentang masalah ini sejak beberapa bulan yang lalu karena pelanggan mereka semakin membludak. Tentu saja hal itu membuat mereka semua harus bekerja lebih ekstra. Namun, apalah daya jika mereka masih proses pencarian karyawan baru yang cocok menurut Levana.

Matahari hampir tenggelam ketika Levana memutuskan naik ke rooftop. Menikmati waktunya dengan menyesap coklat hangat selepas bekerja. Restoran akan tutup pukul sepuluh malam, dan dia meninggalkan dapur ketika aktivitas di dapur masih sibuk meskipun tak sesibuk beberapa jam lalu.

“Ibu mau pulang sekarang atau mau diambilkan sesuatu lagi?” tanya salah karyawan yang baru saja mengantarkan pesanan di salah satu meja yang ada di rooftop tersebut.  

“Oh, tolong minta buatkan sup ayam dan kentang goreng ukuran jumbo. Saya akan membawa pulang nanti.” Levana mendongak menatap karyawannya dan memberikan senyum kecil.

“Pasti untuk Mas Birru, Bu,” ucap sang karyawan.  

Levana tersenyum. “Benar. Pesanannya selalu sama. Kalau sudah selesai kasih tahu saya agar saya bisa langsung bawa pulang.”

Karyawan tersebut segera mengangguk sebelum meninggalkan rooftop. Pemanfaatan tempat di ruko itu menjadi salah satu hal yang menarik di Mama Food. Rooftop selalu menjadi salah satu tempat yang dipilih oleh pelanggan dari sore hingga malam karena mereka bisa menikmati pemandangan di bawah sana serta udara langsung dari alam.

Levana berdiri dan mendekati pagar pembatas. Berdiri di sana sambil melihat betapa sibuknya jalanan di bawah sana. Waktu ternyata begitu cepat berlalu. Ini sudah lima tahun setelah kejadian kelam malam itu.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya mengusir segala ingatan masa lalu yang ada di dalam kepalanya. Masa lalu itu tidak akan pernah kembali, tetapi memori kejadiannya terpatri dalam ingatan.

“Bu, sudah siap.” Lamunan Levana tercecer karena suara karyawannya. “Makanan sudah ada di kasir.”

“Oke, saya turun.” Angguknya.

Perempuan itu meninggalkan pagar pembatas roof top sebelum sesuatu terjadi. Kakinya yang tadinya melangkah itu seketika terhenti, terpaku di tempatnya berdiri. Seperti sebuah gerakan slow motion, dunia Levana seakan terhenti detik itu juga ketika dia mendapati seorang lelaki muncul dari arah ujung tangga.

Tatapan mereka bertemu. Hiruk pikuk tempat itu, obrolan-obrolan orang-orang di sekitarnya seolah menghilang begitu saja. Kini seperti ada sebuah lorong yang hanya ada Levana dan juga lelaki itu. Lelaki yang dia tinggalkan lima tahun lalu, Galen.

Lelaki yang sudah dia berikan luka dalam tanpa alasan. Lelaki yang ditinggalkan di titik terendah hidupnya. Juga, lelaki yang masih dicintainya sampai detik ini.

Kini, lelaki itu ada di depannya dengan ekspresi dinginnya. Menatapnya seakan mereka tidak pernah terlibat sebelumnya. Dunia ini begitu luas. Levana sudah mencoba berlari jauh dan berusaha untuk tidak lagi bersinggungan dengan Galen atau keluarga lelaki itu. Namun, takdir seakan tengah mempermainkannya.

“Pak Galen sudah datang.” Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba muncul dari belakang Levana dan mendekati Galen, membuat lelaki itu memutus tatapan mereka yang sempat terpatri beberapa detik lalu.

Galen mengangguk dan mengulas senyum kecil di bibirnya. “Maaf sudah menunggu. Saya baru saja meeting dadakan di kantor dan harus bersabar karena macet.” Suara berat itu masih sama seperti lima tahun lalu. Wajahnya bahkan semakin tampan seiring bertambahnya usia. Galen, terlihat semakin matang.

“Tidak masalah, Pak. Saya juga belum lama datang. Mari, Pak. Meja kita ada di sana.” Lelaki yang bertemu dengan Galen itu menunjukkan arah di belakang Levana.

“Terima kasih.”

Galen dan lelaki asing itu berjalan semakin mendekat. Degup jantung Levana semakin menggila, udara di sekitarnya semakin menipis, bahkan perempuan itu harus menahan napas ketika Galen melewatinya yang masih berdiri kaku di tempatnya. Aroma tubuh lelaki itu menguasi indera penciuman Levana ketika dia kembali meraup oksigen di sekitarnya. Aroma Galen seperti sebuah tamparan keras tepat di wajahnya. Wangi itu berubah. Galen sepertinya sudah tidak lagi menggunakan parfum yang disukai oleh Levana.

Tentu saja Galen akan membuang semua kenangannya bersama dengan Levana setelah perempuan itu meninggalkanya dengan cara yang sangat menyakitkan.

Hal itu mau tak mau membuat Levana sadar, jika lima tahun berlalu dan sudah mengubah semuanya. Dirinya saja sudah berjalan sampai sejauh ini. Apalagi Galen yang memiliki segalanya.

Dia mencoba untuk berpegangan pada kursi yang ada di sampingnya ketika merasa kakinya sedikit bergetar. Menyadarkan dirinya jika keputusannya lima tahun lalu itu adalah keputusan yang tepat. Lihat saja, Galen bahkan terlihat hidup dengan baik sekarang.

“Ibu baik-baik saja?” Karyawannya yang melihat Levana terdiam tak bergerak itu mendekat. “Ibu sakit? Ibu terlihat pucat.” Levana dipaksa untuk sadar dan kembali kepada realita.

Menarik napasnya panjang, Levana mencoba untuk mengumpulkan kepingan-kepingan kesadaran yang beberapa waktu lalu tercecer. Dia lantas menutup matanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan karyawannya.

“Saya baik-baik saja. Agak sedikit pusing tadi. Saya akan turun sekarang.”

Buru-buru, Levana melangkah menjauh dari meja tersebut tanpa menoleh ke belakang. Dia mencoba terus mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terbawa arus. Hubungannya dengan Galen sudah berakhir lima tahun yang lalu. Dia sendiri yang memilih mundur dan mencari ‘kebahagiaannya’ sendiri.

Lantas, benarkah dia benar-benar bahagia? Entahlah. Levana selama ini hanya mencoba untuk tetap melanjutkan hidup tanpa berpikir hal buruk.

‘Dia sudah bahagia sekarang. Dia juga terlihat lebih baik dari sebelumnya. Setelah kepergiannya, lelaki itu pasti sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan.’

Levana terus mengatakan itu di dalam dirinya sampai dia masuk ke dalam mobil. Kedua tangannya saling meremas dan mencoba meredam kegugupan.

Ketukan pintu mobilnya membuat Levana menoleh. Seorang karyawan berdiri di samping mobilnya.

“Ibu, pesanannya ketinggalan.”

Hampir saja. Kalau dia lupa, sudah bisa dipastikan, Birru akan merajuk kepadanya. “Terima kasih.”

Memilih segera meninggalkan restoran, Levana harus melupakan kejadian tadi dan melenyapkan dari ingatannya. Anggap saja pertemuan yang baru saja terjadi itu hanyalah sebuah halusinasi sesaat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 90

    Fajar menemui cucunya tanpa membawa apa pun di tangannya. Baru pukul setengah delapan malam ketika dia baru saja sampai di rumah Galen. Birru belum tidur dan dia masih asyik bersama dengan Dante di rumah sambil belajar.Kepalanya mendongak ketika Fajar datang, lalu tak ada sapaan yang keluar dari mulutnya, bocah itu menunduk kembali pura-pura sibuk. Fajar tidak protes karena dia tahu kalau cucunya itu belum ‘berdamai’ dengannya.“Mas Birru belajar apa?” tanya Fajar setelah itu. Duduk di samping Birru dan mulai pendekatannya.“Baca aja.” Meskipun singkat, tetapi tetap menjawab.“Mas Birru, Opa barusan dari rumah sakit. Mas Birru nggak mau tanya keadaan Mama?” Itu suara Daren. Sedikit membantu agar hubungan kakek dan cucu itu bisa lebih baik.Birru menatap Denta, tetapi tak acuh dengan Fajar. Suaranya pun tidak keluar sama sekali. Dia hanya diam. Nyatanya beberapa saat lalu dia begitu mengkhawatirkan ibunya yang berada di rumah sakit.Sejak pulang sekolah dia dikasih tahu oleh Bibi kala

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 89

    Ruang keluarga kediaman Fajar dikelilingi keheningan yang mencekam. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah sampai itu hanya diam tak mengatakan apa pun. Retno tak menjelaskan sesuatu, begitu juga dengan Fajar yang tak menanyakan sesuatu.Keduanya hanya menatap ke arah yang sama dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Bisa kita buat kesepakatan, Ma.” Keheningan itu akhirnya berakhir dengan Fajar yang lebih dulu berbicara. “Setidaknya agar kita nggak terus-menerus berselesih dan bisa mengakhirinya.”Fajar sudah menyerah dengan kehidupan sebelumnya yang membuatnya dihinggapi rasa bersalah yang begitu besar. Sekarang dia hanya ingin kedamaian. Hanya kedamaian di sisa usianya yang sudah semakin menua.“Gia ingin tinggal di dekat Galen dan kami sedang mencari rumah yang barangkali akan dijual.” Meskipun itu belum final, tetapi Fajar sengaja memancing istrinya. Terbukti, perempuan tampak tidak terima. “Mungkin nanti sesekali aku juga akan menginap di sana agar dekat dengan cucu-c

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 88

    “Ibu, ada Bu Retno datang.”Laporan itu membuat Levana yang memejamkan matanya itu sontak terbuka. Dia sedang berbaring di kursi malas di teras belakang rumahnya. Sejak dia tak bisa menghirup aroma masakanan yang kuat, dia tak lagi datang ke restorannya.Galen meminta Yana untuk menangani semuanya dan tentu saja perempuan itu melakukannya dengan baik. Kegiatan Levana sekarang tidak jauh-jauh dari membaca buku, atau berbaring santai di rumah.“Persilakan saja masuk, Bik.” Suaranya terdengar lemah.“Mau saya bantu jalan, Bu?” tawar Bibi setelah itu.“Nggak usah. Saya bisa kok.”Kehamilan Levana kali ini benar-benar diuji. Setiap makanan yang masuk ke dalam perut pun keluar lagi tak lama setelah itu. Suapan ayahnya hanya mempan malam itu saja dan selanjutnya tetap saja Levana memuntahkan makanannya.Galen sekarang pun terkadang hanya bekerja sebentar karena sisa waktunya digunakan untuk menemani sang istri di rumah. Ya, sekarang tidak ada pengendali apa pun dari Galen dan membuatnya beba

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 87

    “Papa udah menyadari kesalahan Papa dan itu sudah cukup. Sekarang Papa bisa mencoba untuk memperbaiki semuanya.” Gia ikut menatap ke arah Birru yang tampak bahagia bermain dengan Dante yang mengangkatnya seperti pesawat. “Birru hanya anak-anak yang hatinya masih sangat lembut. Aku yakin dia akan luluh.”“Ya. Terima kasih sudah mendukung Papa.”Fajar hanya mengangguk. Lalu berlalu membawa Naka yang masih ada di gendongannya mendekati Birru. Di sana juga ada suami Gia yang duduk santai sambil menatap Birru.“Papa,” sapa lelaki itu dan bergeser agar ayah mertuanya bisa duduk di sampingnya.Fajar mendaratkan bokongnya di samping Heydar dan menurunkan Naka. Naka langsung berlari mendekati Dante dan meminta diterbangkan seperti Birru. Dante melakukannya dan Birru tertawa sambil bertepuk tangan melihat adiknya berteriak senang.Senyum Fajar tak bisa ditahan. Melihat rukunnya dua sepupu itu perasaannya menghangat. “Mereka bahagia banget,” komentarnya. “Apa pertama kali mereka bertemu juga sep

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 86

    “Jadi sekarang, diam-diam Papa sudah berdamai dengan Galen dan istrinya?” Lemparan pertanyaan itu dari Retno yang sudah menunggu kedatangan sang suami.Perempuan paruh baya itu duduk di sofa ditemani sepi dan jantung yang bertalu kuat. Sejak tadi dia sudah menunggu Fajar berdiri di depannya karena dia ingin mengonfrontasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.Retno menoleh kepada Fajar yang terdiam di tengah ruangan sebelum dia melangkahkan kakinya. Fajar duduk di sofa yang sama sambil melepas dasi yang membelit kerah bajunya. Tarikan napasnya panjang sebelum dihembuskan keras.“Udah kemakan mulut manis Levana?” tuduhnya tak main-main.Fajar tidak marah, ia justru menjawab dengan santai. “Aku yang lebih dulu mendekati mereka dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat di masa lalu,” akunya. “Aku udah nggak bisa lagi mejauhi mereka. Terutama Birru. Aku udah nggak bisa lagi menganggap dia nggak ada.”“Semudah itu Papa luluh dengan mereka?”“Mudah? Apa selama ini nggak cu

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 85

    Pelukan Galen mengerat ketika Levana seakan terusik dalam tidurnya. Malam sudah larut, tetapi Galen lagi-lagi tak mampu memejamkan matanya. Ada banyak hal yang dipikirkan dan salah satunya adalah tentang perubahan sikap ayahnya.Ia percaya kalau ayahnya memang benar-benar sudah berubah, tetapi itu tak serta merta membuatnya merasa tenang. Entah bagaimana reaksi ibunya nanti saat sang ayah memutuskan untuk berdamai dengannya.Keesokan harinya, pagi sekali, bel pintu rumah terdengar. Masih pukul setengah tujuh dan di lantai satu disibukkan oleh kegiatan para asisten rumah tangga. Aroma makanan sudah tercium sampai keluar rumah.“Bapak Fajar.” Pintu terbuka dan Bibi terkejut atas kedatangan ayah Galen tersebut. “Mari silakan, Pak.”Fajar hanya mengulas senyum tipis sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapannya mengitari ruangan dan atmosfernya masih sama seperti sebelumnya. Fajar dulu sesekali juga datang ke rumah tersebut.“Bapak mau dibuatkan kopi atau teh?” tanya Bibi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status