LOGIN“Seharusnya kamu menggunakan kontrasepsi, Levana. Seharusnya kamu tidak mengandung anak Galen.”
Pernikahan Levana dan Galen sudah berusia dua tahun ketika Levana positif hamil. Setelah diam-diam dia menggunakan kontrasepsi tanpa sepengetahuan Galen, akhirnya dia meninggalkan barang itu karena dia ingin segera hamil. Mereka sudah tinggal berdua di sebuah rumah dua lantai yang berhasil dibeli Galen dengan uangnya sendiri.
Tak hanya itu, Galen juga sudah menjadi wakil ayahnya sehingga uang yang dia hasilnya lebih banyak dari sebelumnya. Dia juga mendapatkan penghasilan lain dari saham yang dimiliki. Itulah kenapa dia berhasil memiliki rumahnya sendiri yang kini ditempati bersama dengan istri tercintanya.
“Saya sudah pernah bilang. Kamu tidak layak hamil dan melahirkan keturunan Wiraguna. Kamu hanya perempuan miskin!”
Retno saat itu benar-benar marah. Tatapan matanya tajam menusuk. Wajahnya bahkan sudah memerah karena amarah. Perempuan itu mendatangi Levana ketika Galen sudah berangkat ke kantor. Selalu seperti itu. Retno akan mengintimidasi menantunya ketika tidak ada putranya.
“Saya sudah pernah bilang. Gunakan kontrasepsi. Cegah kehamilanmu. Tapi, kamu berani melanggar perintah yang sudah saya buat!”
Beberapa jam setelah ijab qabul dilakukan, Retno memberikan sebuah pil kepada Levana. Dia mengatakan jika itu adalah kontrasepsi. Levana dilarang hamil terlebih dulu dan menunggu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Setelah pil, Retno sendiri yang membawa Levana ke dokter dan meminta kepada dokter untuk menyuntikkan kontrasepsi untuk Levana. Levana tidak memiliki pilihan lain selain hanya nurut. Retno selalu melemparkan ancaman kepadanya untuk membuat Galen menderita. Ya, Levana lagi-lagi hanya menurut demi Galen.
Keberanian itu akhirnya muncul ketika dia sudah tidak lagi tinggal bersama dengan mertuanya beberapa bulan lalu. Dia tak lagi pergi ke dokter untuk melakukan pencegahan kehamilan. Alhasil, dia mampu hamil dan usia kandungannya adalah tiga bulan.
“Maaf, Bu. Tapi Mas Galen sudah menginginkan anak dari saya.”
Itu bukan sebuah alibi yang dikatakan oleh Levana untuk mencari kebenaran. Sebelum mereka tinggal di rumah mereka sendiri, Galen sudah membicarakan tentang anak kepada Levana. Dia berharap istrinya bisa segera hamil, tetapi Galen tak menuntut yang berlebihan.
Dari sanalah, Levana memutuskan untuk tidak lagi KB. Levana tahu ibu mertuanya pasti akan marah, tetapi dia lebih memilih membuat suaminya bahagia. Hal itu terbukti ketika Levana positif hamil, Galen tampak bahagia luar biasa, dan itu cukup mampu membuat Levana menghadapi amukan ibu mertuanya.
“Omong kosong!” Retno membentak Levana dengan geram. “Seharusnya kamu tahu diri jika kamu tidak pantas, Levana. Kamu tidak pantas!”
Murka. Itulah yang terjadi pada Retno kala itu. Dia tak terima dengan keputusan yang diambil oleh Levana tanpa sepengetahuannya. Tidak seharusnya perempuan itu berani. Tidak seharusnya Levana mengkhianatinya. Sebab, semua keputusan yang diambil oleh anggota keluarganya harus atas izinnya.
Jika dia tak mengizinkan, artinya tidak bisa diterukan. Jika diizinkan, maka lanjutkan. Itulah yang selama ini terjadi dalam lingkup keluarga Wiraguna.
“Ibu mengatakan saya tidak pantas, tetapi bagaimana dengan Mas Galen? Kami saling mencintai dan dia bahagia atas kehamilan saya.”
“Gugurkan!” perintahnya telak yang membuat Levana mengencangkan kepalan tangannya. “Kelahiran bayi itu dari rahim perempuan miskin seperti dirimu hanya akan membuat masalah di masa depan. Hilangkah dia dari dunia ini atau kamu pergi meninggalkan Galen dan bawa bayi itu bersamamu.”
Reflek, Levana langsung memeluk perutnya sendiri seakan-akan takut terjadi sesutu dengan janinnya. Kepalanya menggeleng pelan tak menyangka jika ibu mertuanya sanggup mengatakan itu kepadanya.
“Saya tidak akan pernah melakukan itu.” Levana menolak cepat. “Saya tidak akan menyingkirkan janin saya, dan saya juga tidak akan meninggalkan Mas Galen sampai kapan pun. Tidak akan pernah!”
“Kamu menantang saya, Levana?” Suara rendah Retno itu seakan menusuk sampai ke tulang. “Kamu berani membuat masalah dengan saya?”
“Saya tidak bermaksud untuk menantang Ibu. Tapi, permintaan Ibu sudah kelewatan. Janin ini adalah anak Mas Galen. Darah dagingnya. Juga cucu Ibu ….”
“Saya tidak akan mengakui dia sebagai cucu.” Retno memotong ucapan Levana dengan teriakan. “Saya tidak akan pernah mengakui dia,” ulangnya. Pendar matanya tegas dan sengit. “Tapi baiklah kalau memang kamu bersikeras untuk mempertahankannya. Saya tidak akan melarang. Kamu juga harus ingat, saya bisa mengambilnya dari hidupmu. Pilihannya hanya dua. Lenyapkan dia, atau kamu akan meninggalkan Galen atas keinginanmu sendiri.”
Setelah mengatakan itu, Retno memutar tumitnya untuk pergi dari rumah putranya. Setiap langkah kakinya seakan penuh emosi yang membara.
Levana jatuh terduduk di sofa dengan tubuh bergetar. Dia tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh ibu mertuanya. Dia tak bisa menduga apa yang sudah dipersiapkan perempuan itu untuk kehidupannya.
Levana merasa ketakutan. Meskipun begitu, tak sekalipun dia mengatakan semua ancaman itu kepada suaminya dan memilih memendamnya sendiri. Dia hanya tidak ingin membebani Galen untuk hal-hal yang seharusnya bisa dia tangani sendiri.
Setelah ancaman itu, Retno tidak lagi muncul di hadapan Levana. Galen pun tidak pernah mengajaknya untuk pergi ke rumah orang tuanya. Pekerjaannya semakin banyak dan bahkan Galen pun harus pulang semakin larut.
Sampai suatu hari, Galen mengatakan sesuatu yang membuat Levana tercengang. “Perusahaan sedang krisis, Yang. Kami semua sedang berusaha untuk mengupayakan agar tidak ada PHK besar-besaran.”
Usia kandungan Levana saat itu sudah memasuki bulan kesembilan dan tak lama lagi bayi yang ada di dalam kandungannya akan lahir. Mendengar berita itu, tentu saja membuat keresahan Levana berkali lipat.
“Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ada berita mengejutkan seperti ini? Mas juga nggak pernah cerita apa pun sama aku.”
Demi Tuhan, Levana tidak mengerti apa pun sebelumnya. Dia pikir, Galen selama ini bekerja sampai malam karena memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia tak pernah menyangka jika perusahaannya mengalami krisis.
“Maaf, aku nggak tahu apa-apa tentang itu.” Levana melanjutkan.
“Nggak perlu minta maaf. Aku sengaja nggak bilang sama kamu karena aku nggak mau kamu kepikiran.” Galen tersenyum ketika mengelus perut Levana yang bulat. “Justru aku yang minta maaf karena aku sering pulang malam dan nggak bisa menemani kamu.”
Dua orang itu saling menguatkan ketika dilanda prahara yang menyakitkan. Namun, Levana merasa ada yang aneh dengan semua kejadian tersebut. Hanya saja dugaan itu tertelan di dalam hatinya. Jika dia mengatakan kepada Galen, itu hanya akan menambah beban pikiran lelaki itu.
Benar dugaannya. Kemelut perusahaan itu tidak kunjung berhenti sampai dia melahirkan. Di saat dia membutuhkan Galen berada di sisinya, lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya. Mengurus ini dan itu untuk menyelamatkan perusahaan yang hampir pailit. Sampai Retno kembali datang dan melontarkan semua kalimat yang membuat Levana akhirnya menyerah.
“Mama!” Ketukan di pintu kamar Levana membuyarkan semua ingatan akan masa lalunya. “Mama!” Suara itu berasal dari Birru yang ada di luar kamar.
Buru-buru Levana beranjak dari sofa yang didudukinya untuk membuka pintu kamarnya. Birru menghampur ke dalam pelukannya.
“Ada apa, Nak? Mimpi buruk?” tanya Levana kepada putranya.
“Mama, kata Suster, aku sebentar lagi akan ulang tahun.” Levana sudah membawa Birru duduk di atas ranjang. Ini sudah larut malam dan Birru terbangun hanya karena masalah itu.
“Benar. Birru sebentar lagi akan ulang tahun ke lima. Birru ingin kado apa dari Mama?”
Birru tampak berpikir sebelum menganggukkan kepalanya. “Birru ingin dibelikan papa, Ma.”
***
Fajar menemui cucunya tanpa membawa apa pun di tangannya. Baru pukul setengah delapan malam ketika dia baru saja sampai di rumah Galen. Birru belum tidur dan dia masih asyik bersama dengan Dante di rumah sambil belajar.Kepalanya mendongak ketika Fajar datang, lalu tak ada sapaan yang keluar dari mulutnya, bocah itu menunduk kembali pura-pura sibuk. Fajar tidak protes karena dia tahu kalau cucunya itu belum ‘berdamai’ dengannya.“Mas Birru belajar apa?” tanya Fajar setelah itu. Duduk di samping Birru dan mulai pendekatannya.“Baca aja.” Meskipun singkat, tetapi tetap menjawab.“Mas Birru, Opa barusan dari rumah sakit. Mas Birru nggak mau tanya keadaan Mama?” Itu suara Daren. Sedikit membantu agar hubungan kakek dan cucu itu bisa lebih baik.Birru menatap Denta, tetapi tak acuh dengan Fajar. Suaranya pun tidak keluar sama sekali. Dia hanya diam. Nyatanya beberapa saat lalu dia begitu mengkhawatirkan ibunya yang berada di rumah sakit.Sejak pulang sekolah dia dikasih tahu oleh Bibi kala
Ruang keluarga kediaman Fajar dikelilingi keheningan yang mencekam. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah sampai itu hanya diam tak mengatakan apa pun. Retno tak menjelaskan sesuatu, begitu juga dengan Fajar yang tak menanyakan sesuatu.Keduanya hanya menatap ke arah yang sama dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Bisa kita buat kesepakatan, Ma.” Keheningan itu akhirnya berakhir dengan Fajar yang lebih dulu berbicara. “Setidaknya agar kita nggak terus-menerus berselesih dan bisa mengakhirinya.”Fajar sudah menyerah dengan kehidupan sebelumnya yang membuatnya dihinggapi rasa bersalah yang begitu besar. Sekarang dia hanya ingin kedamaian. Hanya kedamaian di sisa usianya yang sudah semakin menua.“Gia ingin tinggal di dekat Galen dan kami sedang mencari rumah yang barangkali akan dijual.” Meskipun itu belum final, tetapi Fajar sengaja memancing istrinya. Terbukti, perempuan tampak tidak terima. “Mungkin nanti sesekali aku juga akan menginap di sana agar dekat dengan cucu-c
“Ibu, ada Bu Retno datang.”Laporan itu membuat Levana yang memejamkan matanya itu sontak terbuka. Dia sedang berbaring di kursi malas di teras belakang rumahnya. Sejak dia tak bisa menghirup aroma masakanan yang kuat, dia tak lagi datang ke restorannya.Galen meminta Yana untuk menangani semuanya dan tentu saja perempuan itu melakukannya dengan baik. Kegiatan Levana sekarang tidak jauh-jauh dari membaca buku, atau berbaring santai di rumah.“Persilakan saja masuk, Bik.” Suaranya terdengar lemah.“Mau saya bantu jalan, Bu?” tawar Bibi setelah itu.“Nggak usah. Saya bisa kok.”Kehamilan Levana kali ini benar-benar diuji. Setiap makanan yang masuk ke dalam perut pun keluar lagi tak lama setelah itu. Suapan ayahnya hanya mempan malam itu saja dan selanjutnya tetap saja Levana memuntahkan makanannya.Galen sekarang pun terkadang hanya bekerja sebentar karena sisa waktunya digunakan untuk menemani sang istri di rumah. Ya, sekarang tidak ada pengendali apa pun dari Galen dan membuatnya beba
“Papa udah menyadari kesalahan Papa dan itu sudah cukup. Sekarang Papa bisa mencoba untuk memperbaiki semuanya.” Gia ikut menatap ke arah Birru yang tampak bahagia bermain dengan Dante yang mengangkatnya seperti pesawat. “Birru hanya anak-anak yang hatinya masih sangat lembut. Aku yakin dia akan luluh.”“Ya. Terima kasih sudah mendukung Papa.”Fajar hanya mengangguk. Lalu berlalu membawa Naka yang masih ada di gendongannya mendekati Birru. Di sana juga ada suami Gia yang duduk santai sambil menatap Birru.“Papa,” sapa lelaki itu dan bergeser agar ayah mertuanya bisa duduk di sampingnya.Fajar mendaratkan bokongnya di samping Heydar dan menurunkan Naka. Naka langsung berlari mendekati Dante dan meminta diterbangkan seperti Birru. Dante melakukannya dan Birru tertawa sambil bertepuk tangan melihat adiknya berteriak senang.Senyum Fajar tak bisa ditahan. Melihat rukunnya dua sepupu itu perasaannya menghangat. “Mereka bahagia banget,” komentarnya. “Apa pertama kali mereka bertemu juga sep
“Jadi sekarang, diam-diam Papa sudah berdamai dengan Galen dan istrinya?” Lemparan pertanyaan itu dari Retno yang sudah menunggu kedatangan sang suami.Perempuan paruh baya itu duduk di sofa ditemani sepi dan jantung yang bertalu kuat. Sejak tadi dia sudah menunggu Fajar berdiri di depannya karena dia ingin mengonfrontasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.Retno menoleh kepada Fajar yang terdiam di tengah ruangan sebelum dia melangkahkan kakinya. Fajar duduk di sofa yang sama sambil melepas dasi yang membelit kerah bajunya. Tarikan napasnya panjang sebelum dihembuskan keras.“Udah kemakan mulut manis Levana?” tuduhnya tak main-main.Fajar tidak marah, ia justru menjawab dengan santai. “Aku yang lebih dulu mendekati mereka dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat di masa lalu,” akunya. “Aku udah nggak bisa lagi mejauhi mereka. Terutama Birru. Aku udah nggak bisa lagi menganggap dia nggak ada.”“Semudah itu Papa luluh dengan mereka?”“Mudah? Apa selama ini nggak cu
Pelukan Galen mengerat ketika Levana seakan terusik dalam tidurnya. Malam sudah larut, tetapi Galen lagi-lagi tak mampu memejamkan matanya. Ada banyak hal yang dipikirkan dan salah satunya adalah tentang perubahan sikap ayahnya.Ia percaya kalau ayahnya memang benar-benar sudah berubah, tetapi itu tak serta merta membuatnya merasa tenang. Entah bagaimana reaksi ibunya nanti saat sang ayah memutuskan untuk berdamai dengannya.Keesokan harinya, pagi sekali, bel pintu rumah terdengar. Masih pukul setengah tujuh dan di lantai satu disibukkan oleh kegiatan para asisten rumah tangga. Aroma makanan sudah tercium sampai keluar rumah.“Bapak Fajar.” Pintu terbuka dan Bibi terkejut atas kedatangan ayah Galen tersebut. “Mari silakan, Pak.”Fajar hanya mengulas senyum tipis sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapannya mengitari ruangan dan atmosfernya masih sama seperti sebelumnya. Fajar dulu sesekali juga datang ke rumah tersebut.“Bapak mau dibuatkan kopi atau teh?” tanya Bibi







