Rahasia Majikanku 8
Kami berdua memasuki garasi. Nyonya Vivian menaiki mobilnya dan menyalakan mesin. Aku pun menggantung tas di dinding dan memulai pekerjaan. Yakni, mengumpulkan pakaian kotor penghuni rumah. Entah berapa kali mereka berganti pakaian. Setiap hari selalu saja ada banyak cucian. Terkadang ada pakaian yang tak kukenali ikut tercuci mau tak mau. Pakaian itu telah tercampur di dalam keranjang mereka.
"Nur, kunci garasinya," teriak Nyonya Vivian dari mobilnya.
"Baik, Nyonya."
Suasana menegangkan bila kami hanya berdua di rumah. Tuan Felix tak banyak bicara. Sekali bicara, ia hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri ini. Mungkin rasanya lebih baik ia diam. Semoga hari ini ada petunjuk dan kesempatan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.
***
Nomor ponsel Nyonya Vivian telah kupindahkan ke ponsel android. Ternyata nomor itu langsung terhubung ke aplikasi Whats
Muncrat!Beberapa tusukan ia tikamkan oleh Nyonya Vivian tepat di dada sebelah kiri lelaki berbibir merah itu. Darah merah segar menyembur dari sana. Ia mengerang dan berlutut. Matanya melotot dan tangannya menggapai seperti minta pertolongan. Kaki ini terasa kaku. Tubuhku bergetar hebat dan rasanya ingin muntah. Tak lama, kulihat lelaki itu tampak tumbang dengan posisi menelungkup di lantai. Apa ia mati?Perempuan itu berdiri menjauh beberapa langkah dari tempatnya semula. Ia berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan. Pisau digenggamannya terhempas ke lantai. Ia balik badan dan menatapku dengan wajah panik."Nur, kau melihatnya?"Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku melihatnya. Mataku tak rabun apalagi buta. Perempuan itu menatap kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Lantai keramik yang putih telah memerah. Lelaki bertubuh kekar itu tumbang dengan beberapa tusukan di dada.
Nyonya Vivian sudah mengizinkan untuk pulang. Aku pun kembali memasukkan kain ke dalam keranjang. Kain yang tadi tak jadi disetrika. Saat mengangkat kain tersebut, aku lupa bahwa ponsel kuletakkan di sana hingga ponsel itu terjatuh ke lantai."Apa itu, Nur?" tanya Nyonya Vivian yang berjalan ke arahku. Rumah yang sepi membuat suara ponsel jatuh terdengar jelas. Apalagi perempuan itu masih duduk di meja makan."Ponsel saya terjatuh, Nyonya.""Apa ponselmu baik-baik saja?""Saya rasa begitu, Nyonya."Untung Nyonya Vivian tak curiga. Ponsel ini mati total saat kupungut dari lantai. Antara mati karena rusak dan kehabisan baterai. Kameranya terlalu lama menyala. Kemungkinan besar hanya kehabisan baterai saja. Ponsel ini tak sebagus saat pertama dibeli dahulu. Kondisinya sudah setengah uzur. Jadi harus hati-hati saat memakainya. Untung saja Harry mau menyerahkan. Semoga ponsel ini menangka
Sebagai teman yang telah berjasa mempertemukanku dengan Nyonya Vivian, aku tak mau memaksa Laila untuk bercerita. Ia pun tampak sangat terpukul saat mendengar ucapanku. Kuurungkan niat untuk menceritakan kejadian tadi siang pada Laila. Ini rahasia besar antara aku dan Nyonya Vivian. Ia tak perlu tahu. Meski ia pula yang membuatku terbawa-bawa dalam kasus besar ini. Tentu ia tak menyangka ini semua akan terjadi."Maafkan aku, Laila. Semoga saat tujuanmu tercapai, kau mau menceritakannya padaku.""Sedikit lagi, Nur. Sedikit lagi tujuanku akan tercapai.""Baiklah. Mana suamimu?""Dia ...."Air mata Laila jatuh lagi membentuk aliran sungai kecil dari pipi hingga sudut bibirnya yang merah alami tanpa sentuhan pewarna bibir itu. Ia mengulum bibir saat cairan bening itu nyaris melewati cela antara bibir atas dan bawah. Tangan kananku lantas terangkat dan menyeka pipinya."Ada apa
Mengapa Nyonya Vivian harus mengatakan bahwa suaminya sudah berangkat? Harusnya ia bisa memberi alasan yang lain. Ia bukan orang yang bodoh. Apa ia sengaja membuatku dihubungi oleh Laila? Ah, apa hubungannya. Tak mungkin begitu. Untung aku hanya menjawab tidak tahu. Semoga Laila percaya.Laila menutup telepon dengan sedikit mendengus. Ia pasti kesal sekali. Menunggu adalah hal yang membosankan. Kupikir Nyonya Vivian pergi ke toko perhiasannya. Ternyata ia tak ke sana. Setiap hari ada saja acaranya di luar sana. Andai aku jadi dia, apa mungkin aku akan seperti itu juga? Entahlah."Permisi, Nyonya."Kehadiran Baron yang tiba-tiba di hadapanku membuatku mengerjap menarik napas dan mengatur detak jantung yang tak beraturan. Bukan karena ada rasa yang berbeda, tetapi karena kehadurannya yang tiba-tiba bak setan di siang bolong."Kau membuatku kaget saja," ucapku seraya menghembus-hembuskan napas yang terasa sesak."Maaf, Nyonya."
Laila berjalan mendekat dengan perlahan ke arahku hingga jarak kami rapat. Ia menatap tajam ke dalam mataku. Tatapan yang aneh sekaligus menakutkan. Aku takut ketahuan."Tidak, Laila. Tuan Felix tak ada.""Mengapa mobilnya ada?""Aku ... aku tak tahu. Tadi Nyonya Vivian berkata bahwa aku hanya sendiri di rumah dan akan ada tukang kebun yang datang.""Tukang kebun?""Iya, namanya Baron. Apa kau mengenalnya?""Tidak."Aku mundur beberapa langkah agar napas ini tak tercium oleh Laila. Napas yang penuh kebohongan ini aromanya pasti sangat busuk. Akan mudah tercium bila posisi kami sangat rapat."Biasanya Baron bekerja satu kali dalam satu minggu. Hari ini Nyonya Vivian memintanya menemaniku agar aku tak takut bekerja sendirian.""Takut? Sejak kapan kau penakut?"Ya, Tuhan. Sepertinya aku telah salah bicara. Lidah ini tak biasa mengarang cerita. Aku yakin, suatu saat Laila akan mengetahuinya juga. Ia
"Masuklah, Laila. Kita bicara di dalam.""Tak usah, Nur. Sudah larut."Laila menolak masuk karena hari sudah larut malam. Padahal aku ingin bicara dari hati ke hati dengannya. Ia pamit pulang dengan raut wajah kecewa.Setelah pintu kukunci, aku pun balik badan hendak berjalan menuju kamar. Tanpa sadar, Ibu sudah berdiri di hadapanku. Kurasa ia mendengar pembicaraan kami tadi."Ada apa dengan Tuan Felix, Nur?""Entahlah, Bu. Aku lelah."Aku berlalu meninggalkan Ibu yang masih berdiri. Kulihat Ferdy dan Teddy sudah tertidur pulas. Semoga mereka selalu dilindungi dari segala marabahaya dan orang-orang yang berniat jahat.***Napasku terengah-engah. Jantungku berdegup kencang. Kaki tak kuat lagi untuk berlari. Namun lelaki yang di belakangku terus mengejar tanpa henti.Sesekali aku menoleh ke belakang. Dalam remang cahaya rembulan dapat kulihat pisau yang ia ayunkan.Entah siapa itu. Aku
"Kunci ini? Kunci ini untuk ... untuk pergi ke gudang. Tadi Baron menyuruhku menaruh arit."Nyonya Vivian menatapku curiga. Ia tak menanggapi. Setelah mengambil rangkaian kunci itu, ia pun menyuruhku pulang. Syukurlah."Bila ada yang menanyakan tentang Felix, kau jawab saja tidak tahu. Kau tahu itu, Nur?""Baik, Nyonya. Aku juga mau membahas itu.""Pulanglah.""Iya, Nyonya."Rencana untuk menghapus jejak di gagang cangkul, gagal sudah. Mungkin bisa kucoba esok hari. Bagaimana kabar Felicia sekarang? Apa ia menemukan alamatku? Anak itu membuatku penasaran saja.***Dari halaman, kulihat Ibu mondar-mandir seperti orang gelisah di teras. Langkahnya terhenti saat melihatku. Apa Ibu sudah bertemu Felicia?"Nur, untung kau cepat pulang. Anak itu ....""Ada apa, Bu? Anak yang mana?""Anak perempuan berseragam sekolah, kulit putih, rambut lurus itu anak majikanmu, bukan?""Felicia?"
"Nur, Felicia tadi menjerit setiap kali buang air kecil. Katanya sakit sekali."Tulangku ikut ngilu mendengarnya. Pasti organ anak itu telah robek. Jadi terasa sakit tiap kali terkena air seni yang hangat. Aku juga merasakan itu saat malam pertama dulu. Anak itu masih sangat kecil. Pasti sakitnya luar biasa. Untung ia masih terlihat baik-baik saja."Dari mana Ibu tahu kalau dia buang air kecil?""Dia yang bilang padaku.""Apa dia keluar rumah hari ini, Bu?""Dia tak mau keluar kamar. Kecuali untuk ke kamar mandi.""Syukurlah. Aku takut anak itu pergi lagi dan menjadi korban pelecehan di luar sana."Sebenarnya aku khawatir bila anak itu terus di sini. Tetangga pasti heran melihatnya. Wajahnya berbeda dengan kami. Badan kami pendek-pendek dan pesek, sedangkan ia mancung dan ruas tulangnya panjang. Dasar anak orang kaya. Andai gizi anakku tercukupi, pasti Ferdy dan Teddy bisa tinggi juga."Nona, Ibu saya bilang, kau me