MasukHai, semua... terima kasih sudah membaca. Jangan lupa, like, ulasan dan votenya ya. Terima kasih ^^...
Tok! Tok! Tok! Anthony mengetuk pintu apartemen milik Anetta dengan tiga ketukan pelan, seperti seseorang yang tidak ingin mengganggu, tapi juga tidak ingin terlihat ragu. Di tangan kirinya ada tabung blueprint revisi Skyline Tower, di tangan kanannya ada sesuatu yang bahkan ia sendiri belum siap sebut sebagai keberanian untuk kembali hadir sebagai ayah, bukan sebagai laki-laki yang kehilangan. Ceklek! Pintu terbuka. Anetta muncul dengan kaus longgar dan rambut diikat sederhana. Bukan tampilan kantor, bukan tampilan formal seperti biasanya dan karena entah mengapa, justru tampilan itu membuat dada Anthony sedikit menegang. “Masuk,” ucap Anetta lembut. Mempersilahkan Anthony untuk masuk ke dalam. Anthony menunduk sedikit, refleks baru yang muncul beberapa minggu belakangan. Ia pun melangkah masuk. Tidak ada yang berubah dari interior unit itu. Masih sama persis seperti terakhir kali Anthony datang. Sehingga membuat Anthony mulai merasakan rileks, mengurangi ketegangan barusan.
Hari ketika Anetta menolak ciumannya, membuat Anthony menjadi berubah. Bukan karena penolakan tersebut tapi lebih ke tatapan mata Anetta sudah tidak ia temukan lagi seperti dulu wanita itu menatapnya. Dunia Anthony tidak runtuh saat itu. Tidak juga ia hadapi dengan dramatik. Juga tidak ada teriakan, pecahan kaca, atau ancaman dingin yang sering melekat pada citra seorang Anthony. Namun yang ada justru keheningan. Sebuah keheningan yang begitu kejam. Anthony duduk di ruang kerjanya. Punggungnya tegak, tangan terkepal ringan di atas meja, mata amber milik Anthony terpaku pada potret Anetta saat mereka wisuda kelulusan dulu. Tampak paras cantik Anetta bertambah dua kali lipat dari aslinya, dengan tubuh menggunakan balutan kebaya. Dan yang paling tidak bisa Anthony lupakan, senyum manis nan tulus tersungging jelas di sudut bibir Anetta saat mereka berdua berfoto bersama. Sorot mata Anetta menunjukkan dengan jelas, bagaimana gadis itu begitu mencintai Anthony. Namun.... sorot mata pe
Blam!! Suara pintu ruangan CEO Reynard Group tertutup rapat. Netra hazel Bram spontam beralih atensi melihat Anetta keluar dari ruang CEO Saat ini, koridor lantai 15 terasa lebih dingin dari AC-nya. Atau mungkin itu cuma efek samping dari laki-laki setinggi Bram Wiratama yang berdiri di ujung lorong dengan kedua tangan disilangkan, seolah sedang menimbang keputusan penting, padahal ia hanya menimbang emosinya sendiri. Padahal ia datang kesini untuk menandatangani berkas proyek. Ya, sesederhana itu. Tapi langkahnya berhenti ketika pintu ruang CEO terbuka. Anetta keluar. Dan dunia yang tadinya tenang, mendadak langsung bergerak satu tingkat lebih cepat. Anetta tampak profesional, rapi, elegan seperti biasa. Tapi Bram melihat detail kecil yang mungkin orang lain lewatkan. Nafas Anetta terlihat sedikit berat. Bahunya menegang lebih dari biasanya. Dan jari kanan Anetta masih menyisakan bayangan tinta—bekas tanda tangan.Bram tahu apa artinya itu. Ia tahu siapa yang ada di dalam ru
"Ayo kita bicara." Ajak Bram pada Anetta, setelah Dion baru saja berangkat sekolah di jemput oleh Karin. Anetta mengangguk pelan, sambil kakinya melangkah mengikuti arah Bram yang sudah terlebih dahulu duduk di di sofa. Netra hazel milik Bram, tiada henti mengawasi tiap gerak-gerik dari wanitanya itu, bukan sebagai masa lalu…bukan sebagai orang yang seharusnya ia jaga jaraknya. Tapi sebagai perempuan yang ia cintai—dengan cara yang tidak lagi bisa ia tutupi. "Kenapa, hm" tanya Anetta canggung saat menyadari dirinya tak luput dari pandangan sang suami sirinya. Seketika Anetta menelan napas, sembari bergerak salah tingkah. Gerakan Anetta itu kecil, tapi Bram melihat semuanya. Melihat bagaimana bahu Anetta turun sedikit, bagaimana jemarinya mengencang di tepi counter, bagaimana pertahanannya bocor pelan-pelan. Dan itu…terlalu jujur. Cepat, Bram beranjak dari sofa, lalu berjalan pelan mendekati Anetta. Bram pun maju setengah langkah. Bukan langkah besar. Bukan pula langkah beran
Pagi itu hujan turun tipis, hujan yang tidak cukup deras untuk menenangkan, tapi cukup membuat kepala seorang Bram Wiratama terasa berat. Bram tidak tidur sejak semalam.Kejadian malam tadi, setelah bentrokan dengan Anthony, ia malah menghabiskan waktu di mobil sampai fajar, bukannya kembali ke penthouse. Sepanjang malam, Bram terus mengulang voice note yang ia kirim, bahkan memandangi berulang foto yang Anetta kirim, serta mengulang kalimat itu: “Ini harusnya ada di mana?” Bram tidak bisa menjawabnya semalam. Namun ia sadar, jika ia tidak bisa diam juga. Tepat pukul 6 pagi, Bram akhirnya memutar kunci mobil dan mengarah kembali ke apartemen Anetta. Ia tidak punya alasan jelas. Tidak juga punya rencana. Tidak tahu apakah itu tindakan bodoh atau tindakan jujur. Yang Bram tahu cuma satu, ia ingin memastikan Anetta baik-baik saja. Persetan dengan segala hal… ia tidak peduli lagi, apakah itu melanggar jarak yang ia sendiri ciptakan?? Yang Bram tau saat ini adalah perasaan cinta sud
Bram duduk di kursi belakang mobilnya, mesin belum dinyalakan. Lampu parkir redup, membuat kabin terasa seperti ruang pengakuan dosa. Ponselnya masih ada di tangan, dengan layar menyilaukan mata yang sudah nyaris merah. Bram tahu jika batasnya sudah jebol. Ia menunggu tiga hari. Tiga hari yang rasanya seperti tiga tahun. Dan malam ini… Dia kalah. Jempol Bram menekan ikon voice note. Tak ada skrip. Tak ada perisai. Tak ada logika yang cukup kuat buat ia menahan. Rekaman berjalan. Suara Bram keluar, rendah… pecah… serak… dan jujur sampai telanjang: “Netta… kamu nggak harus bales. Aku cuma—aku cuma pengen dengerin suara kamu. Bahkan satu kata pun cukup. Aku cuma… kangen.”Bram berhenti sejenak. Napasnya mulai bergerak tidak stabil, seperti menahan sesuatu yang hampir bocor. “Aku tahu aku yang minta jarak. Tapi ternyata aku bodoh banget. Aku kira bisa kuat. Ternyata enggak. Setiap malam aku malah nunggu kamu nge-chat hal remeh, Net. Misalnya ngirim foto si Dion kek… komplain soal







