Feby tidak menjawab panggilan Naufal. Dia justru menggeram tertahan dan menatap kesal pada Azka yang begitu memperhatikan Reva. Pikiran Feby terlalu dipenuhi kemarahan terhadap Reva, sampai tidak menyadari Azka sudah berjalan menghampirinya.
“Di mana sopan santun kamu, Feby?!”
Feby terkesiap kaget mendengar bentakan Azka.
“Kamu seharusnya mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk ke ruangan saya!”
Tubuh Feby membeku. Dia terkejut melihat ekspresi marah Azka sedikit berbeda dari biasanya. Jauh lebih menyeramkan.
“Sa-Saya minta maaf, Pak.”
Azka berdecak kesal. “Minta maaf sama Reva. Kamu sudah membuat keningnya terluka.”
“Apa?!” Nada bicara Feby meninggi. Dia tidak terima disuruh minta maaf pada Reva. Spontan saja, Feby melempar tatapan tajam menusuknya kepada Reva.
Rupanya Reva menyadari tatapan mata Feby. Dia langsung menunduk ketakutan.
“Pak Azka, ini salah
“Lina, kamu tidak penasaran?”Lina menoleh dan sedikit bingung dengan pertanyaan Naufal. “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”“Hubungan antara Pak Azka sama Reva. Asal kamu tahu, sebelumnya Pak Azka yang menyuruhku datang ke rumah Reva dan menawarkan pekerjaan sebagai office girl padanya,” ungkap Naufal. “Sejak saat itu, aku benar-benar penasaran dengan hubungan mereka.”Lina terkejut atas pengakuan Naufal. “Sejujurnya, aku juga penasaran. Tapi, aku tidak mau ikut campur. Itu urusan Pak Azka,” sahutnya. Lina terdiam sejenak, lalu tertawa.“Daripada memikirkan hubungan Pak Azka dan Reva, aku lebih penasaran bagaimana ekspresi Feby saat meminta maaf pada Reva.” Tawa Lina semakin keras. “Pasti lucu sekali.”Naufal tidak habis pikir interaksi Lina dan Feby seperti kucing dan anjing. Setiap kali bertemu pasti ada saja pertengkaran yang melibatkan mereka.
Terlalu larut dalam pekerjaannya, Azka tidak sadar bahwa sekarang sudah waktunya jam pulang kantor. Dia sempat melirik sekilas jam digital di atas meja, kemudian mematikan layar komputer. Azka berdiri sambil mengambil jas formalnya yang tersampir di kursi.Ketika Azka sedang memakai jas, pintu ruangannya terbuka.“Anda mau pulang sekarang, Pak?”Azka hanya menjawab dengan anggukan pelan. Melihat wajah lelahnya, Naufal enggan bertanya lebih lanjut. Dia langsung memberi jalan pada Azka dan mengikutinya dari belakang.Suasana kantor sudah mulai sepi. Hanya tersisa petugas keamanan yang masih berkeliling, juga beberapa karyawan yang terpaksa lembur karena pekerjaan mereka.TING!Tepat saat pintu lift terbuka, Azka dikejutkan dengan keberadaan Reva yang masih mengenakan seragam office girl. Gadis itu terlihat membawa nampan dengan beberapa cup mie instan di atasnya.Reva spontan membungkuk begitu melihat Azka d
Begitu Azka memberitahu Aris, dia sudah memperkirakan reaksi adiknya tersebut. Mata Aris membelalak, disusul mulutnya yang menganga lebar.“Kamu ... sudah menemukannya?” tanya Aris tak percaya.Azka mengangguk. “Sudah beberapa hari dia bekerja di perusahaan kita sebagai office girl,” lanjutnya.“Benarkah?” Aris berteriak kaget. “Kakak, kenapa kamu tidak memberitahu kalau sudah menemukan keberadaan Kak Reva?”Azka hanya menanggapi dengan cengiran khasnya.“Kamu curang, Kak! Aku juga sangat merindukan Kak Reva,” protes Aris kecewa.Menanggapi reaksi adiknya, Azka hanya tersenyum tipis. Sorot matanya perlahan berubah sendu. “Meski kamu bertemu dengannya, dia tidak akan mengenalimu.”“Apa maksudmu?” Aris bertanya karena tidak mengerti ucapan Azka.Kepala Azka tertunduk. “Dia ... tidak mengenaliku. Ris.”Dahi Aris mengernyit heran.
Seminggu berlalu sejak Reva bekerja di Adinata Group. Dia mulai menikmati pekerjaannya dan menyukai suasana kantor. Reva berhasil menghilangkan kecanggungan dengan karyawan lain seperti saat pertama kali bekerja. Dia juga mengakrabkan diri dengan rekan kerjanya, terutama Tika dan Sekar.Reva senang memiliki teman baru seperti Tika dan Sekar. Mereka selalu membantu dan membimbingnya saat bekerja. Sesekali mereka akan menggoda Reva soal Azka.Bicara soal Azka, Reva masih belum bisa menghilangkan kegugupannya tiap kali berhadapan dengan pria itu. Debaran jantung Reva semakin ke sini semakin kencang, bahkan saat dia hanya melihat Azka dari kejauhan.“Itu namanya cinta, Reva. Kamu pasti sudah jatuh cinta pada Pak Azka.”Ada kalanya Reva menyesal karena sudah menceritakan masalah itu kepada Tika dan Sekar. Mereka justru semakin bersemangat mendukungnya bersama Azka.“Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan. Pak Azka
“Kamu bilang apa?!”“Lina memberitahu saya kalau dia menemukan Reva pingsan di toilet, Pak. Sekarang Reva sudah dibawa ke—”Dalam hitungan detik, Azka sudah melesat keluar meninggalkan ruangan.“—klinik kesehatan.”Naufal menghela napas melihat kepergian Azka. Meski dua kata terakhir tidak didengar, dia tahu Azka sudah pergi ke sana untuk melihat Reva. Pandangan Naufal beralih pada klien perusahaan mereka. Ekspresi pria itu terlihat kebingungan sekaligus penasaran.“Apa semua baik-baik saja?”Naufal mengangguk dan menatap klien mereka, Erick, dengan penuh rasa bersalah. “Saya minta maaf atas ketidaknyamanan Anda. Pak Azka mendadak ada keperluan mendesak.”“Tidak apa-apa. Kebetulan urusan saya dengan Pak Azka sudah selesai. Saat Anda datang, kami sedang mengobrol santai.”Melihat senyuman yang terukir di Erick, hati Naufal menjadi lebih tenang. D
Aris baru saja turun dari mobilnya dan berjalan memasuki rumah. Ketika sampai di ruang tamu, dia terheran melihat tiga orang pelayan secara bergantian keluar-masuk kamar sisi barat di lantai satu. Hal yang membuat Aris semakin penasaran adalah barang yang mereka bawa. Mulai dari baskom berisi air, handuk, hingga setelah piyama sutra warna merah untuk wanita.“Ada apa ini?” gumam Aris kebingungan.“Mas Aris?”Suara khas penuh kesopanan itu membuat Aris menoleh. Dia melihat Heri, kepala pengurus rumah, sudah berjalan menghampirinya. Langkah pria itu terlihat terburu-buru.“Maaf, saya tidak menyambut Mas Aris. Saya tidak tahu kalau Mas sudah pulang,” tutur Heri penuh penyesalan.“Tidak masalah.” Aris kembali memperhatikan pelayan yang memasuki kamar itu. “Semua orang sepertinya sedang sibuk sampai tidak menyadari kepulanganku.”Heri mengangguk lagi dan secara tidak langsung membenarkan
Azka sudah mengganti pakaiannya dengan setelan santai. Dia mengenakan kaos warna abu-abu berlengan panjang yang dengan bawahan celana panjang warna hitam.Untuk kesekian kali, Azka memasuki kamar Reva. Gadis itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan bangun. Azka mulai frustrasi dan semakin mengkhawatirkan kondisinya.Dengan telaten, Azka mengganti kompres di kening Reva. Sesekali dia memeriksa suhu tubuhnya. Panas Reva berangsur turun meskipun tubuhnya masih terasa hangat.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dan membuat Azka terkesiap. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Wajah Azka tampak serius begitu membaca nama kontak Naufal di layar.“Halo?”“Maaf, Mas. Aku mengganggu waktumu sebentar.”Azka melirik Reva sekilas. “Tidak apa-apa. Kamu sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTVnya?”Azka tersenyum mendengar laporan yang disampaikan Naufal.“Bagus. Tolong kamu simp
“Kamu harus berhati-hati dengan Feby.”Peringatan yang dilontarkan Azka membuat Reva mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa, Mas?” tanyanya bingung sekaligus penasaran.“Demi kebaikan dan keselamatanmu,” jawab Azka. Dia mencoba memberi pemahaman tentang Feby. “Apa Feby mengatakan sesuatu ketika kalian bertemu?”Reva ragu apakah harus memberitahu Azka soal ancaman Feby. Setelah lama berpikir, dia memutuskan untuk tetap merahasiakannya.“Tidak, Mas.”Azka menaikkan sebelah alisnya. “Kamu yakin?”Reva mengangguk. Dia refleks menunduk sambil memainkan jemari tangan karena terus dipandangi Azka penuh selidik.Azka tahu bahwa Reva menyembunyikan sesuatu tentang Feby. Dia hanya bisa menunggu Reva menceritakannya sendiri dengan jujur padanya.Azka sadar, Feby memiliki perasaan khusus padanya. Namun, dia hanya menganggap Feby sebagai karyawannya, tidak lebih. Sayangnya