Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba.
"Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah. "Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan. "Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan. Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva. Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih, kamu udah mikirin ini sebelumnya??" "Lah kamu ngeledekin aku, nggak percaya kalau aku selalu mikirin kamu. Kamu tuh yang nggak mikirin aku dan nggak serius sama aku," sungut Nathan. Ternyata dia juga bisa kesal. "Kok gitu ngomongnya sih, di lihat dari apanya aku nggak serius sama kamu??" tanya Reva kesal juga. "Kamu nggak pernah manggil aku 'Sayang' kamu selalu manggil aku dengan sebutan biasanya," balas Nathan. Reva malah tertawa apalagi tak ada siapa-siapa di rumah dan hanya ada Tina yang sedang bermain ia tak kawatir akan di marahi oleh kedua orang tuanya. "Malah asyik ketawa, memangnya aku lucu apa?! Bisa diam nggak, Rev, tawa kamu kenceng banget nanti kalau ada yang curiga gimana?? Lah tuh cewek di bilangin malah kayak di perintah, aku datangi kamu ku cipok kamu biar berhenti ketawa." Mendengar kalimat Nathan yang terakhir Reva akhirnya menghentikan tawanya. "Up, maaf deh." Reva menutup mulutnya dengan telapak tangan agar tawanya bisa mereda. Meski hanya vidio call Nathan sangat gemas melihat tawa Reva, ingin sekali ia membekap mulut Reva yang terus terbuka itu. "Jangan marah, mas Nathan sayang, nanti tampannya berkurang lhoo," goda Reva membuat Nathan memalingkan wajahnya ia terlihat malu dan salah tingkah. *** Malam pergantian tahun telah tiba, banyak orang yang heboh ingin merayakannya sekedar menyalakan petasan seperti yang dilakukan para pemuda di desa Nathan. "Mbak Reva nanti aku ke alun-alun nonton dangdut, kamu mau ikut apa nggak??" tanya Dani adik sepupu Reva. "Sama siapa aja, aku nggak yakin deh Bapak sam Ibu ngizinin," balas Reva dengan cemberut. Ingin sekali ia ikut apalagi Nathan juga akan keluar. "Mas Faiz sama mbak Fitri juga ikut, coba tanya sama pakdhe dulu kalau boleh aku tunggu. Aku udah siap, tinggal nunggu mas Faiz aja," ujar Dani. Ia sudah memakai sepatunya di teras rumah yang ada di samping rumahnya. Dan sebelah rumah Dani ada rumah Robi. Rumah keluarga Rindi memang berkumpul. "Oke deh, tunggu ya." Reva bergegas masuk ke dalam rumah dan meminta izin sama bapaknya. "Bapak, aku boleh ikut Dani ya ke alun-alun. Ada Faiz sama Fitri juga kok, aku pengin banget nyaksiin kembang api raksasa," ujar Reva dengan memelas. Memang kembang api raksasa itulah tujuan awal utama para pemuda lebih senang menyaksikan malam tahun baru-nan di alun-alun kabupaten mereka yang tepatnya ada di perbatasan kota. "Nggak boleh, cuma mau lihat kembang api sampe jauh-jauh ke kota ngapain??" sahut Rindi dengan cepat. "Iih Ibuk mah gitu, nggak asyik. Boleh ya, Bapak kan ada Faiz sama Fitri aku bisa ngintil mereka terus. Lagian aku belum pernah loh nyaksiin ginian," rengek Reva dengan manja. "Mbak Reva, jadi nggak?? Mas Faiz dah nunggu di gapura??" panggil Dani dari luar rumah. Faiz kakak Dani ini tidak serumah dengan sang ibu tetapi masih tinggal satu desa yang sama. "Bapak...." kedua mata Reva sudah berkaca-kaca kalau ia tak dapat izin ia janji akan rela menangis semalaman. Prabu memandang mata Reva yang penuh harap, kedua mata itu sudah berembun membuat Prabu tak sampai hati untuk melarang anak gadisnya. Hatinya berat namun ia lebih berat kalau melihat putrinya beneran menangis. "Ya sudah, tapi kamu harus janji jangan neko-neko disana dan jaga diri baik-baik. Jangan jauh-jauh sama Faiz dan Fitri ya," ungkap Prabu. "Yang bener Bapak, aku boleh ikut??" tanya Reva memastikan. "Bapak...." anak melotot ke arah sang suami. Prabu hanya membalas dengan gelengan kepala. "Mbak, aku berangkat ya." Dani sudah hampir menarik pedal gasnya lagi. "Daniiiii tungguuuu.......!!!" teriak Reva berlari keluar rumahnya. "Tungguin aku bentar, Bapak udah ngasih izin kok," ujar Reva seketika Dani mematikan mesin motornya. "Ya udah jangan lama-lama dandannya," balas Dani. Reva segera masuk dan berganti pakaian. Ia selalu memakai baju yang tertutup meski tidak memakai hijab, ia memakai celana jins panjang berwarna biru navy dan atasan Hoodie berwana biru langit tentu saja ia sudah memakai kaos pendek sebelum memakai Hoodie panjangnya. Tak ketinggalan tas slempang kecil ia bawa untuk tempat membawa hpnya. Reva keluar dari kamar dengan membawa helmnya sembari menunduk ia ragu untuk mengatakan kepada sang Ibu. "Bu, minta uang saku," ujar Reva dengan ragu-ragu. "Huh, masih butuh uang saku kan. Makanya mending di rumah aja, nonton lewat hp kan juga bisa nanti kalau ada yang aplod," balas Ana. Meski mengomel-ngomel namun Rindi tetap memberi uang kepada Reva. Uang selembar berwana hijau itu diterima Reva dengan wajah yang sumringah, meski tak seberapa namun ia bersyukur sang Ibu masih mau memberinya uang pegangan. "Makasih ya, Bu, aku berangkat dulu. Bapak makasih ya udah ngasih Reva izin." Reva sun tangan bapaknya dan memeluk tubuh sang bapak sebentar. "Iya, hati-hati lho yaa," balas Prabu. "Aku berangkat ya, Bu," ucap Reva juga sun tangan dengan sang Ibu. Meski Ibunya tetap diam memberengut Reva tetap mencium pipi kanan sang Ibu lalu berlari keluar. "Assalamualaikum...." ucap Reva berlarian sembari mengucapkan salam. "Lama amat dandannya, yang nungguin sampe berjamur," ujar Dani. "Hehehe..." balas Reva cengengesan. Sesampai di sana, sampah petasan mercon begitu banyak dan berhamburan kemana-mana sebab sehabis isya' tadi para pemuda habis memberondong mercon yang begitu banyak. Namun sekarang para pemuda itu sudah raib menghadiri hiburan yang ada di alun-alun. "Udah, yok langsung berangkat saja," ujar Dani saat sampai di gapura desa dan bertemu Faiz. Dalam perjalanannya Reva diam-diam mengirim pesan pada Nathan. "Aku keluar sama Dani, Mas." "Baik, Sayang, aku tunggu ya nanti kita ketemuan disini." Tak menunggu waktu lama balasan dari Nathan telah masuk. "Oke," balas Reva. Nathan mengirim balasan lagi berupa stiker gift orang yang sedang kiss jauh dan keluar banyak love. Reva tersenyum, jantungnya mulai berdebar mengingat dia akan ketemuan dengan sang pacar. Reva duduk di atas boncengan Dani, dan Dani bergegas menyusul sang kakak yang sudah menunggunya sejak tadi di gapura desa. Sesampai di sana, sampah petasan mercon begitu banyak dan berhamburan kemana-mana sebab sehabis isya' tadi para pemuda habis memberondong mercon yang begitu banyak. Namun sekarang para pemuda itu sudah raib menghadiri hiburan yang ada di alun-alun. "Udah, yok langsung berangkat saja," ujar Dani saat sampai di gapura desa dan bertemu Faiz. Dalam perjalanannya Reva diam-diam mengirim pesan pada Nathan. "Aku keluar sama Dani, Mas." "Baik, Sayang, aku tunggu ya nanti kita ketemuan disini." Tak menunggu waktu lama balasan dari Nathan telah masuk. "Oke," balas Reva. Nathan mengirim balasan lagi berupa stiker gift orang yang sedang kiss jauh dan keluar banyak love. Reva tersenyum, jantungnya mulai berdebar mengingat dia akan ketemuan dengan sang pacar.Dua bulan telah berlalu, Zahra serta Ustadz Husain kini telah resmi menjadi sepasang suami istri. Meski baru menikah, Zahra merasa bahagia dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Ia rela meninggalkan kehidupan yang semula ia kenal di Jakarta, termasuk keluarganya yang kini berantakan. Setelah ayahnya meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu, harta peninggalannya dirampas oleh ibu dan saudara tirinya. Mama Zahra telah menikah lagi dan kini tinggal bersama suaminya, meninggalkan Zahra yang merasa kesepian dan terlupakan.Namun, Zahra tidak pernah haus akan harta. Meski kehilangan banyak hal, ia merasa jauh lebih kaya dengan cinta dan kebahagiaan yang ia temukan bersama Ustadz Husain. Ia memilih untuk tinggal di rumah suaminya yang sederhana, yang terletak di samping pondok pesantren tempat mereka berdua beraktivitas. Meski hidup di lingkungan yang jauh dari kemewahan, Zahra merasa tenang dan bahagia.Pemasukan Zahra dari melukis lebih dari cukup untuk memenu
Zahra dan Ustadz Husain saling melempar pandang dengan senyum kecil saat melihat ekspresi Ali yang mendelik menatap mereka."Hayo ngaku aja. Pasti kalian punya apa-apa nih," ujar Ali penuh rasa ingin tahu.Zahra menyipitkan matanya ke arah Ali, lalu dengan nada santai menjawab, "Kepo banget, sih, Gus."Husain tertawa kecil. "Iya, Gus, kepo banget," sahutnya, seakan mereka sudah sepakat menggodanya.Ali mendengus, pura-pura kesal. "Ih, enggak sopan banget kalian ngegas gitu. Kalau kalian lagi ngomongin hal penting, ya udah, aku pergi aja, deh!" ucapnya sambil mengangkat tangan menyerah."Ya udah, pergi aja, Gus," goda Zahra sambil terkekeh, membuat Husain tertawa lebih keras.Ali pura-pura cemberut, tetapi akhirnya ikut tersenyum. "Dasar kalian ini, cocok banget. Udah, aku doa’in aja biar kalian berdua langgeng kalau memang ada apa-apa," kata Ali berlalu menjauh sambil melambaikan tangan.Setelah kepergian Ali, Ustad
Ali tampak canggung di hadapan Nisa, mencoba mengatur kata-kata agar tidak menyakitinya lebih dalam. Namun, ketegangan di ruangan itu semakin terasa.Nisa menatapnya tajam, suaranya mulai meninggi. "Kamu munafik, Ali! Kamu dulu berjanji... Tapi sekarang, apa? Kamu menikah dan bahkan punya anak? Apa janji itu cuma ucapan kosong?""Nisa, tolong..." Ali mencoba menenangkan, tapi suaranya terdengar lemah."Tolong? Kamu bicara soal tolong?!" Nisa memotong dengan nada penuh emosi. "Bertahun-tahun aku menjaga hati ini, Ali. Bertahun-tahun! Banyak laki-laki yang menginginkanku tetapi, aku menolaknya karena di hati ini hanya ada kamu. Dan sekarang... ini yang aku dapatkan? Ini buah dari janjimu!"Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Dari arah belakang, suara langkah pintu terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tubuh mungil keluar dari dalam, menggunakan kursi roda. Ia tampak bingung melihat suasana tegang di ruang tamu."Abi, ada
Kembalinya NisaAli mendorong kursi roda Mauty perlahan meninggalkan puskesmas. Farhan dan Sabrina memutuskan untuk pulang ke Bandung dua hari yang lalu dan berpesan kepada putra tunggalnya untuk menjalani takdir dengan ikhlas.Langit sore terlihat teduh, seolah menyambut langkah baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan mereka yang awalnya dingin kini mulai mencair, meski belum diwarnai cinta.Setiba di kediaman, Ali mempersiapkan ruang sederhana untuk Mauty. "Kamu istirahat dulu. Kalau ada yang dibutuhkan, panggil aku," ucap Ali, meletakkan tas di sudut kamar.Mauty mengangguk. "Terima kasih, Bang," jawabnya lirih. Ada kehangatan dalam cara Ali berbicara, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.Malam itu, Ali mengetuk pintu kamar. Di tangannya, ia membawa Al-Qur'an dan sehelai mukena. "Mauty, mari kita mulai belajar sholat dan mengaji. Aku ingin kita sama-sama memperbaiki diri," kata Ali, duduk di lantai tak jauh d
Takdir yang Mengetuk "Astaghfirullah, Mauty!" Ali berteriak panik. Ia segera berlari menghampiri istrinya, mengguncang tubuhnya penuh kecemasan.Ali menemukan botol obat-obatan yang sudah kosong di lantai. Ia segera mengambil salah satunya."Astaghfirullah, apa Mauty meminum semua obatnya. Dan dia over dosis? Apa dia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya?" batin Ali bertanya-tanya. Ia segera membuang botol tersebut dengan asal lalu segera fokus kepada sang istri."Mauty, bangun! Ini aku, Ali!" Namun, Mauty tetap tak bergerak. Nafas Ali memburu."Tolong... Tolong....!"Suara teriakan Ali menggemparkan rumah.Nathan segera datang dari ruang tamu dan bertanya dengan nada kawatir, "Ada apa ini, Ali? Mauty kenapa?"Tak berapa lama Reva datang dari arah dapur bersama ustadzah Lutfi dan ustadzah Uut. "Ya Allah, Mauty. Apa yang terjadi, Li?" tanya Reva cemas."Ali tidak tahu, Ma," balas Ali panik. Ia s
Fitnah di Balik Pusaran TakdirPagi itu, langit di atas Pondok Pesantren Al-Hikmah tampak mendung, seakan mengiringi suasana hati para santri yang gelisah. Di dalam masjid, setelah sholat Dhuha sekelompok pengurus pondok dan para santri berkumpul, mendengarkan ceramah ustad Mahfud yang tampak begitu serius. Ustad Mahfud, yang dikenal cukup berpengaruh di kalangan pengurus pondok, berdiri di depan mereka, wajahnya penuh dengan ketegasan, namun ada sesuatu yang tampak berbeda dalam sorot matanya. Ada kebencian yang terpendam."Saudara-saudara sekalian, hari ini saya ingin berbicara tentang seorang yang tidak layak kita percayakan untuk memimpin pesantren ini," kata Ustad Mahfud sembari melirik ke arah Ali yang masih duduk di tempat imam, suaranya keras dan memecah kesunyian."Gus yang kita anggap sebagai penerus pesantren ini, ternyata memilih jalan yang tidak pantas. Dia menikahi seorang perempuan yang cacat dan tak punya kaki! Apa yang akan terjadi jika k