Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba.
"Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah. "Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan. "Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan. Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva. Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih, kamu udah mikirin ini sebelumnya??" "Lah kamu ngeledekin aku, nggak percaya kalau aku selalu mikirin kamu. Kamu tuh yang nggak mikirin aku dan nggak serius sama aku," sungut Nathan. Ternyata dia juga bisa kesal. "Kok gitu ngomongnya sih, di lihat dari apanya aku nggak serius sama kamu??" tanya Reva kesal juga. "Kamu nggak pernah manggil aku 'Sayang' kamu selalu manggil aku dengan sebutan biasanya," balas Nathan. Reva malah tertawa apalagi tak ada siapa-siapa di rumah dan hanya ada Tina yang sedang bermain ia tak kawatir akan di marahi oleh kedua orang tuanya. "Malah asyik ketawa, memangnya aku lucu apa?! Bisa diam nggak, Rev, tawa kamu kenceng banget nanti kalau ada yang curiga gimana?? Lah tuh cewek di bilangin malah kayak di perintah, aku datangi kamu ku cipok kamu biar berhenti ketawa." Mendengar kalimat Nathan yang terakhir Reva akhirnya menghentikan tawanya. "Up, maaf deh." Reva menutup mulutnya dengan telapak tangan agar tawanya bisa mereda. Meski hanya vidio call Nathan sangat gemas melihat tawa Reva, ingin sekali ia membekap mulut Reva yang terus terbuka itu. "Jangan marah, mas Nathan sayang, nanti tampannya berkurang lhoo," goda Reva membuat Nathan memalingkan wajahnya ia terlihat malu dan salah tingkah. *** Malam pergantian tahun telah tiba, banyak orang yang heboh ingin merayakannya sekedar menyalakan petasan seperti yang dilakukan para pemuda di desa Nathan. "Mbak Reva nanti aku ke alun-alun nonton dangdut, kamu mau ikut apa nggak??" tanya Dani adik sepupu Reva. "Sama siapa aja, aku nggak yakin deh Bapak sam Ibu ngizinin," balas Reva dengan cemberut. Ingin sekali ia ikut apalagi Nathan juga akan keluar. "Mas Faiz sama mbak Fitri juga ikut, coba tanya sama pakdhe dulu kalau boleh aku tunggu. Aku udah siap, tinggal nunggu mas Faiz aja," ujar Dani. Ia sudah memakai sepatunya di teras rumah yang ada di samping rumahnya. Dan sebelah rumah Dani ada rumah Robi. Rumah keluarga Rindi memang berkumpul. "Oke deh, tunggu ya." Reva bergegas masuk ke dalam rumah dan meminta izin sama bapaknya. "Bapak, aku boleh ikut Dani ya ke alun-alun. Ada Faiz sama Fitri juga kok, aku pengin banget nyaksiin kembang api raksasa," ujar Reva dengan memelas. Memang kembang api raksasa itulah tujuan awal utama para pemuda lebih senang menyaksikan malam tahun baru-nan di alun-alun kabupaten mereka yang tepatnya ada di perbatasan kota. "Nggak boleh, cuma mau lihat kembang api sampe jauh-jauh ke kota ngapain??" sahut Rindi dengan cepat. "Iih Ibuk mah gitu, nggak asyik. Boleh ya, Bapak kan ada Faiz sama Fitri aku bisa ngintil mereka terus. Lagian aku belum pernah loh nyaksiin ginian," rengek Reva dengan manja. "Mbak Reva, jadi nggak?? Mas Faiz dah nunggu di gapura??" panggil Dani dari luar rumah. Faiz kakak Dani ini tidak serumah dengan sang ibu tetapi masih tinggal satu desa yang sama. "Bapak...." kedua mata Reva sudah berkaca-kaca kalau ia tak dapat izin ia janji akan rela menangis semalaman. Prabu memandang mata Reva yang penuh harap, kedua mata itu sudah berembun membuat Prabu tak sampai hati untuk melarang anak gadisnya. Hatinya berat namun ia lebih berat kalau melihat putrinya beneran menangis. "Ya sudah, tapi kamu harus janji jangan neko-neko disana dan jaga diri baik-baik. Jangan jauh-jauh sama Faiz dan Fitri ya," ungkap Prabu. "Yang bener Bapak, aku boleh ikut??" tanya Reva memastikan. "Bapak...." anak melotot ke arah sang suami. Prabu hanya membalas dengan gelengan kepala. "Mbak, aku berangkat ya." Dani sudah hampir menarik pedal gasnya lagi. "Daniiiii tungguuuu.......!!!" teriak Reva berlari keluar rumahnya. "Tungguin aku bentar, Bapak udah ngasih izin kok," ujar Reva seketika Dani mematikan mesin motornya. "Ya udah jangan lama-lama dandannya," balas Dani. Reva segera masuk dan berganti pakaian. Ia selalu memakai baju yang tertutup meski tidak memakai hijab, ia memakai celana jins panjang berwarna biru navy dan atasan Hoodie berwana biru langit tentu saja ia sudah memakai kaos pendek sebelum memakai Hoodie panjangnya. Tak ketinggalan tas slempang kecil ia bawa untuk tempat membawa hpnya. Reva keluar dari kamar dengan membawa helmnya sembari menunduk ia ragu untuk mengatakan kepada sang Ibu. "Bu, minta uang saku," ujar Reva dengan ragu-ragu. "Huh, masih butuh uang saku kan. Makanya mending di rumah aja, nonton lewat hp kan juga bisa nanti kalau ada yang aplod," balas Ana. Meski mengomel-ngomel namun Rindi tetap memberi uang kepada Reva. Uang selembar berwana hijau itu diterima Reva dengan wajah yang sumringah, meski tak seberapa namun ia bersyukur sang Ibu masih mau memberinya uang pegangan. "Makasih ya, Bu, aku berangkat dulu. Bapak makasih ya udah ngasih Reva izin." Reva sun tangan bapaknya dan memeluk tubuh sang bapak sebentar. "Iya, hati-hati lho yaa," balas Prabu. "Aku berangkat ya, Bu," ucap Reva juga sun tangan dengan sang Ibu. Meski Ibunya tetap diam memberengut Reva tetap mencium pipi kanan sang Ibu lalu berlari keluar. "Assalamualaikum...." ucap Reva berlarian sembari mengucapkan salam. "Lama amat dandannya, yang nungguin sampe berjamur," ujar Dani. "Hehehe..." balas Reva cengengesan. Sesampai di sana, sampah petasan mercon begitu banyak dan berhamburan kemana-mana sebab sehabis isya' tadi para pemuda habis memberondong mercon yang begitu banyak. Namun sekarang para pemuda itu sudah raib menghadiri hiburan yang ada di alun-alun. "Udah, yok langsung berangkat saja," ujar Dani saat sampai di gapura desa dan bertemu Faiz. Dalam perjalanannya Reva diam-diam mengirim pesan pada Nathan. "Aku keluar sama Dani, Mas." "Baik, Sayang, aku tunggu ya nanti kita ketemuan disini." Tak menunggu waktu lama balasan dari Nathan telah masuk. "Oke," balas Reva. Nathan mengirim balasan lagi berupa stiker gift orang yang sedang kiss jauh dan keluar banyak love. Reva tersenyum, jantungnya mulai berdebar mengingat dia akan ketemuan dengan sang pacar. Reva duduk di atas boncengan Dani, dan Dani bergegas menyusul sang kakak yang sudah menunggunya sejak tadi di gapura desa. Sesampai di sana, sampah petasan mercon begitu banyak dan berhamburan kemana-mana sebab sehabis isya' tadi para pemuda habis memberondong mercon yang begitu banyak. Namun sekarang para pemuda itu sudah raib menghadiri hiburan yang ada di alun-alun. "Udah, yok langsung berangkat saja," ujar Dani saat sampai di gapura desa dan bertemu Faiz. Dalam perjalanannya Reva diam-diam mengirim pesan pada Nathan. "Aku keluar sama Dani, Mas." "Baik, Sayang, aku tunggu ya nanti kita ketemuan disini." Tak menunggu waktu lama balasan dari Nathan telah masuk. "Oke," balas Reva. Nathan mengirim balasan lagi berupa stiker gift orang yang sedang kiss jauh dan keluar banyak love. Reva tersenyum, jantungnya mulai berdebar mengingat dia akan ketemuan dengan sang pacar.Malam pergantian tahun begitu riuh. Reva, yang baru pertama kali lepas dari aturan ketat rumah, takjub melihat betapa ramainya perbatasan kota. Apalagi, artis viral Denny Cicak turut diundang, membuat penggemarnya berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru kecamatan dan kabupaten."Ini lebih dari ekspektasiku, Fit. Ternyata semeriah ini, ya," gumam Reva."Ini belum seberapa, Mbak. Nanti kalau kembang api sudah dinyalakan, pasti lebih ramai lagi," balas Fitri sambil menggendong putranya."Wah, aku makin tak sabar," Reva semakin bersemangat."Bunda beli itu," Salmi menunjuk sebuah makanan khas turkey."Mbak Reva, aku mau kesana. Salmi minta kebab," ucap Fitri."Aku nunggu di sini aja deh," balas Reva. Sedangkan Faiz dan Dani sudah maju ke depan untuk menyaksikan dangdut.Di sekitar mereka, suara musik dangdut menggelegar. Faiz dan Dani sudah maju ke depan, menikmati hiburan. Sementara itu, Fitri dan Reva memilih tetap di belakang, menghindari desakan orang banyak, apalagi Fitri mem
Pesta kembang api telah selesai, begitu pula dengan hiburan dangdut yang menemani malam. Para pengunjung mulai membubarkan diri dan beranjak dari halaman alun-alun.Nathan kembali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka semua tampak menggandeng pasangan masing-masing.Di tangan mereka telah ada berbagai jajanan seperti jagung bakar, telur gulung, takoyaki, papeda, es teh, dan lainnya."Mari makan!" seru Panji dengan wajah sumringah. Tanpa ragu, ia langsung duduk di tanah dan membuka plastik makanannya."Kamu tuh ya, kalau ada yang gratisan selalu paling cepat geraknya," celutuk Agung, mengingat Panji sebelumnya mengaku kehabisan uang dan tidak membeli apa pun."Ya, jelas dong," balas Panji tanpa rasa bersalah.Mereka semua duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran tanpa alas apa pun, menikmati makanan yang mereka beli. Rendi terlihat membawa banyak telur gulung, sedangkan Agung membawa cireng sambal. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka menikmati malam tanpa minuman
"Istighfar, Bu, istighfar. Kasihan Reva." Prabu memeluk tubuh sang istri dan berusaha menenangkannya, lalu membawanya menjauh dari Reva."Kalau kamu sudah tidak bisa dibilangi dan tidak mau menurut sama Ibu, berarti kamu sudah menganggap kami tidak ada. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini! Pergi! Jangan pernah tampakkan wajahmu di depan Ibu lagi! Dasar anak sialan! Cepat pergi!" Rindi benar-benar dikuasai oleh amarahnya.Reva yang tidak mau membuat ibunya terus-menerus kecewa akhirnya memutuskan untuk mengemas pakaian dan bersiap pergi, meski ia tak tahu harus ke mana."Reva, kamu mau ke mana, Nduk?" tanya Prabu ketika kembali ke kamar Reva."Bapak, maafkan aku. Aku selalu membuat kalian kecewa. Aku akan pergi sesuai perintah Ibu. Sekali lagi, maafkan aku. Aku belum bisa membuat kalian bahagia, justru selalu membuat kalian malu dan bersedih," balas Reva dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya."Cepat pergi, anak si
"Mas Nathan, kamu nggak turun? Ayo turun," ajak Kinez, menghampiri Nathan yang tak kunjung keluar dari mobil.Dengan malas, akhirnya Nathan membuka pintu dan keluar. Namun, tanpa ia sangka, Kinez berani bergelayut manja di lengannya."Kamu ngapain, Nez? Malu, tahu! Dilihat orang," ujar Nathan, melepas pegangan tangan Kinez."Kenapa harus malu, Mas? Anak muda wajar dong seperti ini," balas Kinez, tampak kecewa dengan penolakan Nathan.Kinez kesal karena Nathan tak merespons. Bibirnya mengerucut, membuat lelaki itu semakin malas menatapnya.---"Kita sarapan di sini dulu, ya. Nanti baru kita keliling lihat pantai," ujar Siti sambil menggelar karpet, dibantu oleh Kinez."Anak pintar, tanpa diminta sudah peka," puji Siti, yang dibalas senyuman oleh Kinez.Mereka mulai sarapan dengan bekal masakan Siti yang beragam. Nandra dan Suri sudah lebih dulu menyomot makanan kesukaan mereka."Nathan tuh
"Ya udah, kamu aja yang nolongin! Kan kamu yang merasa kasihan, bukan aku." "Yang bener nih? Nggak apa-apa kalau ceweknya aku cium?" "Heemmm..." "Yakin nggak bakal marah? Nggak bakal cemburu?" "Yakin! Aku nggak akan marah! Cepetan lakuin!" teriak Nathan dengan emosi. "Iya deh, tapi awas kalau nanti kamu minta ganti rugi." Lelaki itu mengancam, sementara Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Lelaki itu lalu perlahan memberikan napas buatan pada Kinez. Satu kali gagal, dua kali masih belum berhasil, hingga akhirnya di percobaan keempat, Kinez tersedak dan memuntahkan air laut yang tertelan. Napasnya kembali normal, dan dia mulai sadar. "Ehh, ehh! Anak saya diapain tuh? Kamu ngelakuin sesuatu yang nggak pantas ke anak saya, ya?!" Yati berteriak panik, menghampiri mereka. Dari jauh, dia melihat anaknya dicium oleh lelaki asing, sementara Nathan hanya berdiri mengawasi.
Reva berjalan hingga ke jalan raya yang biasa dilalui angkutan umum ataupun bus. Ia naik begitu saja saat ditawari oleh kernet bus Transjakarta, tanpa tahu tujuan akhirnya. Reva berpikir bus itu akan membawanya ke Jakarta.Sampai akhirnya, ia terbangun karena seseorang menggoyang-goyangkan lengannya."Dek, bangun. Hey... bangun, Dek. Kamu mau ke mana sebenarnya?" suara kernet membangunkannya.Reva mengucek matanya, kebingungan melihat bus yang sudah kosong."Ini sampai mana ya, Pak?" tanyanya."Ini di kota Semarang. Kamu mau ke mana?" Kernet itu menatapnya dengan penuh selidik."Di Semarang ya, Pak? Ya sudah, saya turun di sini saja.""Berapa ongkosnya, Pak?" imbuh Reva."Sepuluh ribu."Reva mengernyit. "Murah amat," batinnya.Ia merogoh uang dari kain lusuh pemberian bapaknya dan menyodorkan selembar uang berwarna ungu."Ini, Pak. Makasih, ya."Setelah uangnya diterima, Reva
Setelah selesai berkenalan, Reva kembali ke dalam kamarnya. Ia bersyukur karena para penghuni kos mau menyapanya dengan ramah."Jam berapa sekarang ya? Mungkin masih ada waktu buat sholat Ashar," gumamnya.Meski ibadahnya masih belum sempurna, Reva tetap berusaha untuk sholat setiap ada kesempatan.Ia segera mencari kamar mandi yang ada di lantai dua, lalu mandi dan berwudhu. Setelah kembali ke kamar, ia menggelar sajadah yang dibawanya dari rumah dan mulai menunaikan sholat."Ya Allah, ampunilah aku yang belum bisa menjadi anak yang baik untuk Ibu dan Bapak. Ya Allah, lindungilah aku di mana pun aku berada. Dekatkanlah aku dengan orang-orang yang tulus dan jauhkanlah aku dari orang-orang dzalim."Doa itu ia panjatkan dengan khusyuk setelah selesai sholat.Usai beribadah, Reva merebahkan tubuhnya di atas kasur busa. Rasa pegal di punggungnya sedikit berkurang, hingga tanpa sadar setengah jam berlalu. Adzan Magrib pun berkumandang
Nathan seperti orang gila, tak tahu harus berbuat apa. Sejak tadi, ia terus mencoba mengirim pesan dan menelepon nomor Reva, tetapi tak kunjung mendapat respons."Reva, kamu di mana??""Dek, kenapa kamu pergi tanpa ngabarin aku?""Plis, Sayang, aktifkan nomormu. Aku khawatir banget sama kamu.""Reva, tolong kasih tahu aku keberadaanmu biar aku bisa menyusul. Dunia luar itu kejam, aku nggak mau kamu kenapa-napa.""Rev, kamu bertengkar sama Ibumu gara-gara aku, kan? Maafin aku, ya. Tapi kumohon, kasih tahu aku keberadaanmu biar aku bisa nyusul. Aku janji nggak akan kasih tahu Om Prabu atau Bulek Rindi."Pesan demi pesan yang dikirim Nathan sejak pagi tak kunjung mendapat balasan. Bahkan, centang dua pun belum muncul. Namun, ia tetap mencoba menghubungi nomor itu, meski tahu kemungkinan Reva menjawab sangat kecil."Nat, makan dulu. Kamu belum makan dari tadi siang," ujar Siti dari luar kamar."Nanti sakit maag-mu kambuh kalau kamu terus begini," tambahnya lagi.Nathan sama sekali tak mer
"Sepertinya tidak, Tante," balas Zahra sambil mencium punggung tangan wanita paruh baya itu yang terlihat nampak lelah dan kulit menghitam di wajahnya.Ibu Nisa menatap Zahra dengan penuh kasih, lalu meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. "Sabar ya, Nduk. Mungkin ada kesibukan yang membuat Mamamu belum bisa datang. Jangan terlalu dipikirkan, yang penting kamu tetap semangat, ya," ucapnya lembut.Zahra tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih terasa getir. "Iya, Tante. Terima kasih," jawabnya dengan suara lirih.Ibu Nisa kemudian merogoh tas dan mengeluarkan beberapa bungkus makanan. "Ini, Zahra. Ambil sedikit jajanan ini. Tante bawain lebih, siapa tahu ada yang bisa dibagi sama teman-teman."Zahra menerima dengan ragu, tapi tidak ingin menolak niat baik itu. "Terima kasih, Tante. Tante baik sekali," katanya sambil menundukkan kepala. Zahra merasa beruntung setiap kali bertemu dengan ibunya Nisa yang memiliki perasaan hangat dan perhati
Pagi ini, hari Jum'at, para santriwan dan santriwati bergotong royong membersihkan seluruh pondok. Setiap hari Jum'at sekolah pagi memang libur, tapi hari Minggu mereka akan masuk sekolah, sehingga para santri memanfaatkan waktu untuk membersihkan asrama dan lingkungan sekitar. Menjelang siang, biasanya para orang tua akan datang berkunjung menemui putra-putri mereka. Ada yang rutin datang setiap minggu, ada pula yang dua minggu sekali, bahkan ada yang sebulan atau dua bulan sekali.Menjelang siang asrama pondok sudah bersih, sudah ada beberapa orang wali yang berkunjung menemui anak-anaknya."Ra, kamu kok santai aja enggak buruan mandi sana tah. Ntar, orang tuamu berkunjung kamu masih bau asem gini," ujar Nisa yang sudah terlihat segar setelah selesai mencuci baju dan mandi."Malas ah, paling mereka hanya mentransfer duit aja lewat pengurus pondok kayak biasanya," ujar Zahra dengan sewot.Zahra tumbuh dalam keluarga yang sudah retak sejak lama. Perceraian orang tuanya terjadi ketika
Hari sudah beranjak siang, angin sepoi-sepoi sesekali berhembus membawa aroma makanan dari kantin sekolah. Nisa, Aisyah, dan Zahra duduk santai di bangku panjang, menikmati jajanan mereka. Nisa memegang segelas es teh, Aisyah dengan pisang goreng di tangannya, dan Zahra sibuk membuka bungkus cilok sambil menatap teman-temannya."Aku selalu heran kenapa banyak orang yang merasa malu kalau punya cita-cita sederhana," Nisa membuka obrolan sambil mengaduk es tehnya perlahan. "Kayak misalnya cuma pengen jadi ibu rumah tangga atau kerja di tempat yang dekat rumah. Padahal itu juga nggak kalah mulianya, kan?"Zahra mengangguk setuju. "Iya, kayak ada tekanan dari lingkungan buat punya karier yang dianggap keren. Padahal nggak semua orang cocok dengan definisi sukses yang sama. Aku sih pengen jadi pelukis aja," katanya dengan santai. "Meskipun dibilang nggak menjanjikan, tapi kalau itu bikin aku bahagia, kenapa enggak?"Aisyah, yang selama ini mendengarkan, te
Pagi-pagi keadaan pesantren tak seramai pada siang hingga malam, sebab kebanyakan para santri dan santriwati bersekolah umum. Rata-rata mereka sekolah di tingkatan MTs dan MA. Para mbak-mbak yang ngandi ndalem sibuk dengan kegiatan ibu rumah tangga, seperti menyapu, memasak, dan mencuci pakaian keluarga Kiyai. Sementara itu, kang-kang yang membantu di pesantren terlihat sibuk merawat halaman, menyiram tanaman, atau memperbaiki peralatan yang rusak.Rahmat, Matno, dan Ridwan sedang menjalankan hukuman membersihkan masjid. Pagi itu, ketiganya sibuk menyapu lantai, mengepel, dan mengatur sajadah yang berantakan. "Ya Allah, kalau begini tiap hari bisa-bisa kita jadi marbot masjid, nih," keluh Matno sambil mengusap peluh di dahinya.Ridwan hanya tertawa kecil. "Itung-itung belajar, Mat. Kita harus jadi orang yang berani berbuat harus berani bertanggung jawab," balas Ridwan santai sambil terus menyapu.Rahmat menghela napas. "Sudahlah, kita s
Pagi-pagi para santri setelah selesai mengaji akan di sibukkan dengan rutinitas sekolah umum. Bagi yang tidak bersekolah umum mereka bisa bersantai, termasuk kegiatan mencuci baju dan mandi."Eh, keren banget loh tubuh Ali. Perutnya kotak-kotak,""Iya, kotaknya ada berapa tadi ya?""Enggak tahu, enggak sempet ngitung. Malu.""Andaikan enggak dosa, udah ku lihat terus tuh keindahan Allah yang sangat subhanallah,"Haa.... Haaa..."Astaghfirullah hilladzim,"Haaa haaa....Tawa kelima santri yang baru memasuki gotaan itu membuat atensi Zahra, Nisa, dan Aisyah teralihkan."Kalian ngapain ketawa-ketawa gitu?" tanya Zahra penasaran."Itu loh, kang santri baru, lagi buat tontonan gratis," balas Ginah dengan tertawa."Iya, mana cuma pakai boxer lagi," sahut Bella."Ali?" tanya Zahra penasaran."Iya, siapa lagi. Btw, sumpah ganteng banget kalau kek gitu, pasti di
"Kalian sembunyikan dimana baju-baju gue!" tuduh Ali kepada semua santri, bahkan tatapan tajamnya ia tunjukkan kepada ustadz Husain."Astaghfirullah, saya enggak pernah punya niatan buruk seperti itu, Ali. Bagaimana bisa hilang baju-bajumu?" tanya ustadz Husain."Gue enggak tahu, pasti semalam ada yang ngambil. Karena saat bangun tidur tiba-tiba semua baju gue hilang," sungut Ali."Sudah, sudah. Sebaiknya kamu segera kembali ke kamar. Nanti biarkan ustadz Husain ngantar baju ganti buat kamu, Nak," ujar Abah Kiyai dengan lembut."Benar?" tanya Ali menyakinkan."Benar, Ali. Percayalah, kami akan membantu mencari tahu siapa yang melakukannya," ujar Abah Kiyai sambil mengangguk mantap.Ali mendesah panjang, lalu mulai berjalan perlahan kembali ke kamarnya, masih membungkus tubuhnya dengan selimut. Para santri yang semula ramai mulai bubar, namun beberapa dari mereka masih memperbincangkan kejadian itu dengan suara pelan.
Zahra menunggu dengan antusias, tidak sabar mendengar penjelasan. "Yuk, ceritakan, Nis! Jangan bilang kamu sedang mengadakan pertemuan rahasia dengan makhluk halus ya!" ucapnya dengan nada menggoda, membuat Aisyah tersenyum geli. Nisa menggigit bibirnya, mencoba menahan tawa. "Eh, enggak kok. Aku sebenarnya... mungkin terlalu lelah setelah berdoa semalam. Aku agak pusing, dan akhirnya... ya, pingsan deh," jawabnya dengan jujur, walaupun sedikit malu. Nisa teringat betul, dengan kejadian semalam bahwa yang ia lihat adalah sosok Ali yang hanya memakai celana boxer, namun ia tak mungkin menceritakan ini kepada orang lain. Sungguh ia sangat malu sendiri, dan memilih untuk mengarang cerita lain. Tetapi entah kenapa semalam ia bisa bermimpi bertemu almarhum sang ayah yang sudah lima tahun berpulang. "Ah, dasar! Ternyata bukan makhluk halus! Aku sudah siap-siap mau kasih tahu Ustadz Mahfud supaya dia hati-hati sama kamu!" Zahra tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepala. "Tapi, habis it
Seketika, Matno dan Rahmat menutup mulut Ustadz Mahfud dengan telapak tangan kanan mereka. Lalu, dengan cepat mereka menarik sang ustadz keluar dari gotaan. "Plak! Plak!" Dua pukulan mendarat di kepala mereka. "Aduh...!" Matno dan Rahmat menjerit kesakitan sambil mengelus kepala mereka. "Kurang ajar kalian ya!" omel Ustadz Mahfud dengan wajah kesal. "Maaf, Ustadz, tapi kita hampir ketahuan," bisik Rahmat. "Lihat itu, dia cuma mengigau, bukan bangun!" Ustadz Mahfud menunjuk ke arah Ali di dalam gotaan dengan wajah kesal. Mereka menengok lagi ke dalam gotaan. Ali masih tertidur lelap, namun mulutnya terus bergumam tak jelas. "Maaf ustadz," ucap Matno dan Rahmat berbarengan. Mereka merasa bersalah, sedangkan Ridwan hanya tertawa cekikikan dan mendapat pelototan dari ustad Mahfud. "Maaf, Tadz," ucap Ridwan masih dengan menahan tawa.. "Papa… tolong aku… jangan tinggalkan aku… Mama tunggu…" Ucapan itu membuat suasana menjadi hening. Matno, Rahmat, dan Ridwan saling bertukar panda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya (dalam bahaya). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan kesusahan seorang Muslim, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya di hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim) _______ Terdengar suara tarhim bacaan Al-Qur'an yang dikumandangkan melalui pengeras suara dari masjid, membangunkan umat Islam agar bersiap melaksanakan shalat Subuh. Suara merdu itu mengalun lembut, mengisi udara pagi dengan keheningan yang mendamaikan. Petugas keamanan mulai membangunkan satu per satu para santri, suasana di asrama mulai hidup. Karena Ali susah dibangunkan mereka memilih membiarkan Ali menerima hukuman lagi. Para santri menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu setelah itu mereka berbondong-bondong menuju masjid. Berbeda dengan Ali yang masi