Home / Romansa / Rahasia Panas Cinta Terlarang / Ciuman di Bawah Kembang Api

Share

Ciuman di Bawah Kembang Api

Author: Sri_Eahyuni
last update Last Updated: 2025-01-31 21:31:20

Malam pergantian tahun begitu riuh. Reva, yang baru pertama kali lepas dari aturan ketat rumah, takjub melihat betapa ramainya perbatasan kota. Apalagi, artis viral Denny Cicak turut diundang, membuat penggemarnya berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru kecamatan dan kabupaten.

"Ini lebih dari ekspektasiku, Fit. Ternyata semeriah ini, ya," gumam Reva.

"Ini belum seberapa, Mbak. Nanti kalau kembang api sudah dinyalakan, pasti lebih ramai lagi," balas Fitri sambil menggendong putranya.

"Wah, aku makin tak sabar," Reva semakin bersemangat.

"Bunda beli itu," Salmi menunjuk sebuah makanan khas turkey.

"Mbak Reva, aku mau kesana. Salmi minta kebab," ucap Fitri.

"Aku nunggu di sini aja deh," balas Reva. Sedangkan Faiz dan Dani sudah maju ke depan untuk menyaksikan dangdut.

Di sekitar mereka, suara musik dangdut menggelegar. Faiz dan Dani sudah maju ke depan, menikmati hiburan. Sementara itu, Fitri dan Reva memilih tetap di belakang, menghindari desakan orang banyak, apalagi Fitri membawa Salmi.

Saat Fitri pergi membeli kebab untuk putranya, Reva segera mengirim pesan pada Nathan.

"Mas, aku di sini." Reva mengirimkan sebuah foto lokasi tempatnya berdiri.

"Oke, kamu di situ aja. Aku akan menyusul."

Nathan, yang berada di tengah kerumunan bersama teman-temannya, segera mundur untuk menjemput sang pacar.

"Reva," panggilnya begitu sampai. Ia langsung menarik tubuh Reva ke dalam pelukannya.

"Mas Nathan, main peluk-peluk aja! Aku kira siapa tadi, bikin jantungan," omel Reva, meski pipinya mulai memerah.

"Tapi sekarang nggak jadi jantungan, kan?" goda Nathan, terkekeh.

"Nggak," balas Reva manja.

"Kamu cantik banget malam ini. Aku makin cinta sama kamu."

"Dih, mulai kumat gombalnya. Perasaan aku tiap hari biasa aja kayak gini. Jangan-jangan kamu ada maunya, ya?" Reva mengerutkan keningnya curiga.

Nathan tertawa kecil. "Tentu saja. Aku cuma mau kamu tetap bersamaku. Jangan jauh-jauh, aku takut kehilangan kamu."

Nathan merangkul Reva, membawanya lebih ke depan. Mereka menikmati malam, bergoyang mengikuti irama dangdut. Reva yang awalnya canggung mulai terbiasa, ikut bernyanyi meski lebih suka lagu Nella Kharisma daripada dangdut koplo.

"Dah yuk kita bersenang-senang malam ini, kita nikmati masa muda kita. Jangan tegang gitu, tenang saja ada aku disini yang akan jagain kamu," imbuh Nathan merangkul Reva dan mengajaknya agak ke depan.

Pasangan muda-muda itu merasa bahagia dan bisa bebas dari pantauan orang tua masing-masing.

"Hilih, bilangnya aja bakal dijagain. Ujung-ujungnya di tinggalin," protes Reva.

Nathan merasa tersindir karena pernah ninggalin Reva saat malam dikejar-kejar nini kunti. Dan ia berjanji itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Semua orang bergoyang dan bernyanyi bersama. Begitu juga dengan Reva dan Nathan. Meski Reva masih kaku tetapi ia suka mengikuti alunan musik itu sehingga dirinya mulai terbiasa.

Semakin malam Reva semakin menikmatinya apalagi ada Nathan bersamanya, sesekali Nathan memeluknya dari belakang dan mereka bergoyang bersama.

Sayang..

Titip rogoku

Titip roso tresnaku

Meski Reva agak kaku lidahnya karena ia tak terlalu suka dengan lagu-lagu itu. Ia lebih suka dengan lagunya Nella Berkharisma.

Seneng iki mung koe seng ngerti

Dadio konco ceritaku

Sepanjang uripku

Bruug!!

Seseorang dari belakang mendorong Reva. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat di atas Nathan.

Nathan justru menikmati momen itu. Wangi rambut Reva begitu menenangkan. Satu tangannya mengusap rambut Reva, sementara tangan lainnya masih di atas perutnya.

"Mas, aku mau bangun. Kamu malah peluk aku kenceng banget. Apa nggak sakit bokong kamu?" tanya Reva, berusaha berdiri.

"Nggak, justru aku senang begini."

Tiba-tiba, wajah Reva berubah aneh. "Mas... ini apaan?" tanyanya, terkekeh.

"Apaan yang mana?" Nathan pura-pura tidak mengerti.

"Ada sesuatu yang bangun di bawah bokongku. Gerak-gerak. Keras lagi. Apaan itu?"

"Eehh..." Nathan buru-buru bangkit, wajahnya merah padam.

"Hayo, apaan tadi?" goda Reva.

"Nggak apa-apa!"

"Kasihan, tuh. Kalau nggak ditidurin lagi nanti nangis," Reva makin menggoda.

"Memangnya kamu mau bantu?"

"Nggak, aku nggak bisa!" Reva cepat-cepat menggeleng.

"Ya udah, kalau nggak bisa, jangan mancing-mancing, entar aku paksa malah nangis-nangis minta pulang." Kini gantian Nathan yang membuat Reva bergidik ngeri.

"Iihh apaan sih, serem amat otak mesummu, Mas," ujar Reva. Nathan hanya terkekeh menanggapi.

Tanpa Reva sadari, Nathan perlahan mengajaknya menjauh dari keramaian. Saat itu juga, tempat mereka bergoyang tadi berubah kacau—sekelompok orang terlibat perkelahian.

"Gini, nih. Aku males nonton dangdut kalau pasti ada aja yang bikin ribut," gerutu Reva.

"Udah, nggak apa-apa. Namanya juga orang banyak," Nathan menenangkan.

Hening beberapa saat.

"Dek," suara Nathan terdengar lebih lembut.

"Dalem," balas Reva iseng.

Nathan tersenyum, lalu menatapnya dalam. "Aku sayang sama kamu."

"Terus?"

"Aku pengin nyium kamu."

Reva mendelik. "Aku nggak mau—"

Tapi Nathan langsung memotongnya. "Nggak mau nolak, kan?"

Mereka tertawa bersama. Nathan menarik pinggang ramping Reva, mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibirnya. Awalnya lembut, lalu semakin dalam. Reva sedikit terkejut, namun perlahan membalas. Sesapan demi sesapan, bibir mereka menyatu. Nathan semakin menuntut, menarik tengkuk Reva agar tak bisa mundur.

Duarrr!

Duarrr! Pyarrr!

Kembang api mulai dinyalakan, menerangi langit dengan percikan warna-warni.

Mereka melepas ciuman, sama-sama tersenyum, lalu mendongak, menikmati pertunjukan.

"Wuaaah, keren banget, Mas! Aku seneng banget," ujar Reva penuh semangat.

"Kamu senang??"

"He'em, seneng banget."

Nathan menatapnya dalam, mengusap pipinya. "Aku lebih senang bisa di sini bersamamu."

Reva tersenyum, tetapi dalam hatinya, entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

Nathan menatap wajah Reva dalam-dalam, seolah menghafal setiap lekuknya. Wajah yang tak pernah membosankan, senyum yang selalu menyimpan kehangatan. Di matanya, tawa Reva adalah melodi kebahagiaan yang tak tergantikan.

Dengan lembut, Nathan mengangkat dagu Reva, mempersempit jarak di antara mereka. Lalu, bibirnya kembali menyapu bibir gadis itu, membiarkan sensasi itu menyatu dalam dentuman kembang api di langit. Cahaya keemasan membingkai siluet mereka, menciptakan momen yang terasa begitu magis.

Sesekali, Nathan melepaskan ciumannya, memberi ruang bagi Reva untuk bernapas, sebelum jemarinya menghapus jejak saliva di sudut bibir gadis itu. Namun, alih-alih meredakan gejolak di dada mereka, momen itu justru menyulut api yang lebih besar. Mereka kembali terhanyut, berulang kali menyatukan bibir dalam tarian yang semakin dalam—bukan lagi sekadar sentuhan, melainkan ketagihan.

Dan saat kembang api terakhir meledak di langit, Nathan tahu—ia tak akan pernah bisa melepaskan Reva.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Ekstra Part

    Dua bulan telah berlalu, Zahra serta Ustadz Husain kini telah resmi menjadi sepasang suami istri. Meski baru menikah, Zahra merasa bahagia dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Ia rela meninggalkan kehidupan yang semula ia kenal di Jakarta, termasuk keluarganya yang kini berantakan. Setelah ayahnya meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu, harta peninggalannya dirampas oleh ibu dan saudara tirinya. Mama Zahra telah menikah lagi dan kini tinggal bersama suaminya, meninggalkan Zahra yang merasa kesepian dan terlupakan.Namun, Zahra tidak pernah haus akan harta. Meski kehilangan banyak hal, ia merasa jauh lebih kaya dengan cinta dan kebahagiaan yang ia temukan bersama Ustadz Husain. Ia memilih untuk tinggal di rumah suaminya yang sederhana, yang terletak di samping pondok pesantren tempat mereka berdua beraktivitas. Meski hidup di lingkungan yang jauh dari kemewahan, Zahra merasa tenang dan bahagia.Pemasukan Zahra dari melukis lebih dari cukup untuk memenu

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Ending

    Zahra dan Ustadz Husain saling melempar pandang dengan senyum kecil saat melihat ekspresi Ali yang mendelik menatap mereka."Hayo ngaku aja. Pasti kalian punya apa-apa nih," ujar Ali penuh rasa ingin tahu.Zahra menyipitkan matanya ke arah Ali, lalu dengan nada santai menjawab, "Kepo banget, sih, Gus."Husain tertawa kecil. "Iya, Gus, kepo banget," sahutnya, seakan mereka sudah sepakat menggodanya.Ali mendengus, pura-pura kesal. "Ih, enggak sopan banget kalian ngegas gitu. Kalau kalian lagi ngomongin hal penting, ya udah, aku pergi aja, deh!" ucapnya sambil mengangkat tangan menyerah."Ya udah, pergi aja, Gus," goda Zahra sambil terkekeh, membuat Husain tertawa lebih keras.Ali pura-pura cemberut, tetapi akhirnya ikut tersenyum. "Dasar kalian ini, cocok banget. Udah, aku doa’in aja biar kalian berdua langgeng kalau memang ada apa-apa," kata Ali berlalu menjauh sambil melambaikan tangan.Setelah kepergian Ali, Ustad

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Setelah Pertemuan

    Ali tampak canggung di hadapan Nisa, mencoba mengatur kata-kata agar tidak menyakitinya lebih dalam. Namun, ketegangan di ruangan itu semakin terasa.Nisa menatapnya tajam, suaranya mulai meninggi. "Kamu munafik, Ali! Kamu dulu berjanji... Tapi sekarang, apa? Kamu menikah dan bahkan punya anak? Apa janji itu cuma ucapan kosong?""Nisa, tolong..." Ali mencoba menenangkan, tapi suaranya terdengar lemah."Tolong? Kamu bicara soal tolong?!" Nisa memotong dengan nada penuh emosi. "Bertahun-tahun aku menjaga hati ini, Ali. Bertahun-tahun! Banyak laki-laki yang menginginkanku tetapi, aku menolaknya karena di hati ini hanya ada kamu. Dan sekarang... ini yang aku dapatkan? Ini buah dari janjimu!"Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Dari arah belakang, suara langkah pintu terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tubuh mungil keluar dari dalam, menggunakan kursi roda. Ia tampak bingung melihat suasana tegang di ruang tamu."Abi, ada

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Kembalinya Nisa

    Kembalinya NisaAli mendorong kursi roda Mauty perlahan meninggalkan puskesmas. Farhan dan Sabrina memutuskan untuk pulang ke Bandung dua hari yang lalu dan berpesan kepada putra tunggalnya untuk menjalani takdir dengan ikhlas.Langit sore terlihat teduh, seolah menyambut langkah baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan mereka yang awalnya dingin kini mulai mencair, meski belum diwarnai cinta.Setiba di kediaman, Ali mempersiapkan ruang sederhana untuk Mauty. "Kamu istirahat dulu. Kalau ada yang dibutuhkan, panggil aku," ucap Ali, meletakkan tas di sudut kamar.Mauty mengangguk. "Terima kasih, Bang," jawabnya lirih. Ada kehangatan dalam cara Ali berbicara, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.Malam itu, Ali mengetuk pintu kamar. Di tangannya, ia membawa Al-Qur'an dan sehelai mukena. "Mauty, mari kita mulai belajar sholat dan mengaji. Aku ingin kita sama-sama memperbaiki diri," kata Ali, duduk di lantai tak jauh d

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Siapa Kamu?

    Takdir yang Mengetuk "Astaghfirullah, Mauty!" Ali berteriak panik. Ia segera berlari menghampiri istrinya, mengguncang tubuhnya penuh kecemasan.Ali menemukan botol obat-obatan yang sudah kosong di lantai. Ia segera mengambil salah satunya."Astaghfirullah, apa Mauty meminum semua obatnya. Dan dia over dosis? Apa dia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya?" batin Ali bertanya-tanya. Ia segera membuang botol tersebut dengan asal lalu segera fokus kepada sang istri."Mauty, bangun! Ini aku, Ali!" Namun, Mauty tetap tak bergerak. Nafas Ali memburu."Tolong... Tolong....!"Suara teriakan Ali menggemparkan rumah.Nathan segera datang dari ruang tamu dan bertanya dengan nada kawatir, "Ada apa ini, Ali? Mauty kenapa?"Tak berapa lama Reva datang dari arah dapur bersama ustadzah Lutfi dan ustadzah Uut. "Ya Allah, Mauty. Apa yang terjadi, Li?" tanya Reva cemas."Ali tidak tahu, Ma," balas Ali panik. Ia s

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Fitnah

    Fitnah di Balik Pusaran TakdirPagi itu, langit di atas Pondok Pesantren Al-Hikmah tampak mendung, seakan mengiringi suasana hati para santri yang gelisah. Di dalam masjid, setelah sholat Dhuha sekelompok pengurus pondok dan para santri berkumpul, mendengarkan ceramah ustad Mahfud yang tampak begitu serius. Ustad Mahfud, yang dikenal cukup berpengaruh di kalangan pengurus pondok, berdiri di depan mereka, wajahnya penuh dengan ketegasan, namun ada sesuatu yang tampak berbeda dalam sorot matanya. Ada kebencian yang terpendam."Saudara-saudara sekalian, hari ini saya ingin berbicara tentang seorang yang tidak layak kita percayakan untuk memimpin pesantren ini," kata Ustad Mahfud sembari melirik ke arah Ali yang masih duduk di tempat imam, suaranya keras dan memecah kesunyian."Gus yang kita anggap sebagai penerus pesantren ini, ternyata memilih jalan yang tidak pantas. Dia menikahi seorang perempuan yang cacat dan tak punya kaki! Apa yang akan terjadi jika k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status