Suasana ruang rawat inap itu dipenuhi keheningan. Hanya suara pelan mesin monitor denyut jantung yang terus berbunyi, menjadi latar dari pandangan kosong Reina yang duduk di kursi besi, menatap sosok sang Ayah yang terbaring lemah di ranjang. Jemarinya mengepal erat tas kecil di pangkuan, menyembunyikan kegelisahan yang terus tumbuh sejak kabar terbaru dari dokter semalam.
"Ayah ...." Suara Reina nyaris seperti bisikan. Ia tahu Ayahnya tidak tidur, hanya diam dengan mata terpejam, berusaha menenangkan pikirannya sendiri setelah sempat berdebat dengan putri satu satunya tentang pernikahan. "Reina," lirih suara Ayah menyahut, pelan namun penuh tekad. "Ayah minta satu hal saja ...." Reina menunduk. Ia tahu permintaan ini akan datang. Dan seperti yang ia duga, Ayahnya ingin satu hal yang paling tak ingin ia bicarakan saat ini. "Menikahlah dengan Revan."Reina menghela napas berat, menatap sang Ayah yang kini menoleh padanya. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan ada kilat harapan di matanya yang tak sanggup Reina abaikan. Ini bukan hanya tentang perjodohan. Ini tentang hati seorang Ayah yang ingin melihat anaknya 'berumah tangga' sebelum waktu memisahkan mereka. Revan-anak teman ayah yang pernah dikenalkan ke Reina dua minggu lalu.
"Kenapa harus Revan, Yah?" tanya Reina, suaranya bergetar. "Kenapa juga aku harus segera menikah?" "Apa ada hal lain yang seorang Ayah harapkan dari melihat anaknya menikah lalu berumah tangga? Ayah cuma ingin ada yang menjaga Reina sebelum Ayah pergi." Reina terdiam. Air matanya tertahan di ujung pelupuk. Revan… lelaki yang bahkan belum pernah benar-benar ia kenal secara dalam. Hanya satu dua kali bertemu sebagai kenalan keluarga. Tapi sekarang… dia akan jadi suaminya? Dalam waktu hanya tiga hari, persiapan pernikahan berlangsung begitu cepat seolah dikejar kejar oleh sesuatu. Gaun pengantin, venue, undangan keluarga terbatas. Semuanya diatur oleh kedua belah pihak, terutama Ayah yang tiba-tiba terlihat lebih sehat, seolah dipenuhi semangat sejak Reina menyetujui pernikahan itu. Namun di balik kesibukan itu, Reina tahu… dia menyetujui pernikahan bukan karena cinta. Tapi karena penasaran. Karena instingnya berkata bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Ayah dan keluarga besar calon suaminya. Dan jika pernikahan ini adalah satu-satunya jalan untuk menguaknya, dia akan menjalaninya. Walau dengan resiko luka di akhir nanti. . . Hari pernikahan datang lebih cepat dari yang Reina bayangkan. Dalam balutan gaun putih sederhana dengan renda tipis di lengan, Reina duduk di ruang tunggu, jantungnya berdebar keras. Tangannya dingin, meski ruangan cukup hangat. "Nona Reina akan segera memasuki pelaminan," ujar salah satu panitia dengan senyum ramah. Reina hanya mengangguk pelan. Ia tidak tahu apakah Revan akan tersenyum padanya atau hanya mencoba tersenyum ramah seperti biasanya. Tapi setidaknya, Reina mungkin akan menemukan sesuatu. Pernikahan ini akan membukakan semua pertanyaan yang selama ini menggantung di kepalanya. Musik mulai mengalun. Reina menunduk, lalu perlahan bangkit ketika sinyal diberikan. Suara langkahnya bergema lembut, menyusuri karpet putih menuju altar. Lampu kristal berkilau, para tamu berdiri menyambut. Namun semua menjadi samar saat Reina tiba di depan pelaminan… dan melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Bukan Revan. Bukan pria yang wajahnya sudah ia kenali sejak beberapa waktu lalu. Itu… Arga. Mata Reina membelalak, napasnya tercekat. Lelaki bertubuh tinggi dengan wajah datar dan sorot mata tajam itu berdiri tenang, mengenakan setelan jas putih yang sempurna. Arga. CEO tempat Reina bekerja. Atasan langsungnya. Pria yang selama ini tak pernah menatapnya lebih dari sekadar rekan kerja. "Ada apa?" bisik Indah-sahabat di belakang Reina bersama dengan bridesmaid lainnya. Reina ingin bertanya hal yang sama. 'Ada apa ini?' Namun acara sudah dimulai. Suara penghulu mulai terdengar. Di tengah kekalutan, Reina menatap Ayahnya yang berada tepat di hadapannya. Ayah Reina tersenyum bahagia, seolah itulah yang benar benar Ayahnya inginkan, terlepas dari perasaan Reina. "Reina …" suara Arga terdengar sedingin biasanya. "Saya akan menjelaskan semuanya. Tapi sekarang … percaya saja dulu." 'Apa yang harus aku percaya? Bahwa pernikahan ini benar hanya keinginan sederhana Ayah? Atau tentang Revan yang pasti memiliki alasan yang kuat kenapa tiba-tiba gak muncul?' Reina menoleh cepat. "Kenapa Bapak?" bisiknya tajam. "Karena Revan gak datang, dan mau gak mau saya yang harus menggantikannya," jawab Arga tenang. Jantung Reina seakan berhenti berdetak. Bukan hanya pengantin yang berubah. Tapi seluruh jalur hidup yang dia pikir bisa ia prediksi—hancur begitu saja dalam sekejap. Dalam diam, akad berlangsung. Reina menjawab pelan, suaranya hampir tak terdengar. Saat para tamu bertepuk tangan, ia masih berdiri membeku, mencoba memahami semua. Kenapa... Arga?Reina tidak tahu di mana itu, atau apakah ia sedang berada di ambang kematian?"Aku sudah mati? Apa ini sungguh?" tanya Reina pada dirinya sendiri sembari menoleh ke setiap penjuru arah.Hingga terlihat seorang wanita dan pria yang tak asing baginya, berjalan ke arah Reina. Sontak senyum Reina merekah. Senyum bahagia yang sudah lama tak nampak. Senyum bahagia saat melihat Ayah dan Ibu-nya.Saat Ayah dan Ibu-nya sudah berada tepat di hadapannya, Reina langsung memeluk kedua orang itu secara bersamaan. Betapa bahagianya Reina bisa bertemu dengan kedua orang tuanya lagi. Seketika melupakan bahwa ada satu manusia lagi yang sedang menunggunya kembali, Arga yang sangat ingin Reina kembali padanya."Aku bahagia sekali bisa melihat Ibu dan Ayah lagi," ucap Reina setelah melepas pelukan dengan wajah bahagia campur terharu."Kami juga bahagia bisa bertemu kamu, sayang," ujar Ibu-nya seraya tersenyum penuh cinta."Aku gak mau hidup tanpa Ibu dan Ayah lagi. Aku mau sama sama Ibu dan Ayah!"Salah
"Kamu gakpapa, Bas?" tanya Arga pada Baskara yang berdiri."Saya gakpapa, Pak. Mengenai penculikan Bu Reina saya sudah tahu siapa dalangnya.""Bukankah Pak Samuel?""Ternyata orang lain, yaitu Pak Zico."Arga memasang wajah tak percaya begitu pun Tio. Samuel yang selama ini mengincar ingin menyakiti Reina, bagaimana mungkin bukan dia yang akhirnya berhasil melukai Reina."Bisa dipastikan 100 persen kalau Pak Samuel gak ada hubungannya dengan penculikan itu?" tanya Arga dengan wajah ragu."Saya dan tim sudah mengeceknya berkali kali, Pak."Setelah menunggu 1 jam lampu depan Ruang Operasi akhirnya padam. Pintu perlahan terbuka, dan Arga langsung menghampiri Dokter laki-laki yang berbeda dari saat di ambulance."Operasi berjalan lancar dan kami berhasil mengeluarkan pelurunya. Tapi, kondisi pasien dalam keadaan kritis karena peluru yang masuk cukup dalam hingga merusak beberapa pembuluh darah dan sempat kehilangan banyak darah juga. Kami butuh waktu untuk observasi di ICU," jelas Dokter.
Arga tahu seharusnya ia tidak senang terlebih dahulu saat melihat Reina karena situasi benar-benar menegangkan, namun Arga bersyukur ia masih bisa melihat Reina yang nampaknya baik-baik saja. Ketika Arga melangkah maju pria pria berbadan besar itu langsung siaga, bahkan ada yang menghampiri Arga.Sebelum diserang, Arga menyerang lebih dahulu. Melihat hal itu Reina langsung memasang wajah cemas dan banyak-banyak berdoa agar suaminya itu tidak terluka, karena jika Arga terluka maka pengorbanan Reina akan sia sia.Arga terus melawan orang orang itu yang tak ada habisnya menyerangnya, dan saat stamina Arga mulai menurun terlihat Arga yang lebih sering terkena pukulan, datang anak buahnya yang langsung mengambil alih. Melihat hal itu Arga langsung menghampiri Reina yang matanya berkaca-kaca, membuka ikatan pada tangan dan kaki Reina serta lakban kuning yang menutupi mulutnya.Bebas dari ikatan, Reina yang berdiri tepat di hadapan Arga, memeluk Arga. Arga pun membalasnya dengan wajah lega.
Arga telah kembali ke Kantor setelah sibukkan mengobrol dengan klien. Menghentikan langkah kaki tepat di depan meja Reina yang kosong. "Seseru itukah mengobrol dengan Indah sampai belum kembali, Re?" gumam Arga.Mengeluarkan handphone dari dalam saku jas, berjalan masuk ke dalam Ruang Kerja sembari menempelkan handphone pada telinga. Nomor yang Anda tujui sedang tidak aktif atau... seperti itulah jawaban yang terdengar di seberang sana."Gimana bisa nomor kamu gak aktif, Re," gumam Arga sembari mendudukkan diri di sofa single. Mencoba menelepon Reina sekali lagi di mana nomornya benar-benar tidak aktif. Raut wajah Arga pun seketika berubah khawatir.Karena tidak ingin membuang buang waktu dengan mencoba menunggu Reina lebih lama dan berpikiran baik kalau nanti Reina juga kembali, Arga menghubungi seseorang."Hallo, Pak Arga," ucap perempuan di seberang sana yang suaranya tidak asing."Kamu bersama Reina, kan? Tolong berikan handphonenya sama Reina. Saya meneleponnya tapi nomornya gak
Pagi telah datang menyapa Reina yang masih tertidur dalam dekapan Arga. Tiba-tiba handphone yang berada di atas nakas berdering, bunyinya mengisi seluruh ruang Kamar, membuat Arga membuka matanya lebih dahulu. Menyingkirkan tangan Reina yang memeluknya dengan perlahan, karena takut membangunkan. Kemudian, Arga mengambil handphone miliknya, menatap sebentar sebelum akhirnya mengangkat telepon itu. Setelah menerima telepon yang sebentar itu, Arga meletakkan kembali di atas nakas lalu menatap penuh cinta perempuan di sampingnya sembari tersenyum bahagia. Perlahan mata perempuan itu terbuka dan langsung berpapasan dengan manik mata sang suami. "Pagi, Mas," ucap Reina dengan suara pelan khas orang bangun tidur dan tersenyum lembut. "Pagi, Re." Seraya tersenyum. Lalu, Arga mendaratkan bibirnya di atas kening Reina. Mengecupnya lembut. "Mas Arga mau sarapan apa? Biar aku buatkan." Arga menggelengkan kepalanya. "Kali ini saya saja yang masak. Kamu mau apa?" Reina tersenyum. "Kalau aku kat
Reina memundurkan tubuhnya saat Arga masih meniup matanya yang katanya kelilipan. "Ada apa? Makin perih?" tanya Arga dengan tatapan khawatir.Reina tersenyum. "Aku ke Toilet dulu, Mas." Segera Reina melangkah pergi dari hadapan Arga. Arga membalikan tubuh ke arah Reina yang berdiri di depan lift.Keluar dari dalam lift, Reina berjalan sedikit cepat. Tidak membutuhkan waktu lama, Reina tiba di dalam Toilet perempuan. Masuk ke dalam salah satu bilik, baru saja menutup pintu, air mata langsung turun membasahi pipi.Melangkah mundur dengan salah satu tangan yang membekap mulut. Duduk di atas closet, Reina menangis dengan suara yang ditahan. Betapa terlihat menyedihkannya Reina. Kemarahan yang sudah ia bayangkan sebelumnya pun, tidak benar-benar ada.Maafin aku, Mas. Bukannya membuat hidup kamu lebih berwarna, tanpa aku tahu aku justru menempatkan kamu dalam bahaya. Aku sudah merusak hidup kamu yang tenang, Mas...Reina pun mulai membenci dirinya yang selama ini hanya diam, tidak berbuat a