Share

Tabir Hitam

Entah dinamakan sial atau keberuntungan, ponsel Kenzie kembali berdering dan sahabatnya meminta si tomboy itu untuk segera menemuinya di tempat kerja.

"Lu selamat untuk saat ini, tapi besok, jangan harap!" ucap Kenzie sambil menunjuk wajah Rion.

Pria bertubuh kerempeng itu hanya dapat mengangguk pasrah.

"Awas, besok gue akan kejar lu ke mana pun dan jawaban lu akan gue anggap utang! Ingat itu baik-baik, Rion!" ancam Kenzie sebelum dia pergi meninggalkan Rion.

Dada Rion yang terasa sesak seketika lega ketika melihat Kenzie menaiki sebuah bus. Hal itu cukup membuat pemuda bermata sipit itu dapat tenang, meskipun dia menyadari hal ini hanya sementara karena esok hari Kenzie pasti akan mengejarnya dan mencecar dengan begitu banyak pertanyaan.

Tin! Tin!

Suara klakson mobil yang tiba-tiba berada di hadapannya membuat Rion terperanjat.

"Maaf, Tuan muda. Saya tadi sudah mencoba memanggil, tetapi sepertinya Tuan muda Rion sedang melamun," ujar pria yang memakai breton hat di dalam mobil.

Rion tidak menjawab, dia membuka pintu dan duduk di kursi belakang, "Jalan!" titahnya.

Mobil Mercy warna hitam metalik itu akhirnya melesat ke rumah sakit sesuai apa yang telah diperintahkan oleh Rion.

**

Mobil berhenti di depan lobi rumah sakit. Rion turun, sedangkan sopir pribadinya memarkirkan mobil.

Rion melangkah menemui resepsionis untuk menanyakan ruangan Tuan Frederic dirawat. Tidak menunggu waktu lama, pemuda berkacamata itu melangkah ke ruangan yang telah diinfokan padanya.

Tepat di lantai lima, lift yang dinaiki Rion berhenti dan dia pun melanjutkan langkah ke kamar di mana kakeknya dirawat.

Pintu berwarna putih didorong oleh Rion. Di sana hanya ada Tuan Frederic yang terbaring dengan mata terpejam, oksigen yang terpasang pada bagian hidung, dan juga selang infus yang tersambung ke tangannya.

Rion melangkah perlahan-lahan dan berharap derap langkahnya tidak mengganggu istirahat sang Kakek. Namun, baru saja empat langkah, lelaki renta dengan rambut yang hampir semuanya memutih itu pun akhirnya membuka mata. "Ri-on?" Suara seraknya terdengar begitu pelan.

"Gimana keadaan Opa?" tanya Rion setelah dia meraih kursi, lalu mendudukinya di samping ranjang Tuan Frederic.

"Se-sak," jawab Tuan Frederic terbata.

"Opa istirahat saja. Aku akan menemani Opa di sini."

"Ti-dak. Aku i-ngin ber-cerita padamu, Ri-on." Suara Tuan Frederic terbata-bata. Dia seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi begitu sulit untuk berbicara. Terlebih saat ini napasnya terasa sesak.

"Opa ingin bicara apa? Kalau tidak kuat, istirahat saja dulu."

Tuan Frederic menggeleng. Dia begitu ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi bibirnya begitu sulit untuk berkata.

Pria sepuh itu terus berusaha untuk berbicara pada cucunya yang mewarisi hampir seluruh aset kekayaan keluarga Frederic, tetapi Rion kesulitan untuk mencerna maksud dari kakeknya tersebut.

"Selamat siang." Seseorang dari ambang pintu terdengar menyapa.

Kedua pria berbeda usia itu pun akhirnya menoleh ke arah sumber suara. "Siang, Dok," ucap Rion, sedangkan Tuan Frederic hanya tersenyum saja.

"Bagaimana keadaannya saat ini, Pak? Apakah dadanya masih terasa sakit?" Dokter itu bertanya begitu ramah kepada pasiennya.

Rion mendengarkan pertanyaan dokter untuk kakeknya tersebut. Pengecekan pun dilakukan oleh dokter dan asisten wanita yang hadir bersamanya. Setelah itu, Rion pun bertanya pada dokter tentang apa penyebab kakeknya sakit dan sesak seperti saat ini.

"Apa?!" Mata Rion membulat saat dokter itu membacakan hasil tes laboratorium yang dipegangnya.

Rion sama sekali tidak menyangka kenapa bisa seperti ini. Bagaimana mungkin kakeknya bisa keracunan di rumahnya sendiri? Apakah ada orang yang begitu membencinya, sehingga tega memberikan racun pada makanan sang Kakek?

"Aku akan memperkarakan hal ini pada pihak kepolisian, Opa." Rion berucap sambil menggenggam tangan Tuan Frederic setelah dokter dan asistennya pergi meninggalkan ruangan tersebut.

"Ti-dak semu-dah itu, Ri-on."

"Iya, aku tau, Opa, tapi paling tidak mereka pasti akan mengusut dan kita akan mengetahui dalang di balik rentetan peristiwa yang membuat Opa sampai seperti saat ini."

"Dan, se-te-lah ini. Pe-lakunya akan se-makin mem-buatku men-derita?"

"Maksud Opa?" Rion menyipitkan mata ketika Tuan Frederic bercerita.

Begitu susah payah, Tuan Frederic mengutarakan maksudnya. Lelaki sepuh itu meminta kertas dan ballpoint pada Rion, kemudian dia menuliskan inti dari prediksinya.

Hampir setengah halaman pada selembar kertas tertulis inti-inti kemungkinan yang menimpa Tuan Frederic. Awalnya Rion begitu berat untuk mempercayai kalau memang ada orang yang berusaha mencelakakan Tuan Frederic.

"Apa itu Mama Kemala?" ucap Rion dengan bola mata begitu tajam ketika bertanya pada kakeknya.

Tuan Frederic menggeleng. "A-ku ti-dak tau, ka-rena tidak mem-punyai buk-ti apa-apa."

Rion terdiam, memikirkan satu per satu orang yang mungkin saja bisa jadi tersangka atau terlibat dalam perencanaan pembunuhan kepada kakeknya. Terlebih, di rumah Tuan Frederic begitu banyak orang dan semuanya bisa saja menjadi tersangka.

Ini bukan perkara mudah bagi Rion. Pria tersebut ingin membawa masalah ini ke jalur hukum, tetapi Tuan Frederic menolaknya dengan alasan keselamatannya yang akan terancam. Apa mungkin seorang yang berpenampilan culun seperti Rion dapat mengungkap tabir hitam ini?

"Ri-on?" Tuan Frederic memanggil dan Rion pun terlihat sedikit kaget.

"Iya, Opa?"

"A-ku su-dah me-mutus-kan su-paya ka-mu terlibat un-tuk me-ngurus pe-rusahaan."

"Tapi tidak mungkin untuk saat ini, Opa. Aku juga tidak enak pada Kak Owen yang tiba-tiba harus mengubah kedudukannya?"

"A-ku ti-dak me-nyuru-mu se-perti itu. A-ku ha-nya ing-in, ka-mu i-kut me-mantau peru-sahaan."

Sejenak Rion terdiam dan menelaah apa yang dimaksud oleh kakeknya. Setelah beberapa saat, pria culun itu akhirnya mempunyai kesimpulan dan caranya sendiri untuk mengungkap perkara yang diyakini ada kaitannya antara keracunan pada Tuan Frederic dan perusahaan yang saat ini sedikit goyah.

"Te-mui Ow-en. Beri tau di-a, ka-lau ka-mu akan mem-bantu di Fre-deric corp."

"Baik, Opa," ucap Rion yang kemudian terlihat kaget ketika ada wanita yang masuk ke kamar inap Tuan Frederic. "Mama?" Mata Rion membulat saat melihat Kemala dan seorang perawat bersamanya.

"Kenapa?" tanya Kemala dengan pongah.

Ada perasaan cemas pada diri Rion ketika Kemala datang untuk menemani Tuan Frederic. Terlebih dia membawa seorang perawat dari luar untuk mengurus Tuan Frederic yang saat ini sedang sakit. Tidak menutup kemungkinan kalau perawat itu juga pesuruh Kemala, bukan? Rion akhirnya memutuskan pamit pada kakeknya untuk pergi ke perusahaan walau dengan berat hati.

***

Tepat jam tiga sore, ketika Owen masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya, Rion mengetuk pintu ruang kerja Kakak tirinya itu.

"Masuk!" jawab Owen dari dalam.

"Sore, Kak?" sapa Rion setelah pintu terbuka.

"Rion?" sepasang mata seorang pria yang mempunyai jambang tipis itu pun menyipit. "Tumben. Ada apa ke sini?" sambungnya dan akhirnya menyuruh Rion untuk duduk.

"Aku ada tugas magang dan ingin ditempatkan di sini, tapi aku tidak ingin mendapat jabatan tinggi seperti Kak Owen. Aku ingin menjadi karyawan biasa seperti halnya anak magang yang lain."

Owen tersenyum.

"Kenapa? Apa kamu belum siap untuk terkenal?" tanya Owen dengan bibir tersungging sarkastik.

"Tidak, Kak. Bukan seperti itu. Aku hanya tidak ingin pihak kampus merasa heran. Mana ada anak magang yang menduduki jabatan tinggi? Bisa-bisa aku dicurigai merupakan salah seorang dari anggota keluarga Frederic. Apa Kakak lupa, kalau identitasku di kampus saja dirahasiakan?"

Owen berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan mendekati sang Adik yang ada di depan meja kerjanya.

"Mungkin ini belum saatnya. Aku yakin, saat itu akan datang dan kamu akan menjadi pewaris tunggal di sini," ucap Owen sambil menepuk-nepuk pundak adik tirinya itu.

Setelah mengobrol cukup panjang, akhirnya Rion memutuskan untuk pulang, sedangkan Owen masih terlihat sibuk dan mengharuskannya untuk lembur.

"Pulang dan beristirahatlah. Mungkin aku akan pulang larut malam. Jaga kondisi badan, aku tidak ingin kau sakit, Rion." Sungguh terlihat kalau Owen begitu perhatian dan menyayangi Rion walau dia hanya adik tirinya.

Rion pun mengangguk dan berpamitan pada Owen. Pria culun itu akhirnya bangkit dari kursi dan keluar dari ruang kerja sang pemimpin perusahaan.

"Aduh!" ucap seorang wanita yang mengenakan pakaian hitam putih.

"Maaf, maaf, aku tidak sengaja," ucap Rion tanpa menatap wajah orang yang dia tubruk.

Pemuda berkacamata itu membantu memunguti lembar-lembar kertas berserakan yang keluar dari map. "Sekali lagi, aku minta maaf, ya?" Rion memberikan lembar kertas yang ada di tangannya.

"Rion? Lu ngapain ada di sini?" ucap perempuan tersebut yang ternyata Kenzie.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status