Hari Minggu pagi tepatnya pukul 6. Dwi sudah mulai berlatih pencak silat. Abah Encep terlihat sedang menguatkan pertahanan Dwi. Perempuan itu pun mengangkat wajahnya seperti menantang orang.
“Dwi, kamu itu jangan jadi sok jagoan,” nasehat Abah Encep.
Dwi yang mengubah posisi tubuhnya dari posisi kuda–kuda di pencak silat menjadi berdiri tegap. “Siapa yang pengen sok jadi jagoan Bah?” dia protes.
“Ya kamu, dari kelas satu sampai kelas tiga SD selalu peringkat satu. Terus nanti bakalan ikut seleksi olimpiade matematika di Kecamatan. Dwi, pencak silat itu membela diri, kamu harus mempunyai kepala yang sedamai suhu di Pangalengan,” jelas Abah Encep.
“Iya Bah,” ucap Dwi sambil menunduk.
“Ya sudah, minggu depan kamu boleh gabung ke Tim Pencak Silat Merpati Putih, latihannya di lapangan Balai Desa, kali ini Abah cuman ngecek fisik sama mental kamu, pencak silat bukan olahraga biasa! Sekarang, kamu boleh pulang buat bantu Ibu kamu jualan.”
“Baik, Bah.” Dwi mencium punggung tangan Abah Encep.
“Assalamu a’laikum,” ucap Dwi sambil berjalan meninggalkan halaman rumah Abah Encep.
“W*’alaikumussalam.” Abah Encep memperhatikan Dwi yang memakai pakaian pencak silat berwarna hitam. Saat olahraga Dwi sekilas terlihat seperti laki–laki.
# # #
Di lapangan bulu tangkis desa, suasana pagi menuju siang. Prawira diam menatap Dwi. Berpikir bahwa Dwi sedang mengalami masalah rumah tangga. Tampaknya Dwi tidak ahli mengatur emosinya kali ini.
“Setelah gantung raket, kita... jadi warga sipil ya, A?” Dwi mulai berbicara lagi.
“Memang iya Dwi, memangnya kita tiap detik di podium terus?” jawab Prawira.
“Ah... rasanya pengen keliling Pangalengan pake sepedanya Kakek deh.” Dwi pun bangkit dari duduknya.
“Memangnya itu sepeda masih bisa jalan?”
“Masihlah, dulu waktu aku jadi atlet, jarang aku pake, jadi ya masih kuat!” Dwi pun berjalan meninggalkan Prawira.
Prawira menghela napas. Mengapa Dwi masih saja memendam sesuatu yang membuatnya murung dalam tiga hari terakhir. Mungkin berbicara dengan Ridho adalah solusi.
# # #
Malam hari, Dwi baru pulang dari masjid. Habis belajar mengaji. Kata Pak Ustadz, Dwi sudah menghafal setengah dari juz 30 Alquran. Pak Ustadz menyarankan Dwi untuk mengikuti Lomba Hafalan Qur’an tingkat Kabupaten. Sari yang mendengar itu kagum dengan anak perempuan keduanya.
“Selyana, si Teteh jago eung, udah mah di sekolah suka peringkat satu, di pengajian hafalannya banyak, terus teh jadi wakil sekolah di Olimpiade Matematika tingkat Kecamatan, hayo teteh apalagi yang mau teteh dapetin?” Sari sangat antusias dengan kegiatan Dwi, sambil menggendong putri bungsunya, Selyana.
“Sari, Si Dwi jangan disuruh menang ini, itu atuh, nanti kecapean terus sakit kumaha? Biaya rumah sakit teh mahal,” ujar Ageung.
“Hah, dikit – dikit Dwi, hayo weh Si Dwi wae nu dibanggakeun, ieu atuh Ridho rek jadi insinyur!”
“Ridho ge hebat da!” Sari menghibur anak pertamanya.
Ridho pun pasrah. Dia cuman mendapat sisa pujian dari adik pertamanya.
“Bu, Pak, Dwi pengen latihan bulu tangkis.” Dwi angkat bicara.
“Eh, Dwi pengen jadi kayak Sasi Amanda? Yang juara olimpiade pertama kalinya buat Indonesia?” Ageung kaget dengan keinginan Dwi.
“Lain, hayang ngelehkeun Si Prawira!”
(Bukan, pengen mengalahkan Prawira!)
Ridho yang mendengar nama temannya disebut ikut kaget. Bagaimana bisa Dwi ingin mengalahkan seorang laki–laki yang sudah juara dunia junior di dunia bulu tangkis.
“Emang Prawira ngapain kamu sampe pengen ngalahin?” Ridho seperti kesal kepada sahabatnya.
“Dia nantangin aku main bulu tangkis kemarin A, dia bilang itu kekurangan aku, aku kesel kan!” Dwi menyilangkan tangannya, berharap orang tua dan kakaknya menyetujuinya berlatih bulu tangkis.
“Ya udah iya, sok latihan di PB. Tarumanagara ya.” Ageung secepat itu menyetujui keinginan Dwi.
“Ai Bapak, kumaha uangna?” Sari sebagai bendahara rumah tangga sangat prihatin dengan keuangan yang menipis, terlebih untuk bayar keperluan sekolah anak–anaknya.
“Bu, kita jualan leupeut lebih banyak aja! Dwi siap kok jualan lebih sering lagi!”
“Ai maneh iraha istirahatna?” tanya Ridho.
(Kamu kapan istirahatnya?)
“Tidur we tiga jam malem hungkul!”
(Tidur saja tiga jam malam saja)
Dwi meninggalkan keluarganya yang bingung dengan tekad anak perempuannya.
“Jangan bilang kamu latihan bulu tangkis buat ngalahin Prawira doang!” tegas Ridho.
“Kalau iya emang kenapa?” ucap Dwi dari balik tirai kamar.
“Pak, percuma, teu penting ngalahkeun si Prawira hungkul...” Ridho berharap uangnya buat dia kuliah saja.
(Pak, percuma, gak penting mengalahkan Prawira saja...)
“Mudah – mudahan we Si Dwi berubah pikiran, nanti dia bakal bawa Pangalengan keliling dunia.” Ageung berharap anaknya menyusul Prawira naik podium juara.
Di kamar Dwi asyik menulis diary. Menyalurkan semua hal yang tak mungkin dia katakan pada dunia. Dwi bertekad apa pun yang dia lakukan harus jadi yang terbaik di antara yang terbaik. Dengan latar tempat Rumah kayunya yang agak reyot, catnya yang mengelupas. Dia berkata:
“Jadi juara dunia bulu tangkis?”
# # # #
Wanita berkerudung hitam, memakai gamis biru, berjalan santai menuju rumahnya. Dia mencoba tersenyum, getir, berharap lengkungan bibirnya kembali. Orang – orang bilang dia butuh psikiater atau psikolog. Namun wanita itu berkilah. Dia menginginkan seseorang.
# # # #
Mari kita terbang ke Jiangsu, China di tahun 1987.
“Yuxuan Song, calon pianis muda kita! Dia akan mengikuti kompetisi musik piano besok!” kata Li Xiao, guru privat musiknya.
Wang Shan, ibunya Yuxuan tersenyum bangga dengan anaknya yang tampan diusianya yang ke – 7 tahun. Dia yakin suatu saat anak ini akan menjadi pria yang gagah dan kaya seperti tempat kelahirannya Jiangsu, provinsi paling maju di China.
“Yuxuan, persiapkan dirimu dengan baik, jangan coreng nama besar keluarga Song! Klan terbaik di Jiangsu!”
Yuxuan memberikan wajah datarnya pada kedua orang tuanya. Setiap yang dia lakukan pasti harus sesuai dengan keinginan orang tuanya. Dengan dalih keluarga Song adalah keluarga paling terhormat di Jiangsu.
Keesokan harinya, di gedung opera yang dijadikan tempat berlangsungnya kompetisi musik di Jiangsu. Yuxuan sudah siap dengan jas hitam, dan dasi kupu–kupunya. Dia berjalan dari balik panggung menuju piano yang berada di atas panggung. Para penonton diam memperhatikan permainan piano Yuxuan.
Melodi yang keluar dari tekanan tangan Yuxuan pada tuts piano sangat lembut sekaligus tegas. Hasilnya para penonton berdiri sambil bertepuk tangan. Beberapa jam kemudian, di pengumuman juara. Yuxuan menjadi juara. Yuxuan hanya tersenyum layaknya anak kecil yang gampang menerima hadiah dan pujian.
Yuxuan tidak puas bermain musik. Dia ingin berlari. Keluar dari sarang mewahnya.
# # # #
Saat hari masih gelap. Dwi sudah mempersiapkan bahan–bahan membuat leupeut. Dia membantu ibunya yang sibuk menyusui Selyana.
Sari melihat Dwi sangat rajin. Dia berharap tidak akan ada yang bisa menyakiti hati anak emasnya ini. Sari selalu menganggap Dwi adalah titisan dewi dari kahyangan. Dia harus bahagia. Dwi tidak boleh kecewa.
# # #
Di bengkel belakang rumahnya. Dwi berusaha memompa ban sepedanya. Sepeda tua ini sudah usang. Namun Dwi sekuat tenaga mempertahankan warisan kakeknya.
“Beli baru aja kali, susah amat.” Ridho melihat adiknya yang sudah menikah itu masih terlihat seperti wanita jomblo yang betah berkutat dengan masalah sendiri.
“Inikan sepeda dari Kakek, A.” Dwi berusaha membetulkan sepeda kakeknya.
“Dwi, urang ka Braga yuk,” ajak Ridho.
(Dwi, kita ke Braga yuk)
“Tumben ngajak.”
“Aa pengen denger kamu curhat, abisnya kamu gak pernah curhat sama Aa,” ujar Ridho sambil mempersiapkan mobil sedannya.
“Hayu atuhlah, Dwi mumet keneh yeuh!”
(Hayulah, Dwi masih mumet nih!)
Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih. “Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi. “Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya. “Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?” “Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas. (Cuek aja dong) Ibu Rinda
Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal. “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya. (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...) “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya. “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mend
Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih. Braga yang sepi dan estetik. “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?” (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?) Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab. “Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.” # # # # # Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya. “Maaf, Dwi telat bangunnya, kemar
Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan? “Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya. Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah. “Christian dari SD Tristan!!” “Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino. “Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman. “Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...” Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan. “Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamata
Beijing, China, Tahun 2005. Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China. “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing. “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki. &nbs
Suasana yang damai di Buah Batu. Sebuah wilayah di Kota Bandung. Tepatnya di perumahan kuno yang elit. Tinggal lah seorang perempuan berusia 14 tahun. Dia sedang memijat–mijat lutut kanannya yang menggunakan deker.* “Aurora, sudahlah, menyerahlah dengan keadaanmu, Ayah akan sediakan sekolah yang bagus buat kamu di Finlandia,” ujar seorang lelaki mencoba menghibur anaknya. “Aurora sebentar lagi akan dipanggil ke Pelatnas Ayah.” “Badan kamu itu rapuh, tidak cocok menjadi seorang atlet.” Perem
Di malam hari, Dwi memerhatikan raket yang diberikan Aurora kepadanya. Bosan pun menghampirinya. Dia turun ke lantai satu rumahnya dan memegang beberapa pialanya. Hadiah yang dia dapatkan dari membunuh harapan banyak orang dari berbagai negara... # # # # Seoul, Korea Selatan Tahun 1998 “Ri Na, mau ke mana??” Joo Won, seorang anak laki–laki berusia 10 tahun mengejar temannya yang sudah pamit mau pindah sekolah. “Aku bakal pindah sekolah ke Indonesia,” jawabnya sambil terburu–buru. “Jangan lupakan kami Ri Na!” pesan Ha Neul. “Aku gak akan lupain teman–teman pertama aku.” Seseorang
Di tengah lapangan, Dwi sudah siap menantang Prawira. Lelaki yang ditantang itu terlihat sedikit meremehkan. Lelaki itu yakin kalau jam terbang mampu mengalahkan perempuan berusia sepuluh tahun itu. “Aa tuh pulang cuman pengen cerita sama kamu, kalau tanding di luar negeri itu keren tahu, kamu malah nantangin hmm...” “Lagian Aa yang bilang kalau Dwi udah juara di tingkat Kabupaten/Kota Bandung, Dwi udah boleh ngelawan Aa!” Dwi terlihat membetulkan senar raketnya. “Aduh dah Dwi, izinkan Aa istirahat dulu, ini Aa pulang pengen ngeliat penerus Aa ya, junior Aa di sini, udah ya Dwi.” Prawira belum menemukan cara agar Dwi bertahan di bulu tangkis selepas mengalahkannya.