Share

Chapter 5: Tekad Selalu Ingin Jadi yang Nomor Satu

Hari Minggu pagi tepatnya pukul 6. Dwi sudah mulai berlatih pencak silat. Abah Encep terlihat sedang menguatkan pertahanan Dwi. Perempuan itu pun mengangkat wajahnya seperti menantang orang.

                “Dwi, kamu itu jangan jadi sok jagoan,” nasehat Abah Encep.

                Dwi yang mengubah posisi tubuhnya dari posisi kuda–kuda di pencak silat menjadi berdiri tegap. “Siapa yang pengen sok jadi jagoan Bah?” dia protes.

                “Ya kamu, dari kelas satu sampai kelas tiga SD selalu peringkat satu. Terus nanti bakalan ikut seleksi olimpiade matematika di Kecamatan. Dwi, pencak silat itu membela diri, kamu harus mempunyai kepala yang sedamai suhu di Pangalengan,” jelas Abah Encep.

                “Iya Bah,” ucap Dwi sambil menunduk.

                “Ya sudah, minggu depan kamu boleh gabung ke Tim Pencak Silat Merpati Putih, latihannya di lapangan Balai Desa, kali ini Abah cuman ngecek fisik sama mental kamu, pencak silat bukan olahraga biasa! Sekarang, kamu boleh pulang buat bantu Ibu kamu jualan.”

                “Baik, Bah.” Dwi mencium punggung tangan Abah Encep.

                “Assalamu a’laikum,” ucap Dwi sambil berjalan meninggalkan halaman rumah Abah Encep.

“W*’alaikumussalam.” Abah Encep memperhatikan Dwi yang memakai pakaian pencak silat berwarna hitam. Saat olahraga Dwi sekilas terlihat seperti laki–laki.

# # #

                Di lapangan bulu tangkis desa, suasana pagi menuju siang. Prawira diam menatap Dwi. Berpikir bahwa Dwi sedang mengalami masalah rumah tangga. Tampaknya Dwi tidak ahli mengatur emosinya kali ini.

                “Setelah gantung raket, kita... jadi warga sipil ya, A?” Dwi mulai berbicara lagi.

                “Memang iya Dwi, memangnya kita tiap detik di podium terus?” jawab Prawira.

                “Ah... rasanya pengen keliling Pangalengan pake sepedanya Kakek deh.” Dwi pun bangkit dari duduknya.

                “Memangnya itu sepeda masih bisa jalan?”

                “Masihlah, dulu waktu aku jadi atlet, jarang aku pake, jadi ya masih kuat!” Dwi pun berjalan meninggalkan Prawira.

                Prawira menghela napas. Mengapa Dwi masih saja memendam sesuatu yang membuatnya murung dalam tiga hari terakhir. Mungkin berbicara dengan Ridho adalah solusi.

# # #

                Malam hari, Dwi baru pulang dari masjid. Habis belajar mengaji. Kata Pak Ustadz, Dwi sudah menghafal setengah dari juz 30 Alquran. Pak Ustadz menyarankan Dwi untuk mengikuti Lomba Hafalan Qur’an tingkat Kabupaten. Sari yang mendengar itu kagum dengan anak perempuan keduanya.

                “Selyana, si Teteh jago eung, udah mah di sekolah suka peringkat satu, di pengajian hafalannya banyak, terus teh jadi wakil sekolah di Olimpiade Matematika tingkat Kecamatan, hayo teteh apalagi yang mau teteh dapetin?” Sari sangat antusias dengan kegiatan Dwi, sambil menggendong putri bungsunya, Selyana.

                “Sari, Si Dwi jangan disuruh menang ini, itu atuh, nanti kecapean terus sakit kumaha? Biaya rumah sakit teh mahal,” ujar Ageung.

                “Hah, dikit – dikit Dwi, hayo weh Si Dwi wae nu dibanggakeun, ieu atuh Ridho rek jadi insinyur!”

                “Ridho ge hebat da!” Sari menghibur anak pertamanya.

                Ridho pun pasrah. Dia cuman mendapat sisa pujian dari adik pertamanya.

                “Bu, Pak, Dwi pengen latihan bulu tangkis.” Dwi angkat bicara.

                “Eh, Dwi pengen jadi kayak Sasi Amanda? Yang juara olimpiade pertama kalinya buat Indonesia?” Ageung kaget dengan keinginan Dwi.

                “Lain, hayang ngelehkeun Si Prawira!”

                 (Bukan, pengen mengalahkan Prawira!)

                Ridho yang mendengar nama temannya disebut ikut kaget. Bagaimana bisa Dwi ingin mengalahkan seorang laki–laki yang sudah juara dunia junior di dunia bulu tangkis.

                “Emang Prawira ngapain kamu sampe pengen ngalahin?” Ridho seperti kesal kepada sahabatnya.

                “Dia nantangin aku main bulu tangkis kemarin A, dia bilang itu kekurangan aku, aku kesel kan!” Dwi menyilangkan tangannya, berharap orang tua dan kakaknya menyetujuinya berlatih bulu tangkis.

                “Ya udah iya, sok latihan di PB. Tarumanagara ya.” Ageung secepat itu menyetujui keinginan Dwi.

                “Ai Bapak, kumaha uangna?” Sari sebagai bendahara rumah tangga sangat prihatin dengan keuangan yang menipis, terlebih untuk bayar keperluan sekolah anak–anaknya.

                “Bu, kita jualan leupeut lebih banyak aja! Dwi siap kok jualan lebih sering lagi!”

                “Ai maneh iraha istirahatna?” tanya Ridho.

                (Kamu kapan istirahatnya?)

                “Tidur we tiga jam malem hungkul!”

                 (Tidur saja tiga jam malam saja)

                Dwi meninggalkan keluarganya yang bingung dengan tekad anak perempuannya.

                “Jangan bilang kamu latihan bulu tangkis buat ngalahin Prawira doang!” tegas Ridho.

                “Kalau iya emang kenapa?” ucap Dwi dari balik tirai kamar.

                “Pak, percuma, teu penting ngalahkeun si Prawira hungkul...” Ridho berharap uangnya buat dia kuliah saja.

                (Pak, percuma, gak penting mengalahkan Prawira saja...)

                “Mudah – mudahan we Si Dwi berubah pikiran, nanti dia bakal bawa Pangalengan keliling dunia.” Ageung berharap anaknya menyusul Prawira naik podium juara.

                Di kamar Dwi asyik menulis diary. Menyalurkan semua hal yang tak mungkin dia katakan pada dunia. Dwi bertekad apa pun yang dia lakukan harus jadi yang terbaik di antara yang terbaik. Dengan latar tempat Rumah kayunya yang agak reyot, catnya yang mengelupas. Dia berkata:

                “Jadi juara dunia bulu tangkis?”

# # # #

                Wanita  berkerudung hitam, memakai gamis biru, berjalan santai menuju rumahnya. Dia mencoba tersenyum, getir, berharap lengkungan bibirnya kembali. Orang – orang bilang dia butuh psikiater atau psikolog.  Namun wanita itu berkilah. Dia menginginkan seseorang.

# # # #

                Mari kita terbang ke Jiangsu, China di tahun 1987.

                “Yuxuan Song, calon pianis muda kita! Dia akan mengikuti kompetisi musik piano besok!” kata Li Xiao, guru privat musiknya.

                Wang Shan, ibunya Yuxuan tersenyum bangga dengan anaknya yang tampan diusianya yang ke – 7 tahun. Dia yakin suatu saat anak ini akan menjadi pria yang gagah dan kaya seperti tempat kelahirannya Jiangsu, provinsi paling maju di China.

                “Yuxuan, persiapkan dirimu dengan baik, jangan coreng nama besar keluarga Song! Klan terbaik di Jiangsu!”

                Yuxuan memberikan wajah datarnya pada kedua orang tuanya. Setiap yang dia lakukan pasti harus sesuai dengan keinginan orang tuanya. Dengan dalih keluarga Song adalah keluarga paling terhormat di Jiangsu.

                Keesokan harinya, di gedung opera yang dijadikan tempat berlangsungnya kompetisi musik di Jiangsu. Yuxuan sudah siap dengan jas hitam, dan dasi kupu–kupunya. Dia berjalan dari balik panggung menuju piano yang berada di atas panggung. Para penonton diam memperhatikan permainan piano Yuxuan.

                Melodi yang keluar dari tekanan tangan Yuxuan pada tuts piano sangat lembut sekaligus tegas. Hasilnya para penonton berdiri sambil bertepuk tangan. Beberapa jam kemudian, di pengumuman juara. Yuxuan menjadi juara. Yuxuan hanya tersenyum layaknya anak kecil yang gampang menerima hadiah dan pujian.

                Yuxuan tidak puas bermain musik. Dia ingin berlari. Keluar dari sarang mewahnya.

# # # #

                Saat hari masih gelap. Dwi sudah mempersiapkan bahan–bahan membuat leupeut. Dia membantu ibunya yang sibuk menyusui Selyana.

                Sari melihat Dwi sangat rajin. Dia berharap tidak akan ada yang bisa menyakiti hati anak emasnya ini. Sari selalu menganggap Dwi adalah titisan dewi dari kahyangan. Dia harus bahagia. Dwi tidak boleh kecewa.

# # #

                Di bengkel belakang rumahnya. Dwi berusaha memompa ban sepedanya. Sepeda tua ini sudah usang. Namun Dwi sekuat tenaga mempertahankan warisan kakeknya.

                “Beli baru aja kali, susah amat.” Ridho melihat adiknya yang sudah menikah itu masih terlihat seperti wanita jomblo yang betah berkutat dengan masalah sendiri.

                “Inikan sepeda dari Kakek, A.” Dwi berusaha membetulkan sepeda kakeknya.

                “Dwi, urang ka Braga yuk,” ajak Ridho.

                 (Dwi, kita ke Braga yuk)

                “Tumben ngajak.”

                “Aa pengen denger kamu curhat, abisnya kamu gak pernah curhat sama Aa,” ujar Ridho sambil mempersiapkan mobil sedannya.

                “Hayu atuhlah, Dwi mumet keneh yeuh!”

                 (Hayulah, Dwi masih mumet nih!)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status