Share

Insiden Skateboard

Kella berjalan melewati perumahan, dan bermacam toko. Pagi ini, dia akan berangkat ke sekolah seperti biasa. Lantunan syadu dalam mulutnya, bersenandung riang di jalanan yang sepi.

Sehingga tanpa sadar telah sampai di tujuan. Kella memasuki gerbang, dan berjalan menyapa pak satpam. Seperti kebiasaannya dulu, ketika masih berseragam putih biru.

Dia berangkat pada pukul 06.00. Sengaja kepagian, agar bisa membaca buku di perpustakaan sekolah. Kella melewati gedung kelas, lalu berjalan ke gedung sebelahnya.

Dia berhenti di depan perpustakaan. Lalu menarik nafasnya, bersiap memulai mencari sesuatu. Kella masuk ke dalamnya, yang sudah di buka setiap pukul 6 pagi.

Kemudian, dia mulai menyusuri setiap rak. Di sana bermacam buku, dimulai dengan buku pengetahuan, referensi, adat dan budaya. Serta yang dia cari, yaitu tentang peristiwa sekolahnya.

Senyum Kella tercetak, meski sedikit yang di perlihatkan. Dia mencari setiap bagian, dengan membaca setiap judul. Satu menit ia mencari tetapi tidak mendapatkan apapun, di buku yang dibaca tidak ada hal mencurigakan, bukunya bahkan berisi pendiri sekolah dan kegiatan sekolah.

Kella mulai pasrah dalam pencarian keduanya. Sepertinya akan gagal untuk kesekian kalinya, dari awal dia sudah ragu dengan keputusan untuk menyelidiki.

Kepala gadis itu ditempelkan pada rak buku. Ia merasa seperti di ambang keputusasaan, ketika tak ada petunjuk lain. 

Namun kakinya tidak ingin menyerah untuk mencari, “Nggak boleh nyerah, ayo Kella semangat!” ucapnya bersemangat.

Dia berjalan ke rak yang lain. Lalu matanya tertuju pada majalah usang, lesu dan berdebu di sela-sela buku. 

Lebih tepatnya di bagian dalam rak, buku tersebut berjudul ’Majalah terkini Teknikal 1’ ia melihat sampulnya, hingga menemukan bacaan ‘Tragedi seorang siswi’ dengan segera dia buka halaman tersebut.

Kella membaca dari atas sampai bawah. Lalu matanya menjadi fokus, dan melotot. Dia terlihat tampak syok, sehingga majalah tersebut terjatuh. 

“Siapa siswi di majalah ini?” tangannya bergetar, lalu mulutnya ia sumpal dengan telapak tangannya. “Apakah itu Eva?” mata gadis itu terurai dengan air, dia menangis. 

“Ta-tapi siapa yang melakukan ini?” Kella menggeleng tegas, bahwa tidak mungkin siswi yang terjatuh itu adalah Eva. Masalahnya jika benar itu sahabatnya, kenapa dia harus berada di tempat berbeda?

Apa yang harus dia lakukan? Matanya berubah menelusur, pergerakannya halus dan dipercepat. Tangannya mulai menjulur untuk menggapai majalah tersebut. 

Kemudian, Kella berhasil mengambil kembali majalah tersebut. Lalu membolak-balikkan dengan seksama dan teliti, barangkali ada petunjuk yang lain. Dia masih ingin tahu hal lainnya, mencari keterangan dan pengakuan yang lain.

Tapi sekarang sudah saatnya ke kelas. Jika tidak maka akan terlambat, hukuman juga akan diberikan untuknya.

Kella segera meletakkan majalah tersebut dengan rahasia, di dalam ransel. Dia tidak ingin memberitahu yang lain, dan tidak meminta izin pinjam pada petugasnya. Sementara itu, ia mencari buku referensi yang lain agar petugas tidak curiga terhadapnya.

Kakinya menuju resepsionis, dengan muka masih tegang, dan sebisa mungkin untuk tidak terlihat.

“Bu, boleh pinjam ini?” Kella menunjuk buku pengetahuan fisika. Petugas tersebut menoleh padanya, “Silahkan, mana kartu perpustakaan kamu?” tanyanya.

Kella mengerutkan keningnya, “Kartu? Seperti apa, Bu?” tanya kembali. Petugas tersebut mulai mencari kartu tersebut, lalu menunjukkan. 

“Seperti ini,” jawabnya.

Kella tidak tahu mengenai kartu perpustakaan. Dulu ketika di sekolah waktu SMP tidak ada penggunaan kartu, karena mereka di wajibkan untuk membaca di tempat.

“Kamu siswa kelas sepuluh?” Gadis itu mengangguk. “Kalau kelas sepuluh belum saya bagikan, masih dalam tahap pengerjaan.” Ujar petugas tersebut dengan ramah.

Wajah Kella yang mengkerut berubah menjadi muram. “Berarti saya tidak boleh pinjam ini dong, Bu?” tanyanya kepada petugas.

“Benar, mungkin dua minggu baru jadi. Di tunggu saja pemberitahuan yang baru,” jelas petugas tersebut. 

Kella mengangguk dengan masam, “Baik, Bu!” jawabnya. Lalu bukunya diletakkan di rak samping resepsionis, setelahnya ia pergi ke kelas.

•••

Kella berjalan di koridor kelas. Matanya menatap penuh berani dan percaya diri, meski banyak mata tertuju padanya. Baginya mereka hanya angin lalu yang hanya bisa bergosip tanpa tahu kebenaran.

Kella tidak keberatan atas kelakuan mereka. Dia hanya ingin sekolah dengan damai, serta mengungkap sebuah ketidakadilan. Kella yang selalu tertawa bersama kedua orang disayangi, menjadi orang yang tertutup setelah kejadian bundanya dan Eva.

Kella berjalan dengan santai tanpa tergesa-gesa. Tapi tiba-tiba tiga orang dari arah depan mengepungnya, mereka yang menggunakan skateboard. Mereka berlintas ke arahnya, membuat mata gadis itu memekik tajam, serta meneguk salivanya. Dia terkejut sehingga tubuhnya menjadi kaku, dan tidak bisa menghindar.

“Awas!!” Kella menoleh kepada pemilik suara teriakan tersebut. Namun sebelum sempat menoleh, tubuhnya terhuyung menjauh dengan cepat. 

Mata cokelat mahoni miliknya bertemu dengan manik mata hitam kelam lelaki penolong. Tubuhnya disangga oleh tangan kekar milik si penolong, serta parasnya yang menawan sedikit menggelitik hatinya.

Kella tidak tahu harus merasa senang ataupun sedih. Dia belum pernah melihat wajah, hidung, alisnya yang tebal serta paras yang membuat hatinya tergelitik. 

“Ehm, apa kalian berdua ingin terus berpelukan?” Suara lelaki berkulit sawo matang mencairkan suasana di antara mereka. 

Reflek mereka berdua saling melepaskan. Kella sebenarnya merasa malu, baru kali ini ia berpelukan dengan seorang pria, apalagi dia adalah ketua osis. 

Sementara, lelaki tersebut melirik sekilas dengan perasaan gugup. “Maaf,” pintanya pada Kella.

Kella segera mungkin mengembalikkan citranya, dia merapikan ransel. “No problem, thanks Kak Azam.” Ia mengatakan dengan perasaan tercampur aduk. Azam mengangguk, lalu meninggalkan Kella bersama lelaki berkulit sawo matang.

Lelaki tersebut berbicara, “Hai, kenalin namaku Rehan! Nama kamu?” Ia menjulurkan tangannya, untuk berjabat tangan. 

Kella memasang muka datar, “Kella.” Jawabnya singkat dan padat, tanpa membalas uluran tangan. Rehan tersenyum manis memunculkan pipi lesungnya, meski gadis itu bersikap cuek. 

Rehan menarik uluran tangannya. “Okhey, aku pergi dulu.” Dia pamit untuk menyusul Azam yang telah menghilang dari pandangannya. kella hanya mengangguk, sembari melirik sekilas pada kakak kelasnya.

Kella ditinggal sendiri dengan banyak mata iri tertuju padanya. Dia mengangguk bahu tidak perduli, lalu meneruskan jalannya ke kelas.

Sementara itu di sebalik tembok ada tiga gadis tengah bersembunyi. Lokasinya berdekatan dengan tangga, dan gudang bola.

Dia memasang kemurkaan di wajahnya, dengan mata tajam penuh benci. Tubuhnya seakan menjadi api yang menyala, dengan asap kecemburuan yang kelabu.

“Ck, kenapa tidak jatuh saja! Sialan!” geramnya melihat gadis yang dia benci semakin dekat dengan pujaan hati. 

Dia mengepal tangan, “Awas saja! Kali ini gagal, tapi lain hari tidak ku biarkan!” pekiknya. 

••• 

Kella meletakkan ransel di kursinya. Lalu tubuhnya ia dudukan, rasanya seperti mimpi yang samar. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa, hanya bisa berdiam beku.

“Hai! Kamu Kella, kan? kita bertemu lagi,” sapanya dengan seru. Kella menoleh, terlihat jelas gadis yang berkenalan dengannya memakai pita hello kitty, dia bersikap ramah.

“Hai, kamu bukanya yang waktu MOS, kan?” tanya Kella kembali. Lalu gadis tersebut mengangguk padanya, sembari tersenyum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status