Mama segera menaikkan kerah bajunya.
"Iya, kecapean dan kedinginan waktu di puncak. Airnya dingin sekali. Badan Mama yang udah jompo ini, gak tahan rupanya. Jadi masuk angin deh!" Aku tersenyum tipis. Bukannya kata mama di kamar mandinya ada shower air hangat? Duh benar-benar memusingkan. "Kalian teruskan makannya ya. Mama gak enak badan beneran. Mau tiduran aja." Mama sudah berdiri dari duduknya, tetapi mama sempoyongan. Aku dan mas Gio segera membantu mama berjalan menuju kamar. "Ma, Gio bakalan sibuk banget minggu ini. Mama jangan sakit ya." Ibu mertua mengangguk lemas. "Sayang, mama agak demam nih, tolong ambilkan obat demam dan air hangat ya." "Oke, Mas." Aku pun segera ke dapur. Papa baru keluar kamar dengan mata panda. Jelas sekali papa baru banget bangun tanpa cuci muka lebih dulu. "Tumben sepi, pada ke mana?" tanya papa terheran. "Mama Sofi sakit, Pa. Ini air dan obat untuk mama." Belum lagi aku tuntaskan ucapanku, papa langsung berlari menghampiri kamar mama Sofi. Inikah namanya bucin? "Kamu gak papa?" Apa, aku, kamu? Seserius ini papa dengan ibu mertuaku? "Gak papa, Mas, cuma demam biasa. Nanti minum obat juga sembuh. Mana, sini obatnya." Mama pun meminum obat yang aku bawakan. "Ma, Gio berangkat ya?" mas Gio menyentuh pipi mama Sofi dengan lembut. Hal yang seharusnya membuatku terharu, malah membuatku cemburu. "Iya, udah sana! Mama gak papa." "Jangan kelamaan sakitnya. Jangan pecicilan kalau demamnya udah reda. Gio berangkat ya." Mas Gio menciyum pipi mama. Lalu mencium pipiku juga. "Mas, saya mau istirahat dulu." "Ah, iya, maaf, saya keluar ya. Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja saya." Aku tersenyum melihat papa yang begitu peduli pada mama Sofi. Papa sepertinya sudah cinta berat, sedangkan mama Sofi mungkin baru nyaman saja. Rumah sepi. Mama di kamar tidur, papa pun sedang bekerja lewat zoom. Lalu aku, merasa bosan sendirian di rumah. Sudah jam dua belas siang. Aku pun turun untuk melihat keadaan mama. Tidak ada di kamarnya. Suara pintu kamar mandi di luar membuatku menoleh. "Ma, kenapa?" tanyaku pada mama yang keluar dari kamar mandi dengan wajah basah. "Mama habis cuci muka. Lengket banget dari pagi belum cuci muka," jawabnya pelan. Aku memapah mama masuk ke kamarnya lagi. Mama berbaring sambil memegang perutnya. "Kita ke dokter aja yuk, Ma. Kalau Mama tambah lemes gini, kayaknya harus buru-buru ke dokter." Mama menggelengkan kepala. "Mama gak papa. Tolong pesankan sop iga. Mama makan itu saja." "Oh, baik, Ma, Bunga pesankan dulu." Aku bergegas naik ke kamar karena ponselku tertinggal di sana. Aku memesan dua porsi sop iga dan juga dua porsi tempe mendoan. Biar aku dan pap juga bisa makan. Aku juga memesan jus buah tanpa gula untuk mama dan papa karena di kulkas tidak ada stok buah untuk aku jus. Ueek! Ueek! Samar-samar aku mendengar mama mual. "Paket!" Aku bangun dari duduk saat mendengar seruan driver food order yang membawa pesanan makan siangku. "Loh, Bunga ya?" aku mengerutkan kening saat namaku disebut ulang oleh pengemudi itu. Ia membuka helmnya, lalu tersenyum padaku. "Ya, ampun, Helmi? Lo, Helmi'kan?" "Iya, Nga. Gue Helmi." Wajahnya seperti malu-malu. "Lu ngojek? Eh, maksudnya lu sekarang kerjanya ini?" tanyaku setengah tidak percaya. "Iya, bokap meninggal. Jadinya ya, gitulah, ceritanya panjang. Gak sangka gue nganter makanan ke rumah lu. Lu udah pindah ya." Aku mengangguk. "Makasih ya, Hel." "Sama-sama, Bunga. Salam buat suami lu." "Iya, nanti gue sampein. Salam juga untuk Citra." Helmi mengangguk dan lekas naik kembali ke motornya. Tidak aku sangka, Helmi yang anak pejabat menjadi driver ojol. Dahulu, saat masih SMP, hanya Helmi yang paling tajir di kelas. Karena pergi dan pulang dianter sopir dan ada bodyguard yang menunggu di sekolah. Itulah namanya roda kehidupan. Kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Wajah tampannya sudah tidak nampak lagi. Aku memberikan tip lima puluh ribu dengan bintang lima juga untuk teman SMP-ku itu. "Mama, ini makanannya sudah ada!" Seruku sambil mengetuk pintu kamar mama. Tidak ada sahutan, aku takut mama pingsan, sehingga aku memutuskan untuk membuka saja pintu kamar ibu mertuaku. Mama tertidur pulas. Mama terlihat benar-benar tidak sehat. Lagian, siapa suruh ikut nyusul ke Puncak? Jadi sakit deh! Di samping mama, ada ponselnya yang kelap-kelip. Tanda ada panggilan masuk. Aku berjalan jinjit untuk mengetahui siapa yang menelepon. Sayang Keningku mengerut dalam. Siapa Sayang? A-apa mas Gio? Gak mungkin suamiku nama kontaknya se!ntim itu dinamai mama. Ting! Sayang Yank, kenapa gak angkat telepon aku? Masih gak enak badan? Bersambung"I-ni, Ma, t-tadi saya mau cari kartu keluarga yang seingat saya ada di lemari ini. Terus pas saya nyari, saya gak sengaja jatuhin tas Mama. Maaf ya, Ma." Mama langsung cemberut. Wajahnya antara panik dan juga kesal. "Mama memang selama ini gak pernah cerewet sama kamu, Bunga. Mungkin kamu termasuk menantu yang beruntung karena Mama mau bekerja seperti pembantu di rumah kamu ini, tetapi bukan berarti kamu bisa tidak sopan. Apalagi kamu bukan hanya menjadi menantu, tetapi akan jadi anak sambung Mama, jdi tolong kamu sopan!""Iya, Ma, maaf ya. Saya permisi, Ma. Kartu keluarganya gak ada di kamar Mama rupanya." Aku segera keluar dari kamar. Jantung ini rasanya sedikit nyeri. Kaki dan tanganku mendadak dingin hingga terasa ke perut. Masih ada hari esok. Jika nanti mama pergi ke suatu tempat, maka aku baru memeriksa kembali. Ada bukti apa yang bisa aku temukan di kamar itu. Aku tidak keluar lagi sampai langit berubah gelap. Aku rasa, mama pun juga. Makanan yang aku pesan online, sudah t
"Bunga, hey! Kenapa, Sayang?" "Lepas, Mas! Aku dengar semua apa yang kamu katakan pada mama. Oh, jadi selama ini, kamu memiliki perasaan lain sama mama. Itu dosa besar! Kamu gila, Mas! Kamu sakit, kamu kelainan! Aku benci kamu, Mas! Ceraikan aku! Aku gak mau hidup dengan pria sakit seperti kamu! Ceraikan aku, ceraikan, Mas!" "Bunga, ada apa? Kamu mimpi apa? Kenapa mimpinya serem, Sayang?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata aku masih berada di kamarku. Bola mataku bergerak liar memastikan bahwa aku benar-benar aku tidak sedang bermimpi. Namun, mimpi itu sangat jelas aku alami. Tapi.... "Mas, ini jam berapa? A-aku mimpi apa? M-maksudnya aku bilang apa?" tanyaku masih setengah tidak percaya. "Kamu minta cerai. Kamu meracau tidak jelas. Tunggu, aku ambilkan air." Mas Gio meraih gelas di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, lalu ia berikan padaku. "Mas, ini hari apa?""Senin, kenapa?""Mama dan papa udah pulang?" "Udah, aku yang bukain pintu tadi. Ini sudah jam dua. M
"Bunga, hey! Kenapa, Sayang?" "Lepas, Mas! Aku dengar semua apa yang kamu katakan pada mama. Oh, jadi selama ini, kamu memiliki perasaan lain sama mama. Itu dosa besar! Kamu gila, Mas! Kamu sakit, kamu kelainan! Aku benci kamu, Mas! Ceraikan aku! Aku gak mau hidup dengan pria sakit seperti kamu! Ceraikan aku, ceraikan, Mas!" "Bunga, ada apa? Kamu mimpi apa? Kenapa mimpinya serem, Sayang?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata aku masih berada di kamarku. Bola mataku bergerak liar memastikan bahwa aku benar-benar aku tidak sedang bermimpi. Namun, mimpi itu sangat jelas aku alami. Tapi.... "Mas, ini jam berapa? A-aku mimpi apa? M-maksudnya aku bilang apa?" tanyaku masih setengah tidak percaya. "Kamu minta cerai. Kamu meracau tidak jelas. Tunggu, aku ambilkan air." Mas Gio meraih gelas di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, lalu ia berikan padaku. "Mas, ini hari apa?""Senin, kenapa?""Mama dan papa udah pulang?" "Udah, aku yang bukain pintu tadi. Ini sudah jam dua. M
Part 9"Mbak, papa nginep di rumah Mbak Bunga?""Iya, Dre. Masih betah, kenapa?""Rumah sepi banget, Mbak. Cuma aku sama bibik. Bibik juga ngetem di kamar. Aku mau ajak temen nginep. Bilangin papa, boleh gak? Aku telepon papa, HP-nya gak aktif. Emang papa ke mna, Mbak?" aku melihat jam dinding yang sudah berada di angka sepuluh. Suamiku belum pulang, begitu juga papa dan mama Sofi yang sejak ijin pergi ke rumah sakit, belum ada pulang ke rumah dan belum juga kasih kabar. "Papa lagi keluar. Ada urusan katanya. Nanti Mbak bilangin. Temen kamu cowok'kan?""Iya, Mbak, temen kampus dua orang. Makasih Mbak-ku Sayang. Udah dulu ye." Panggilan dari Andre terputus. Aku kembali menelepon papa, masih sama, nada sambungnya sibuk. Ke mana sih? Pintu pagar terbuka. Rupanya mas Gio yang pulang dengan motornya. Aku membuka pintu rumah untuk menyambut suamiku. "Loh, aku kirain kamu udah tidur, Sayang. Tumben, jagain pintu!" Ia tersenyum begitu lebar setelah itu berhasil membuka hem full cap yang ia
Part 8"Bunga, ada apa? Kenapa HP Mama ada di tangan kamu?" aku sontak melemparkan ponsel logo apel digigit itu ke atas ranjang mama karena benar-benar kaget dengan suara mama. "Oh, itu, anu, ponsel Mama tadi jatuh di lantai, jadinya maksud saya mau dinaikin lagi ke ranjang. Itu, Ma, saya ada beli sop iga kalau Mama mau makan." Mama sudah menggenggam ponselnya dengan kuat. "Iya, nanti Mama turun makan. Kamu siapkan saja.""Baik, Ma." Aku segera pamit undur diri. Kali ini bukan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk mama, melainkan pergi ke kamar papa. Aku ketuk dua kali, lalu aku tekan kenop pintu. Papa malah asik berdiskusi di depan laptopnya. Apa pesan tadi dari papa? Kenapa manggil sayang? Apakah sudah sedekat itu? Aku menutup pintu kembali, lalu bergegas ke dapur. Aku menyiapkan nasi dan juga sayur sop iga untuk mama. Jujur aku sangat penasaran siapa yang nama kontaknya Sayang. Apa mama punya pacar lain selain papa? Maksudku apa ada lelaki lain yang mendekati mama selain
Mama segera menaikkan kerah bajunya. "Iya, kecapean dan kedinginan waktu di puncak. Airnya dingin sekali. Badan Mama yang udah jompo ini, gak tahan rupanya. Jadi masuk angin deh!" Aku tersenyum tipis. Bukannya kata mama di kamar mandinya ada shower air hangat? Duh benar-benar memusingkan. "Kalian teruskan makannya ya. Mama gak enak badan beneran. Mau tiduran aja." Mama sudah berdiri dari duduknya, tetapi mama sempoyongan. Aku dan mas Gio segera membantu mama berjalan menuju kamar. "Ma, Gio bakalan sibuk banget minggu ini. Mama jangan sakit ya." Ibu mertua mengangguk lemas. "Sayang, mama agak demam nih, tolong ambilkan obat demam dan air hangat ya.""Oke, Mas." Aku pun segera ke dapur. Papa baru keluar kamar dengan mata panda. Jelas sekali papa baru banget bangun tanpa cuci muka lebih dulu. "Tumben sepi, pada ke mana?" tanya papa terheran. "Mama Sofi sakit, Pa. Ini air dan obat untuk mama." Belum lagi aku tuntaskan ucapanku, papa langsung berlari menghampiri kamar mama Sofi. Inik