Share

7. Panggilan Sayang

last update Last Updated: 2025-06-17 23:51:16

Mama segera menaikkan kerah bajunya.

"Iya, kecapean dan kedinginan waktu di puncak. Airnya dingin sekali. Badan Mama yang udah jompo ini, gak tahan rupanya. Jadi masuk angin deh!" Aku tersenyum tipis. Bukannya kata mama di kamar mandinya ada shower air hangat? Duh benar-benar memusingkan.

"Kalian teruskan makannya ya. Mama gak enak badan beneran. Mau tiduran aja." Mama sudah berdiri dari duduknya, tetapi mama sempoyongan. Aku dan mas Gio segera membantu mama berjalan menuju kamar.

"Ma, Gio bakalan sibuk banget minggu ini. Mama jangan sakit ya." Ibu mertua mengangguk lemas.

"Sayang, mama agak demam nih, tolong ambilkan obat demam dan air hangat ya."

"Oke, Mas." Aku pun segera ke dapur. Papa baru keluar kamar dengan mata panda. Jelas sekali papa baru banget bangun tanpa cuci muka lebih dulu.

"Tumben sepi, pada ke mana?" tanya papa terheran.

"Mama Sofi sakit, Pa. Ini air dan obat untuk mama." Belum lagi aku tuntaskan ucapanku, papa langsung berlari menghampiri kamar mama Sofi. Inikah namanya bucin?

"Kamu gak papa?"

Apa, aku, kamu? Seserius ini papa dengan ibu mertuaku?

"Gak papa, Mas, cuma demam biasa. Nanti minum obat juga sembuh. Mana, sini obatnya." Mama pun meminum obat yang aku bawakan.

"Ma, Gio berangkat ya?" mas Gio menyentuh pipi mama Sofi dengan lembut. Hal yang seharusnya membuatku terharu, malah membuatku cemburu.

"Iya, udah sana! Mama gak papa."

"Jangan kelamaan sakitnya. Jangan pecicilan kalau demamnya udah reda. Gio berangkat ya." Mas Gio menciyum pipi mama. Lalu mencium pipiku juga.

"Mas, saya mau istirahat dulu."

"Ah, iya, maaf, saya keluar ya. Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja saya." Aku tersenyum melihat papa yang begitu peduli pada mama Sofi. Papa sepertinya sudah cinta berat, sedangkan mama Sofi mungkin baru nyaman saja.

Rumah sepi. Mama di kamar tidur, papa pun sedang bekerja lewat zoom. Lalu aku, merasa bosan sendirian di rumah. Sudah jam dua belas siang. Aku pun turun untuk melihat keadaan mama.

Tidak ada di kamarnya. Suara pintu kamar mandi di luar membuatku menoleh.

"Ma, kenapa?" tanyaku pada mama yang keluar dari kamar mandi dengan wajah basah.

"Mama habis cuci muka. Lengket banget dari pagi belum cuci muka," jawabnya pelan. Aku memapah mama masuk ke kamarnya lagi. Mama berbaring sambil memegang perutnya.

"Kita ke dokter aja yuk, Ma. Kalau Mama tambah lemes gini, kayaknya harus buru-buru ke dokter." Mama menggelengkan kepala.

"Mama gak papa. Tolong pesankan sop iga. Mama makan itu saja."

"Oh, baik, Ma, Bunga pesankan dulu." Aku bergegas naik ke kamar karena ponselku tertinggal di sana. Aku memesan dua porsi sop iga dan juga dua porsi tempe mendoan. Biar aku dan pap juga bisa makan. Aku juga memesan jus buah tanpa gula untuk mama dan papa karena di kulkas tidak ada stok buah untuk aku jus.

Ueek! Ueek!

Samar-samar aku mendengar mama mual.

"Paket!" Aku bangun dari duduk saat mendengar seruan driver food order yang membawa pesanan makan siangku.

"Loh, Bunga ya?" aku mengerutkan kening saat namaku disebut ulang oleh pengemudi itu. Ia membuka helmnya, lalu tersenyum padaku.

"Ya, ampun, Helmi? Lo, Helmi'kan?"

"Iya, Nga. Gue Helmi." Wajahnya seperti malu-malu.

"Lu ngojek? Eh, maksudnya lu sekarang kerjanya ini?" tanyaku setengah tidak percaya.

"Iya, bokap meninggal. Jadinya ya, gitulah, ceritanya panjang. Gak sangka gue nganter makanan ke rumah lu. Lu udah pindah ya." Aku mengangguk.

"Makasih ya, Hel."

"Sama-sama, Bunga. Salam buat suami lu."

"Iya, nanti gue sampein. Salam juga untuk Citra." Helmi mengangguk dan lekas naik kembali ke motornya. Tidak aku sangka, Helmi yang anak pejabat menjadi driver ojol. Dahulu, saat masih SMP, hanya Helmi yang paling tajir di kelas. Karena pergi dan pulang dianter sopir dan ada bodyguard yang menunggu di sekolah.

Itulah namanya roda kehidupan. Kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Wajah tampannya sudah tidak nampak lagi. Aku memberikan tip lima puluh ribu dengan bintang lima juga untuk teman SMP-ku itu.

"Mama, ini makanannya sudah ada!" Seruku sambil mengetuk pintu kamar mama. Tidak ada sahutan, aku takut mama pingsan, sehingga aku memutuskan untuk membuka saja pintu kamar ibu mertuaku. Mama tertidur pulas. Mama terlihat benar-benar tidak sehat. Lagian, siapa suruh ikut nyusul ke Puncak? Jadi sakit deh!

Di samping mama, ada ponselnya yang kelap-kelip. Tanda ada panggilan masuk. Aku berjalan jinjit untuk mengetahui siapa yang menelepon.

Sayang

Keningku mengerut dalam. Siapa Sayang? A-apa mas Gio? Gak mungkin suamiku nama kontaknya se!ntim itu dinamai mama.

Ting!

Sayang

Yank, kenapa gak angkat telepon aku? Masih gak enak badan?

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   67. Semua Kembali pada Perbuatan

    "Permisi." Hanya itu yang bisa terucap dari bibirku saat berpapasan dengan Bunga dan suaminya. Rasa malu hati ini sangat tinggi bila mengingat apa yang telah aku lakukan pada Bunga di masa lalu. Bunga sudah bahagia dan aku tidak boleh mengusiknya. Jika suami Bunga menoleh sekilas ke arahku, maka Bunga langsung membuanh muka. Aku sadar dan mengerti ia tidak sudi melihat wajahku lagi. Langsung saja aku masuk menemui pemilik bengkel. Jantung ini yang sempat berdetak cepat, perlahan normal kembali saat pintu ditutup oleh pak Hutama. "Om saya udah cerita tentang kamu. Staf administrasi saya resign karena melahirkan. Bengkel ini butuh staf baru yang bisa mengatur dan melaporkan semua kegiatan serta kinerja bengkel. Karena saya di sini ada dua bengkel, motor dan mobil, saya gak mau asal-asalan mengelolanya. Harus tepat dan bagus seperti bengkel resmi lainnya.""Iya, Pak, saya mudah-mudahan bisa belajar. Saya sudah kirim CV by email.""Ah,iya, saya memang lihat ada email masuk, tapi belum

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   66. Ziarah

    PoV GioDua Tahun KemudianHari ini tiba waktunya. Setiap detik yang berjalan sejak aku membuka mata pagi tadi, hari inilah yang paling aku nantikan. Bisa menghirup udara bebas di luar jeruji besi. Aku tersenyum pada petugas lapas yang mengantarku sampai pintu depan. "Jalani hidup baik, maka kebaikan akan datang padamu. Jangan lupa pergi ke alamat yang saya kasih." Aku terharu. Sekali lagi aku menyalami Pak Farid. Satu-satunya petugas lapas yang tegas padaku, tetapi juga baik. Bahkan ia memberikan kartu nama sebuah bengkel mobil, di mana keponakannya pemilik di sana. "Makasih Pak Farid. Nanti saya pergi ke sini. Makasih atas nasihat Bapak selama saya dibina di sini. Semoga hidup saya bisa lebih baik." Aku pun melangkah dengan penuh harap masa depan yang akan aku jalani nanti. Pria itu baik sekali. Ia bahkan menyelipkan uang tiga ratus lima puluh ribu di tasku. Uang yang akan aku gunakan untuk ongkos pulang ke kampung. Aku menyetop angkot. Tujuanku saat ini salah pemakanan. Aku rind

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   65. Munculnya Shofi

    "Heh, kamu, buka pintunya! Majikan pulang malah bengong aja!" Uti tentu saja tidak paham maksud Sofi. Apalagi dengan bibik yang berdiri di belakang Uti, lebih tidak paham lagi. "Ya ampun, kamu pembantu di rumah ini'kan? Aku lupa nama kamu, Bik. Tolong buka pintunya. Aku mau masuk. Suamiku mana?" cecar Sofi lagi seolah-olah tidak ada masalah. Bibik hendak membukakan pintu, tapi ragu. "Kayaknya Ibu salah alamat. Di sini, saya majikannya." Uti masuk ke dalam rumah, foto pernikahan besar yang belum sempat dipajang, ia bawa ke depan. "Ini, saya nyonya di sini. Ibu jangan mengaku-ngaku ya! Sudah sana pergi sebelum saya panggil satpam! Dasar wanita stres!" Sofi yang tidak tahu apa-apa tentu saja terkejut. Kapan suaminya menikah? Menikah dengan pembantu? Saat pintu rumah dibanting keras oleh Uti, disitulah Sofi tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Dari yang ia tahu, hanya Bunga yang menikah lagi, bukan dengan Aji. Aku harus ke kantornya. Sofi pun memesan ojek online. Tujuannya adalah

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   64. Malam Syahdu

    Bunga baru saja selesai mandi. Setelah acara resepsi yang berlangsung sangat meriah, Bunga dan Helmi memutuskan untuk berbulan madu di rumah saja. Alias di rumah orang tua Helmi. Karena jika di rumah orang tuanya, tidak memungkinkan.Tidak masalah, Bunga mengerti posisi Helmi yang sekarang menjadi orang sibuk. Ia pun bisa menyusui baby Z sampai kenyang. Setelah itu, barulah ia bisa mandi. Baby Z sendiri sudah diangkut oleh ibu sambungnya, ibu mertuanya untuk tidur di kamar yang lain. Memang sudah langsung disediakan baby sitter untuk mengasuh baby Z agar Bunga tidak terlalu kerepotan. Notifikasi begitu banyak masuk ke ponselnya yang berisikan ucapan selamat. Sambil menunggu Helmi balik ke kamar, Bunga memutuskan untuk membaca semua pesan yang datang. Termasuk via WA dan sosial media seperti instagram dan Facebook. Ia tahu kehebohan ini pasti karena acara pernikahannya diliput salah satu televisi swasta Indonesia. Namun, sebuah akun yang mengirimkan DM di media sosialnya adalah akun

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   63. Janda Anak Satu Dapat CEO

    "Halo, Helmi, kamu di mana, Nak?""Di kasur, Pa, ini masih jam dua malam. Ada apa, Pa? Bunga baik-baik aja'kan? Papa masih di kampung apa udah di---""Bunga mau melahirkan, Helmi. Apa kamu bisa ke rumah sakit Budi Asih. Cepat ya.""Hah, melahirkan? B-bukannya baru tujuh bulan, Pa?""Nanti aja Papa jelaskan. Kamu ke sini dulu." Aji memutus panggilannya. Di rumah sakit ada Andre yang menemaninya malam ini, sedangkan Uti di rumah bersa bayi dan ART mereka. Sanak famili yang lain sudah pulang begitu jam sembilan malam. "Kok lama ya, Pa?" kata Andre gugup. "Iya, Papa juga gak tahu. Semoga aja semuanya lancar. Papa mules, keringat dingin.""Pa, Andre!" Helmi sudah ada di dekat ayah dan anak itu. Lelaki itu menyalami keduanya. Di belakang Helmi ada sopir sekaligua bodyguard yang memang disediakan pihak kantor untuk mengawal ke mana saja Helmi pergi. "Gimana, Pa?""Masih di dalam. Masih tindakan.""Papa jangan khawatir. Bunga wanita yang kuat. Bayinya juga," ucap Helmi memberikan semangat

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   62. Pengantin Baru

    "Angga kenapa belum tidur, Dek? Kasihan Papa nih!" Aji merengek pada putranya. Bayi berusia empat bulan itu belum ingin tidur, padahal sudah jam sebelas malam. Bayangan malam pengantin berisik dengan suara istrinya, pupus sudah, yang ada berisik suara celotehan Angga. Aji menimang Angga dengan kain gendongan jarik, berharap bayinya nyaman dan cepet tidur, tetapi yang ada, Angga malah mengajak ayahnya bercakap-cakap. "Anak bayi boleh dikasih obat tidur gak, Ti?" sontak pertanyaan Aji membuat Uti mendelik kaget. "Ya, gak boleh, Pa. Sabar aja. Sini, biarin saya yang kelonin. Mungkin mau ASI." Uti mengambil Angga dari gendongan Aji, lalu kembali membawanya ke ranjang. Ranjang dengan taburan kelopak mawar itu sudah bersih sekarang. Aji yang membersihkannya atas permintaan Uti karena istrinya gak mau kalau sampai kelopak bunga itu malah masuk ke dalam mulut Angga tanpa sengaja. "Jangan menghadap ke tembok, sini aja lihat ke saya saat m3nyusu!" Uti bersemu merah. Wanita itu tahu hal ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status