"Wahh, ayamnya habis Rah. Kok nasinya nggak dihabisin?"
Aku tersentak mendengar suara Ibu yang datang secara tiba-tiba. Aku harus mengatur ekspresi agar terlihat biasa saja."Iya Bu, abisnya ayamnya enak bumbunya juga meresap. Kalau aku habisin nasinya takutnya nanti ayamnya malah nggak habis jadi nasinya aku sisain setengah deh,"Ibu terkekeh sambil duduk dihadapanku."Iya juga sih Rah. Hamil tua emang bawaannya pengen makan terus tetapi belum tentu juga kitanya kuat makan banyak,"Mungkin aku akan menjadi menantu paling bahagia jika tak menemukan hal-hal aneh di rumah ini. Sekarang aku malah merasa was-was atas semua kebaikan Ibu padaku."Ibu dulu juga gitu loh! Apalagi waktu hamil Rama. Berat badan Ibu sampe naik lima belas kilo lebih,""Pasti gede banget ya Bu. Gak kebayang. Aku aja yang naik sepuluh kilo, sering ngerasa sesak,""Iya Rah. Udah pasti kalau merasa sesak tuh, mau gerak aja susah," jawab Ibu menatapku tersenyum.Entahlah aku merasa kalau tatapan Ibu selalu berubah-ubah."Hehe.... iya Bu. Apa pekerjaan Ibu sudah selesai?" tanyaku tersenyum.Aneh saja, tadi katanya ia banyak kerjaan tapi sekarang ia malah datang kemari dan mengajakku mengobrol?"Belum sih Rah, soal pekerjaan bisa diselesaikan nanti malam saja," jawab Ibu."Apa kamu tidak mengantuk, Rah?" tanya Ibu lagi.Mengapa Ibu bertanya begitu? Bukankah ini masih sore belum waktunya untuk tidur malam? Apa ada sesuatu didalam makanan yang diberikan Ibu untukku?"Uaaahh...emm, sedikit Bu. Mungkin karena kekenyangan," jawabku pura-pura menguap."Ya sudah. Kalau begitu Ibu antar ke kamar ya. Kamu istirahat dulu saja. Nanti kalau menjelang maghrib biar dibangunkan Mbak Wati. Nanti biar Ibu yang bilang," ucap Ibu sembari berdiri lalu memapahku ke dalam kamar."Iya Bu. Terimakasih."Pintu ditutup pelan oleh Ibu, sementara aku hanya duduk disudut ranjang tempat tidur dengan perasaan gamang.Azan maghrib berkumandang, meski suaranya kurang jelas. Mungkin karena rumah ini sangat jauh dari masjid.Bukan hanya jauh dari masjid, tetapi rumah Ibu juga jauh dari tetangga karena rumah ini terletak dekat dibawah kaki gunung. Sementara rumah-rumah lain berada dibawah, butuh waktu beberapa menit untuk sampai di rumah tetangga.Tak ada Mbak Wati yang membangunkan, Mas Rama pun belum pulang padahal biasanya sebelum Maghrib ia sudah sampai rumah. Entah kemana suamiku itu yang jelas tak mungkin dia ada di kebun disaat malam hari seperti ini.***"Coba kamu cek, Sarah masih tidur atau tidak?" Terdengar suara Ibu diluar sana.Padahal ini sudah pukul sebelas malam. Mas Rama belum pulang dan sekarang Ibu datang. Apakah mungkin ia selalu tidur larut malam? Aku memejamkan mata, pura-pura tertidur miring kiri menghadap ke jendela."Sarah...kamu sudah tidur, sayang?" Ia mengguncangkan bahuku pelan.Itu suara Mas Rama. Ingin sekali aku membuka mata dan bertanya ia darimana, tetapi aku ingat ucapan Mbak Wati tadi, semua orang harus mengira aku tertidur malam ini."Rah...Mas pulang," bisiknya."Sarah, sudah tidur pulas Bu," ucapnya. Sepertinya ada Ibu didepan pintu."Bagus! Ayo kita laksanakan sekarang!"Mereka berdua melangkah keluar, lalu menutup pintu dan sepertinya pintu kamar dikunci dari luar.Aku membuka mata, menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Jantungku berdetak sangat kencang, rasanya aku semakin penasaran dengan apa yang akan terjadi malam ini.Karena kamarku letaknya di lantai bawah, aku bisa dengan leluasa mengintip keluar dari jendela kamar ini.Benar saja diluar ada mobil jeep dan mobil Fortuner terparkir diluar sana."Tolong...!""Akkhhh... Tidak, aku mohon jangan bunuh aku!""Aku masih ingin hidup! Aku mohon jangan bunuh aku!""Arrrkkhhh...."Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seorang wanita. Teriakan itu begitu menyayat hati, walaupun suaranya tak begitu jelas. tetapi aku yakin suara itu berasal dari dalam rumah ini.Akupun menegang sesaat, merasa kasihan dan sangat ingin menolong wanita yang berteriak itu.Suara teriakan itu terdengar kembali, aku sungguh terpana diam seribu bahasa. Hati dan jiwaku sangat tersentuh mendengar teriakan itu. Darahku mendidih ingin berlari menghampiri asal suara itu saat ini. Tetapi di sisi lain aku juga tidak ingin bernasib sama seperti wanita itu jika aku bertindak gegabah.Suara jeritan itu tak terdengar lagi, beberapa saat kemudian kulihat beberapa orang pria keluar dari rumah ini menggotong seseorang yang ditutupi kain hitam, dari postur tubuhnya pasti itu seorang wanita.Lalu mereka memasukkan tubuh orang itu kedalam mobil Jeep. Setelahnya Ibu dan seorang wanita paruh baya keluar, wanita itu menggendong bayi yang sedang menangis ditangannya.Siapa wanita yang ditutup kain hitam itu? Dan bayi siapa yang dibawa oleh perempuan paruh baya itu?Oh tuhan rasanya kepalaku mau pecah memikirkan ini semua.--Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat jelas Ibu, Mas Rama dan Bang Reza juga ikut pergi menggunakan mobil fortuner termasuk Mang Ujang.Dengan nafas yang tak beraturan aku kembali duduk di tepi ranjang dan merenungi apa yang aku lihat tadi.Seseorang yang dibawa orang suruhan Ibu itu pasti wanita yang berteriak dari dalam gudang. Dan bayi itu adalah bayi yang kudengar tangisannya waktu itu.Untuk apa Ibu, Mas Rama dan semuanya menyembunyikan hal ini dariku? Siapa wanita itu? Lalu kenapa ia harus dikurung didalam gudang?Rasanya kepalaku mau pecah memikirkan kejadian ini semua. Ingin sekali aku memanggil Mbak Wati kemari untuk menceritakan semuanya padaku saat ini.Tetapi aku tak ingin gegabah, pasti ada sesuatu rahasia besar yang disembunyikan keluarga ini hingga Mbak Wati tak berani sembarangan memberikan informasi, tampaknya ia juga sangat takut terhadap Ibu dan keluarganya.Semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan hal-hal aneh yang kutemui di rumah ini.Pukul tiga dini hari su
Tetapi aku tidak mungkin hanya berdiam diri seperti ini, aku takut terjadi apa-apa pada diriku dan bayiku suatu saat nanti.Pukul sepuluh siang akhirnya Mas Rama keluar dari dalam kamar lalu menghampiriku yang sedang menonton televisi, Ibu pun juga turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur."Kamu sudah makan, sayang?" tanya Mas Rama."Sudah Mas. Tumben Mas kamu baru bangun? Semalam tidur jam berapa?""Iya sayang. Semalam Mas begadang sampai jam satu. Maaf ya, pasti lama ya nungguin Mas pulang," jawabnya membuatku menyeringai tipis.Jam satu ia bilang? Padahal jam empat saja dia masih diluar. Kenapa kamu berbohong, Mas? Ingin rasanya aku berteriak menanyakan hal itu padanya."Udah ya sayang, jangan ngambek ya! Mas janji lain kali gak akan kaya gitu lagi," Ia mengelus kepalaku pelan."Sarah? Sini makan!" teriak Ibu dari dapur."Iya, Bu. Sarah masih kenyang," jawabku dengan berteriak pula."Yang bener kamu belum lapar, sayang?" tanya Mas Rama."Iya Mas, kalau mau makan ya sana! Apa pe
"Sarah, sedang apa disitu?"Aku langsung menoleh kearah pintu dapur, Ibu sudah berdiri menatap kami dengan tatapan manis."Sedang berkeliling saja Bu." jawabku sambil berjalan menghampirinya."Kamu bosen ya?""Iya, Bu. Pengen deh jalan-jalan keluar," jawabku lesu."Ya sudah nanti kamu boleh jalan-jalan tapi biar ditemani sama Wati ya.""Ti, nanti kamu temani Nona Arum jalan-jalan ya tapi jangan jauh-jauh! Disekitar sini saja, jangan sampai melewati sungai!" ucap Ibu pada Mbak Wati."Baik, Nyonya.""Ya sudah Ibu masuk dulu ya, Ibu masih banyak kerjaan didalam,"Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum pada Ibu. Setelah Ibu pergi, rasanya ingin sekali Aku melontarkan banyak pertanyaan pada Mbak Wati, tetapi kurasa wanita itu tak akan berani buka mulut perihal rahasia keluarga ini.Cuaca pagi hari ini begitu cerah, hanya saja tanah disekitar lumayan becek akibat guyuran hujan tadi malam. Untung saja, jalan yang aku lalui sudah diaspal jadi aku tak perlu takut akan terpeleset karena ja
Aku menatap Ibu-ibu tadi dengan penuh tanya. Apa Mbak Wati tahu sesuatu soal ini?"Emm...maaf Bu. Saya tidak tahu. Saya permisi!"Mbak Wati pun berjalan lebih dulu meninggalkanku. Padahal tadi ia tak berani mendahului langkahku, aneh sekali gelagatnya. Setelah mendapat beberapa pertanyaan dari Ibu-ibu tadi, Ia tampak ketakutan seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.Setelah jauh dari warung Ia pun menghentikan langkah, dan menungguku yang tertinggal."Mari, Non. Saya pegangin, saya takut Nona terpeleset,"Mbak Wati kembali menuntun jalanku."Mbak, saat nyuci baju tadi pagi, kamu sempet bilang 'dia sudah meninggal'. Memangnya siapa Mbak yang meninggal?" tanyaku."Iya Non. Dia, wanita yang berteriak tadi malam. Dia sudah meninggal," jawabnya begitu pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya."Bagaimana bisa, Mbak? Apa ada orang yang membunuhnya?" tanyaku.Aku berbicara sembari menatap ke perkebunan, agar seseorang yang mengawasi kami tak menaruh curiga pada gerak-gerikku ataupun M
Saat sedang bersantai di teras rumah, kulihat Ibu sedang berjalan hendak keluar."Bu, Mbak Wati sedang tidak enak badan setelah kuajak jalan-jalan tadi pagi. Jadi biarkan dia istirahat dulu hari ini di kamarnya ya, Bu."Ibu tersenyum manis saat melihatku, tetapi entah mengapa aku jadi merinding melihat senyuman itu."Sakit apa dia, Rah?" tanya Ibu dengan santai."Tadi, Mbak Wati mual-mual gitu Bu. Kaya orang hamil tetapi Mbak Wati kan masih lajang, tidak punya suami ya. Mungkin cuma masuk angin saja Bu." jawabku tersenyum."Ya sudah, biar Ibu tengok dulu ke kamarnya ya. Kamu istirahat saja di kamar sana! Kamu pasti capek kan habis jalan diluar," Ibu menyentuh pundakku lalu beranjak menuju kamar Mbak Wati."Tunggu dulu, Bu!""Ada apa lagi Rah?" tanyanya sembari menghentikan langkah dan berbalik badan."Barusan diluar ada Ibu tua datang Bu, namanya Bu Yati. Tadi dia mencari anaknya, kata Ibu tadi anaknya kerja disini Bu, namanya Sari."Senyum Ibu perlahan memudar, lalu ia memalingkan waj
Kupandangi isi lemari itu, isinya hanya pakaian milik Mas Rama dan pada laci bagian bawah terdapat beberapa tumpukan kertas serta dokumen-dokumen penting miliknya.Dengan perlahan aku berjongkok mencari sesuatu di antara tumpukan kertas itu, semoga saja aku bisa menemukan bukti yang bisa kugunakan untuk memecahkan teka-teki misteri keluarga ini.Tak ada yang mencurigakan, hanya saja aku menemukan desain bangunan rumah ini. Aku mengamati gambar itu, terdapat ruangan bawah tanah tepatnya berada dibelakang rumah ini dan pintunya ada di dalam gudang. Pantas saja, waktu itu aku mendengar suara teriakan wanita dan sebuah pukulan. Dan setelah kucari tak kunjung menemukannya, bisa jadi asal suara itu dari dalam ruangan bawah ini.Sebenarnya untuk apa ruangan bawah tanah ini, ya?Aku menata dan memasukkan kembali berkas-berkas itu dengan rapi, kedalam laci lemari. Pandanganku beredar disekeliling kamar ini, banyak sekali lemari besar serta laci-laci milikku dan Mas Rama. "Non Sarah."Panggil
Sejak pukul tiga pagi aku sudah bangun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan kearah kamarku. Handle pintu pun terlihat diputar, saat itu juga aku langsung pura-pura tertidur. Entah siapa itu yang hendak masuk kedalam kamarku. Aku tidak tahu siapa yang membuka pintu kamarku itu, tak lama kemudian terdengar suara pintu ditutup kembali.Aku mengerjapkan mata, jangan-jangan itu Ibu yang memastikan aku masih tidur atau tidak, suara langkah kaki itu terdengar menuju ke arah dapur dan sepertinya suara itu masuk ke dalam gudang.Dapur dan gudang memang berdekatan, jadi untuk ketempat itu maka harus melewati kamarku terlebih dahulu. Dilantai bawah ini hanya ada dua kamar, yaitu kamarku dan kamar tamu. Sebenarnya aku ingin menempati kamar diatas yang luas, akan tetapi Ibu melarangku karena kandunganku yang sudah membesar. Katanya Ibu takut aku terjatuh saat menuruni tangga.Perlahan aku membuka pintu kamar dan diam-diam berjalan melangkahkan kaki kearah belakang. A
Pukul lima sore, perutku mendadak mulas. Tetapi aku bingung harus menelepon Mas Rama sekarang atau nanti."Mbak...Mbak Wati..!!" teriakku memanggil Mbak Wati.Dengan tergesa-gesa Mbak Wati masuk kedalam kamarku yang tak kututup."Mbak, ini perutku rasanya mulas kaya mau datang bulan gitu. Apa ini tanda-tanda mau melahirkan ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Wati."Iya Non. Tapi masih lama kalau baru mulas sepeti itu," jawabnya."Mbak, tolong temani saya disini ya. Sebaiknya saya telepon Mas Rama sekarang atau nanti ya, Mbak?""Baik Non. Mungkin nanti saja Non, kalau sudah benar-benar mulas," jawab Mbak Wati sembari duduk disebuah karpet lantai.Semakin malam rasa mulasku semakin kuat, rasanya perut bagian bawahku seperti ditekan dengan kuat dan rasanya pun juga hilang, timbul."Mbak, tolong ambilkan ponsel saya," titahku sambil menahan sakit.Dengan sigap Mbak Wati mengambil ponsel dimeja rias dan menyerahkannya padaku. Segera kuhubungi Mas Rama dan terhubung."Halo..Mas.""Ada apa, sayang?