Tetapi aku tidak mungkin hanya berdiam diri seperti ini, aku takut terjadi apa-apa pada diriku dan bayiku suatu saat nanti.
Pukul sepuluh siang akhirnya Mas Rama keluar dari dalam kamar lalu menghampiriku yang sedang menonton televisi, Ibu pun juga turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur."Kamu sudah makan, sayang?" tanya Mas Rama."Sudah Mas. Tumben Mas kamu baru bangun? Semalam tidur jam berapa?""Iya sayang. Semalam Mas begadang sampai jam satu. Maaf ya, pasti lama ya nungguin Mas pulang," jawabnya membuatku menyeringai tipis.Jam satu ia bilang? Padahal jam empat saja dia masih diluar. Kenapa kamu berbohong, Mas? Ingin rasanya aku berteriak menanyakan hal itu padanya."Udah ya sayang, jangan ngambek ya! Mas janji lain kali gak akan kaya gitu lagi," Ia mengelus kepalaku pelan."Sarah? Sini makan!" teriak Ibu dari dapur."Iya, Bu. Sarah masih kenyang," jawabku dengan berteriak pula."Yang bener kamu belum lapar, sayang?" tanya Mas Rama."Iya Mas, kalau mau makan ya sana! Apa perlu aku temani Mas?""Tidak usah sayang. Kamu lanjut nonton saja!"Mas Rama pun berjalan menuju dapur, menyebalkan sekali dibohongi seperti ini. Ingin sekali aku pulang saja ke rumah Mama.Merasa suntuk aku keluar rumah. Berjalan menuju taman disamping rumah, aku pun mengambil selang yang sudah mengeluarkan air itu lalu mulai menyirami bunga-bunga milik Ibu yang tersusun rapi di taman.Setelah selesai aku memilih beristirahat sekejap di bangku taman sembari berfikir bagaimana caranya aku bisa mengetahui rahasia yang disembunyikan suamiku dan keluarganya ini.Disebuah kursi kayu terlihat Mang Ujang yang sedang duduk memainkan ponsel, sesekali ia menyesap secangkir kopi yang ada disampingnya. Aku pun berjalan menghampirinya."Mang?"Pria itu menatapku lalu mematikan ponselnya."Iya Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Mang Ujang, ia pun berperilaku seolah tak ada apa-apa. Padahal kemarin ia sudah nekat menyelamatkanku."Mang, bisa jelaskan apa yang terjadi?""Soal apa Nona?" tanyanya lagi."Soal Mang Ujang yang sudah menemukanku didalam lemari, kenapa kamu harus berbohong? Kenapa kamu tidak bilang kalau ada aku didalam lemari itu?"Mang Ujang membuang pandangan lalu terdiam, membuatku semakin dilanda penasaran. Semoga saja ia mau bercerita sehingga aku tak merasa takut lagi."Karena kalau saya jujur, saya yakin nasib Nona akan lebih buruk dari yang sekarang," jawabnya sambil memalingkan muka.Tak bisakah ia menatapku ketika bicara? Kenapa Mbak Wati dan Mang Ujang seolah ketakutan dan terkesan menutupi apa yang terjadi?"Kenapa bisa begitu? Memangnya didalam gudang itu ada apa? Sehingga saya tidak diperbolehkan masuk kesana, apa ada sesuatu didalam sana?" tanyaku berbisik dengan tatapan menyelidik.Mang Ujang menghirup nafas dalam dan membuangnya, terdiam sejenak lalu menganggukkan kepala."Ya, disana ada sesuatu. Dan saya harap setelah ini Nona jangan banyak bertanya apapun lagi. Suatu saat nanti Nona pasti juga akan tahu sendiri. Semoga saja Nona tetap bernasib baik," jawabnya berdiri hendak pergi."Tunggu! Berapa yang harus kukeluarkan agar kamu mau buka suara hah?"Aku sudah tidak tahan bermain teka-teki, aku tak ingin menunggu nasib buruk menghampiriku terlebih dahulu sebelum aku mengetahui semua rahasia keluarga ini."Maaf, Non. Saya tidak butuh uang Nona! Yang saya butuhkan adalah pekerjaan ini." ucapnya lalu pergi.Aku hanya terdiam menatap kepergian Mang Ujang, dengan isi kepala yang penuh tanya ada apa, kenapa dan mengapa?Lalu aku berjalan ke halaman belakang. Gundukan tanah itu masih terlihat dan aku tak berani mendekat kesana karena takut saja jika Ibu atau Mas Rama melihatku ada disekitar sana.Kebetulan halaman belakang ini terhubung dengan ruang cuci, di ujung sana terlihat Mbak Wati yang sedang mengucek baju padahal ada mesin cuci di rumah ini. Aku pun berjalan mendekatinya.Mataku terbelalak ketika melihat cucian yang sedang dikucek oleh Mbak Wati. Sebuah baju milik Mas Rama berlumuran darah, tak hanya itu bau amis juga tercium saat aku mendekatinya.Aku juga melihat sebuah kain hitam disudut tembok dekat mesin cuci, aku yakin kain itu yang digunakan semalam untuk menutupi tubuh wanita itu."Ehhh...Nona! Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" ucap Mbak Wati terkejut ketika melihat kedatanganku.Aku menunjuk baju Mas Rama yang masih berlumuran darah itu, lalu Mbak Wati memandang kearah telunjukku."Ya, Nona. Dia sudah meninggal," ucapnya pelan sambil berusaha berdiri.Siapa yang sudah meninggal? Apakah dia wanita yang berteriak semalam itu?Oh Tuhan apakah keluarga ini psikopat? Seperti di film-film yang sengaja membunuh mangsanya secara tragis.--(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t