"Sarah, sedang apa disitu?"
Aku langsung menoleh kearah pintu dapur, Ibu sudah berdiri menatap kami dengan tatapan manis."Sedang berkeliling saja Bu." jawabku sambil berjalan menghampirinya."Kamu bosen ya?""Iya, Bu. Pengen deh jalan-jalan keluar," jawabku lesu."Ya sudah nanti kamu boleh jalan-jalan tapi biar ditemani sama Wati ya.""Ti, nanti kamu temani Nona Arum jalan-jalan ya tapi jangan jauh-jauh! Disekitar sini saja, jangan sampai melewati sungai!" ucap Ibu pada Mbak Wati."Baik, Nyonya.""Ya sudah Ibu masuk dulu ya, Ibu masih banyak kerjaan didalam,"Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum pada Ibu. Setelah Ibu pergi, rasanya ingin sekali Aku melontarkan banyak pertanyaan pada Mbak Wati, tetapi kurasa wanita itu tak akan berani buka mulut perihal rahasia keluarga ini.Cuaca pagi hari ini begitu cerah, hanya saja tanah disekitar lumayan becek akibat guyuran hujan tadi malam. Untung saja, jalan yang aku lalui sudah diaspal jadi aku tak perlu takut akan terpeleset karena jalanan licin.Mbak Wati, mengikuti langkahku dari belakang. Seperti biasa, ia hanya diam dan menundukkan kepalanya. Padahal Aku ingin sekali mengakrabkan diri padanya agar aku bisa menggali informasi-informasi penting dari Mbak Wati.Desa ini memang masih sangat terjaga keasriannya. Kebun-kebun teh terhampar luas, banyak pepohonan yang rindang membuat udara sekitar tetap bersih dan sejuk. Tak ada pabrik industri disekitar sini dan tak banyak juga kendaraan yang berlalu lalang. Setiap pagi kita akan disambut suara kicauan burung, saat malam hari pun akan ramai suara-suara binatang seperti jangkrik dan katak."Mbak, bisakah kamu ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Lalu wanita yang disekap didalam gudang itu, siapa? Kenapa keluarga Mas Rama menyekapnya?" tanyaku pada Mbak Wati."Sekarang tak akan ada lagi yang mendengar pembicaraan kita, aku mohon katakan semuanya agar aku tak merasa takut dan berprasangka buruk pada keluarga Mas Rama lagi," ucapku lagi.Aku menghentikan langkah, menoleh Mbak Wati yang masih saja diam tak menjawab semua pertanyaanku."Teruslah berjalan Nona, kita diawasi!" ucapnya pelan sembari menunduk.Aku mengedarkan pandangan kearah pepohonan dan perkebunan sekitar, akan tetapi aku tak melihat ada seseorang yang memperhatikan kami."Siapa yang mengawasi kita, Mbak?" tanyaku."Anak buah Nyonya, saya mohon jangan membuat gerak-gerik yang mencurigakan atau kita akan dalam bahaya," ucapnya.Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, ada apa ini sebenarnya? Kenapa untuk keluar rumah saja, harus diawasi seperti ini? Sebenarnya apa yang mereka inginkan? Rasanya aku sudah tak tahan.Aku meneruskan langkah dengan hati yang tak karuan, banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dikepalaku."Apa disekitar sini ada warung, Mbak? Aku ingin beli makanan?" ucapku."Ada, Non. Kita lurus saja terus nanti didepan kita masuk kejalan setapak." jawab Mbak Wati.Rumah Ibu ternyata sangat jauh dengan permukiman warga. Sangat melelahkan jika harus berjalan kaki seperti ini."Hati-hati Non, jalannya licin."Mbak Wati memegang tanganku, kini ia berjalan berdampingan denganku karena jalan yang begitu licin akibat guyuran hujan."Kenapa ya Mbak, rumah Ibu sangat jauh dari permukiman warga? Apa dia tidak merasa kesepian jika saat seorang diri di rumahnya?" tanyaku mencairkan suasana."Saya tidak tahu, Nona." jawabnya masih saja kaku.Didepan sana sudah terlihat sebuah warung toko yang lumayan besar dan banyak sekali dikerumuni ibu-ibu."Permisi, bu."Seketika Ibu-ibu itu menoleh secara bersamaan."Ehh, ini ya yang menantunya Bu Sulis? Sudah hamil berapa bulan?" tanya seorang Ibu sembari mengelus perutku."Sembilan bulan, Bu.""Wahh, berarti sebentar lagi ya,"Aku tersenyum lalu fokus pada aneka gorengan dan jajanan yang tertata diatas meja."Mau yang mana, Nona? Biar saya yang ambilkan," tanya Mbak Wati.Aku menunjuk satu persatu jajanan dan gorengan yang aku suka hingga satu plastik penuh."Jadi berapa totalnya, Bu?""Tiga puluh ribu, Neng.""Pembantu yang hamil kemarin kemana, Ti?" tanya salah seorang ibu pada Mbak Wati."Di-dia su-sudah dipulangkan karena melahirkan Bu." jawab Mbak Wati gelagapan.Aku yakin pasti Mbak Wati menyembunyikan sesuatu yang membuatnya seperti itu. Seingatku dulu ada dua orang asisten rumah tangga di rumah Ibu, termasuk Mbak Wati yang sudah bekerja hampir tiga tahun di rumah Ibu."Lohh...kapan dipulangkannya Ti?""Emm... se-kitar dua minggu yang lalu, Bu." jawab Mbak Wati yang terlihat ragu."Ehh..Bu-ibu, saya tuh heran sama pembantunya Bu Sulis yang kemarin itu. Dia kan belum punya suami, masa iya dia bisa hamil. Terus dia kan jarang keluar rumah, kira-kira hamil sama siapa ya? Masa iya hamil sama orang rumah?" celetuk salah seorang Ibu yang lainnya.Apa maksud ucapan Ibu-ibu itu?Ahhh... Makin kesini kenapa kondisi malah semakin runyam? Semoga semua teka-teki ini segera terjawab.--Aku menatap Ibu-ibu tadi dengan penuh tanya. Apa Mbak Wati tahu sesuatu soal ini?"Emm...maaf Bu. Saya tidak tahu. Saya permisi!"Mbak Wati pun berjalan lebih dulu meninggalkanku. Padahal tadi ia tak berani mendahului langkahku, aneh sekali gelagatnya. Setelah mendapat beberapa pertanyaan dari Ibu-ibu tadi, Ia tampak ketakutan seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.Setelah jauh dari warung Ia pun menghentikan langkah, dan menungguku yang tertinggal."Mari, Non. Saya pegangin, saya takut Nona terpeleset,"Mbak Wati kembali menuntun jalanku."Mbak, saat nyuci baju tadi pagi, kamu sempet bilang 'dia sudah meninggal'. Memangnya siapa Mbak yang meninggal?" tanyaku."Iya Non. Dia, wanita yang berteriak tadi malam. Dia sudah meninggal," jawabnya begitu pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya."Bagaimana bisa, Mbak? Apa ada orang yang membunuhnya?" tanyaku.Aku berbicara sembari menatap ke perkebunan, agar seseorang yang mengawasi kami tak menaruh curiga pada gerak-gerikku ataupun M
Saat sedang bersantai di teras rumah, kulihat Ibu sedang berjalan hendak keluar."Bu, Mbak Wati sedang tidak enak badan setelah kuajak jalan-jalan tadi pagi. Jadi biarkan dia istirahat dulu hari ini di kamarnya ya, Bu."Ibu tersenyum manis saat melihatku, tetapi entah mengapa aku jadi merinding melihat senyuman itu."Sakit apa dia, Rah?" tanya Ibu dengan santai."Tadi, Mbak Wati mual-mual gitu Bu. Kaya orang hamil tetapi Mbak Wati kan masih lajang, tidak punya suami ya. Mungkin cuma masuk angin saja Bu." jawabku tersenyum."Ya sudah, biar Ibu tengok dulu ke kamarnya ya. Kamu istirahat saja di kamar sana! Kamu pasti capek kan habis jalan diluar," Ibu menyentuh pundakku lalu beranjak menuju kamar Mbak Wati."Tunggu dulu, Bu!""Ada apa lagi Rah?" tanyanya sembari menghentikan langkah dan berbalik badan."Barusan diluar ada Ibu tua datang Bu, namanya Bu Yati. Tadi dia mencari anaknya, kata Ibu tadi anaknya kerja disini Bu, namanya Sari."Senyum Ibu perlahan memudar, lalu ia memalingkan waj
Kupandangi isi lemari itu, isinya hanya pakaian milik Mas Rama dan pada laci bagian bawah terdapat beberapa tumpukan kertas serta dokumen-dokumen penting miliknya.Dengan perlahan aku berjongkok mencari sesuatu di antara tumpukan kertas itu, semoga saja aku bisa menemukan bukti yang bisa kugunakan untuk memecahkan teka-teki misteri keluarga ini.Tak ada yang mencurigakan, hanya saja aku menemukan desain bangunan rumah ini. Aku mengamati gambar itu, terdapat ruangan bawah tanah tepatnya berada dibelakang rumah ini dan pintunya ada di dalam gudang. Pantas saja, waktu itu aku mendengar suara teriakan wanita dan sebuah pukulan. Dan setelah kucari tak kunjung menemukannya, bisa jadi asal suara itu dari dalam ruangan bawah ini.Sebenarnya untuk apa ruangan bawah tanah ini, ya?Aku menata dan memasukkan kembali berkas-berkas itu dengan rapi, kedalam laci lemari. Pandanganku beredar disekeliling kamar ini, banyak sekali lemari besar serta laci-laci milikku dan Mas Rama. "Non Sarah."Panggil
Sejak pukul tiga pagi aku sudah bangun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan kearah kamarku. Handle pintu pun terlihat diputar, saat itu juga aku langsung pura-pura tertidur. Entah siapa itu yang hendak masuk kedalam kamarku. Aku tidak tahu siapa yang membuka pintu kamarku itu, tak lama kemudian terdengar suara pintu ditutup kembali.Aku mengerjapkan mata, jangan-jangan itu Ibu yang memastikan aku masih tidur atau tidak, suara langkah kaki itu terdengar menuju ke arah dapur dan sepertinya suara itu masuk ke dalam gudang.Dapur dan gudang memang berdekatan, jadi untuk ketempat itu maka harus melewati kamarku terlebih dahulu. Dilantai bawah ini hanya ada dua kamar, yaitu kamarku dan kamar tamu. Sebenarnya aku ingin menempati kamar diatas yang luas, akan tetapi Ibu melarangku karena kandunganku yang sudah membesar. Katanya Ibu takut aku terjatuh saat menuruni tangga.Perlahan aku membuka pintu kamar dan diam-diam berjalan melangkahkan kaki kearah belakang. A
Pukul lima sore, perutku mendadak mulas. Tetapi aku bingung harus menelepon Mas Rama sekarang atau nanti."Mbak...Mbak Wati..!!" teriakku memanggil Mbak Wati.Dengan tergesa-gesa Mbak Wati masuk kedalam kamarku yang tak kututup."Mbak, ini perutku rasanya mulas kaya mau datang bulan gitu. Apa ini tanda-tanda mau melahirkan ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Wati."Iya Non. Tapi masih lama kalau baru mulas sepeti itu," jawabnya."Mbak, tolong temani saya disini ya. Sebaiknya saya telepon Mas Rama sekarang atau nanti ya, Mbak?""Baik Non. Mungkin nanti saja Non, kalau sudah benar-benar mulas," jawab Mbak Wati sembari duduk disebuah karpet lantai.Semakin malam rasa mulasku semakin kuat, rasanya perut bagian bawahku seperti ditekan dengan kuat dan rasanya pun juga hilang, timbul."Mbak, tolong ambilkan ponsel saya," titahku sambil menahan sakit.Dengan sigap Mbak Wati mengambil ponsel dimeja rias dan menyerahkannya padaku. Segera kuhubungi Mas Rama dan terhubung."Halo..Mas.""Ada apa, sayang?
"Mas anak kita kenapa? Tadi dia sehat, sangat jelas kudengar dia menangis kencang?" teriakku pada Mas Rama sembari menangis.Aku sangat yakin jika bayiku terlahir sehat, saat aku mengalami kontraksi pun ia masih sempat menendang perutku dengan kuat. "Sepertinya bayi Nona, mengalami kebocoran jantung bawaan. Yang sabar ya, Non." ucap Mak Ijah.Beraninya ia berkata seperti itu, memangnya dia siapa dan bisa apa?"Tutup mulutmu! Jangan mengada-ada kamu ya! Kamu itu bukan dokter jadi gak usah sok tahu!" bentakku sembari menatapnya nyalang."Aku sudah bilang untuk melahirkan di rumah sakit, tapi kenapa kalian melarangku, hah? Jika aku melahirkan di rumah sakit, anakku akan langsung ditangani oleh ahlinya dan pasti sekarang ia bisa selamat," ucapku menatap Mas Rama dan Ibu."Kembalikan nyawa anakku! Kembalikan!!" teriakku dengan lantang.Mas Rama memelukku dengan erat, berusaha untuk menenangkan ku. Kini kulihat wajah Ibu yang menatapku penuh benci, mengapa ia sudah tak bersikap manis sepert
Apalagi aku melahirkan dibantu Mak Ijah seorang paraji di desa ini, kenapa ia tidak bicara pada para warga jika Bu Sulis orang paling kaya di desa ini sedang mendapat musibah?"Iya juga ya, ini sangat aneh. Apa jangan-jangan bayimu dijadikan tumbal lagi sama keluarga ini," ucap Mama.Aku langsung menoleh cepat. "Masa iya sih, Ma?"Aku merasa tak percaya, selama tinggal disini Aku tak merasakan kecurigaan yang mengarah ke hal mistis, justru malah banyak misteri yang belum terpecahkan olehku."Bisa saja kan Rah. Apalagi mertuamu kaya raya seperti ini,""Jangan nuduh yang tak ada bukti seperti itu, Ma. Begini, selama kamu tinggal disini apa ada hal yang mencurigakan Rah? Misal ada yang mengarah ke hal-hal mistis?" tanya Kak Dimas.Aku pun menceritakan semua kejadian yang kualami dirumah ini. Dari suara tangisan bayi hingga pembantu termasuk Mbak Wati yang hamil tanpa suami.Kak Dimas tampak berpikir keras."Pasti ini ada sesuatu, bukan hal mistis tetapi ini sebuah kejahatan kriminal besa
Aku meyibak kain kafan itu dengan sempurna, tak salah lagi yang kugendong ini bukanlah jenazah bayiku melainkan hanya sebuah boneka.Ingin sekali rasanya ku berteriak didepan semua orang dan memaki mereka yang telah mengelabuhi ku saat itu.Ku hapus air mata yang membasahi pipi dengan tatapan garang, lalu ku lempar boneka itu ke sembarang arah. Ini pasti ulah Ibu, tetapi apakah Mas Rama ikut ambil andil dalam dalam masalah ini? Atau ia hanya menjadi korban sehingga ia tak berani melawan dan berbuat apa-apa?Jika yang terkubur ditempat ini bukan anakku, lantas bayi yang kulahirkan saat itu sekarang ada dimana?Ya Allah, aku tidak tahan dengan misteri ini. Emosiku semakin memuncak membuat darahku rasanya memanas. Dengan nafas yang tak beraturan aku mencoba mengurai kembali kewarasan yang semula berantakan. Aku harus berusaha menata pikiran dan hati agar aku bisa berpikir dengan jernih.Aku rasa kejadian ini ada sangkut pautnya dengan rahasia besar Mas Rama dan keluarganya. Aku harus bi