Part 6
Aku menuju dapur, meletakkan serbet kotor tadi ke dalam keranjang tempat pakaian kotor dan mencuci tangan di wastafel. Aku terkejut ketika tangan ingin menyentuh pegangan kulkas ternyata ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya. Tangan kami saling menumpuk.
Aku menelan salivaku saat jarak pandang kami sangat dekat. Kami saling tatap dan lalu sama-sama membuang pandang ke arah lain.
Sekaku itulah kami walau sudah tinggal serumah selama hampir dua tahun. Kadang kami masih merasa malu hanya karena tidak sengaja saling tatap.
Aku mundur satu langkah kebelakang dan ingin berbalik pergi. Namun ada tangan yang mencengkramku kuat.
"Kamu mau minum? Ini!" ucapnya, sembari menyodorkan botol air mineral dingin dari dalam sana.
"Tidak, a--aku mau ke atas," jawabku gugup sambil melonggarkan pegangan tangannya dari lenganku. Dia hanya menatapku dengan raut yang ... entahlah. Seperti ada yang ingin dikatakannya kepadaku, tapi masih tertahan.
"Ya!" Panggilnya. Aku menoleh.
"Dompetku ada di--," belum selesai dia bertanya, aku sudah menyelanya, "Masih ditempat yang sama saat Mas meninggalkannya, belum bergeser atau berpindah sama sekali," jawabku ketus. Lalu ku ltinggalkan dia berlalu pergi keatas.
Ternyata benar, dompet itu lebih penting dibanding dia bertanya tentang diriku, keadaanku. Bagaimana kabarku hari ini atau tentang keadaan rumah ini. Walau hanya basa-basi, setidaknya itu sudah cukup membuatku bahagia. Bahkan dia tidak bilang terima kasih tentang jas hujan itu. Apakah aku pamrih? Tidak. Bukan itu intinya. Seorang istri akan sangat senang diajak bicara suaminya, walaupun cuma sekedar ucapan receh biasa.
***
Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Mas Bintang duduk di tepi ranjang dekat nakas. Kulihat dia menggenggam dompetnya dan menatapku saat aku melewatinya menuju lemari pakaian.
"Aya, aku sudah mentransfer sejumlah uang ke rekeningmu. Maaf bulan kemarin aku lupa mentransfernya, tapi bulan ini kubuat jadi dobel. Mungkin ada yang ingin kau beli? Beli lah!" Mas Bintang memulai obrolan. Tumben, dan kalimatnya lebih panjang dari biasanya.
Tak kuhiraukan ucapannya. Sudah biasa bagiku dilupakan. Dia hanya butuh dan ingat saat memerlukannya saja. Aku menggenggam erat ujung baju yang akan kuambil. Melampiaskan kekesalan hatiku saat ini pada benda mati tersebut.
Kamu salah, Mas. Yang kubutuhkan itu perhatianmu, bukan uangmu.
"Ya!" Panggilnya lagi berhasil membuyarkan pikiranku. Mungkin dia mengira kalau aku tak mendengar panggilannya.
"Hm," balasku tanpa melihatnya. Aku mencoba mengendalikan diri.
"Kamu kenapa?" tanyanya. Apakah dia baru sadar dengan sikapku barusan? Huft! Kemana saja kamu, Mas? Tak peka.
Aku berbalik. "Cepatlah mandi, mau Maghrib, apa Mas mau aku siapkan pakaian?" Kulirik dengan sinis sosok lelaki yang membersamaiku dua tahun itu. Dia sedikit terkejut. Apa sikapku terlihat berlebihan?
"Oh ya, aku lupa, Mas kan bisa melakukannya sendiri," sindirku saat melewatinya dan melangkah pergi keluar kamar tanpa permisi. Aku memutuskan memasang baju di kamar mandi bawah.
***
Malam tiba. Aku sedang menyiapkan makan malam di dapur. Hari ini menunya kupesan saja lewat aplikasi pesan makanan. Gara-gara dompet Mas Bintang, aku tidak jadi memasak karena tidak jadi belanja di Abang sayur langganan. Sore sebelum Mas Bintang pulang, makanan yang kupesan sudah datang.
Semua masakan sudah terhidang di atas meja. Aku berjalan ke kamar ibu untuk memanggilnya bersama juga Mas Bintang yang ada disana. Aku tahu Mas Bintang menemui Ibu di kamarnya. Mungkin dia ingin melihat keadaan ibunya setelah seharian bekerja di kantor. Mas Bintang memang sangat menyayangi ibu mertuaku tersebut. Sehari pun tidak pernah dia lupa menanyakan kondisi ibunya rentetan pertanyaan akan ia tanyakan padaku. Apalagi sejak ibu mengalami stroke dan lumpuh.
"Bu, Mas Bintang, masakan siap. Ayo, kita makan!" ajakku di depan pintu kamar Ibu. Mereka kompak mengangguk.
"Aku saja," ucapnya saat aku ingin mengambil kursi roda Ibu. Mendengarnya, tanganku urung mengambilnya. Kubiarkan Mas Bintang yang melakukan.
Aku menunggu Mas Bintang mendudukkan ibu ke kursi roda dan mendorongnya keluar kamar, lalu aku mengekor langkah mereka dibelakang.
Kami makan dalam diam. Sesekali dapat kutangkap ekor mata Mas Bintang mengarah kepadaku. Aku hanya fokus menatap ke bawah menikmati makanan yang tersaji.
"Ehem ..., Gimana masakannya Bin? Enak?" tanya ibu sembari matanya menunjuk ke arah makanan diatas meja. Lalu mengedipkan sebelah matanya kepadaku.
Aku menyipitkan mata mendengar pertanyaan dan sikap Ibu barusan. Apa maksud Ibu menanyakan makanan ini kepada Mas Bintang? Yang ada Mas Bintang akan tahu kalau ini bukan aku yang memasaknya, dan ini untuk pertama kalinya aku memesan makanan dari luar dan tidak memasak di rumah.
"Enak, masakan Aya selalu enak seperti biasanya," jawabnya tersenyum tipis dengan tetap mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
Aku dan ibu saling pandang, dan lalu ibu terkekeh seraya menggelengkan kepalanya.
"Bintang ... Bintang, bagaimana sih kamu, masa tidak bisa membedakan yang mana masakan istrimu dan mana yang bukan," sindir Ibu.
"Maksudnya, ini Ibu yang masak?" tanyanya dengan binar bahagia.
Ibu terbahak mendengar pertanyaan Mas Bintang. Sedangkan aku hanya diam menunggu jawaban Ibu selanjutnya.
"Kamu ngejek Ibu?" Mas Bintang menggeleng. "Lihat kondisi Ibu, apa bisa Ibu memasak makanan ini dengan kondisi seperti ini?"
Mas Bintang mengernyitkan dahi, dia terlihat bingung.
"Aya hari ini tidak masak karena tragedi dompet, jadi hari ini kita makan masakan yang dipesan dari luar, tapi bagi Ibu tetap masakan Aya yang paling enak," jelas Ibu sambil tersenyum renyah kepadaku. Aku membalasnya senyumnya.
"Tragedi dompet? Maksudnya?" Mas Bintang menyelidik. Dia menatap tajam ke arahku. Aku menatap ke Ibu, kuharap Ibu mengerti kesulitanku. Aku malas membahas masalah dompet, dan tidak ingin menjawabnya, moodku lagi jelek.
"Oh itu, Aya kehilangan dompetnya, padahal dompetnya di kamar Ibu, tertinggal saat dia membawakan sarapan buat Ibu. Jadi karena tidak menemukannya, Aya tidak jadi deh belanja ke Abang sayur," jelas Ibu pada Mas Bintang dengan santai.
Mas Bintang diam. Dia tidak mengalihkan sedikitpun tatapannya dariku. Menatap tajam seakan ingin mengulitiku. Kurasa dia curiga karena siang tadi aku berbohong padanya kalau sedang sibuk memasak saat berteleponan dengannya.
"Kenapa Bin? Kok nggak diterusin makannya? Kamu nggak suka kalau kita sesekali makan makanan luar? Jangan marah sama Aya, baru kali ini Aya tidak masak, jadi jangan dipermasalahkan," ucap Ibu membelaku.
"Nggak papa kok Bu," sahut Mas Bintang sambil tersenyum ke arah Ibu lalu beralih menatapku.
Aku hanya bisa menunduk. Aku tidak tahu alasan apa yang kuberikan jika dia meminta penjelasan tentang kebohonganku tadi siang.
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia