"Bu Aya!" Panggil Bu dokter Aminah.
"Eh, iya Dok? Bagaimana? Ibu baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir. Lamunanku tentang Mas Bintang seketika buyar.
"Sejauh ini beliau baik-baik saja. Cuma tadi saya periksa tekanan darah ibu naik. Cukup tinggi. Saya harap kalian jangan membuat Ibu stres atau menambah beban pikirannya. Jaga makannya, dan jangan lupa kontrol kaki Ibu. Masih melakukan terapi kan? Ingat, kaki ibu masih ada kemungkinan sembuh. Karena ibu hanya mengalami stroke ringan. Tapi tetap hati-hati." Dokter Aminah menjelaskan dengan panjang lebar tentang kondisi ibu saat ini dan memberikan anjuran yang harus kami patuhi agar ibu tetap sehat.
"Ibu Cahaya juga tolong jaga kesehatannya. Jangan terlalu banyak pikiran. Jangan juga bekerja atau melakukan aktivitas terlalu berat karena tiga bulan pertama kehamilan ini masih sangat lemah. Rawan ke
Kembali aku memijit kepala karena rasa pusing yang mendera. Kucoba membawa diri ini tidur sejenak, melepaskan beban yang masih menghimpit dada, tapi sia-sia. Aku tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Tidak ada rasa ngantuk. Mataku jelas terang sekali. Permintaan Mas Bintang beberapa saat yang lalu membuat pikiranku tak karuan.Sakit. Mas Bintang tetap pergi kesana dengan alasan anak. Wanita itu tetap bisa memaksanya untuk pergi dari sini. Lelaki yang sudah menemaniku selama dua tahun itu merengek dan memohon seperti anak kecil padaku untuk bisa menemui mereka. Sebentar saja katanya, sebelum dua jam Mas Bintang berjanji akan pulang. Dia bilang anaknya menangis ingin bertemu dengannya, dan dia tak tega.Tak tega? Lalu denganku apa, tega? Sedangkan aku yang dari kemarin menangis darah disini karenanya, tidak menyentuh hatinya barang sedikitpun.
Badan terasa sakit sekali. Apa ini juga karena kondisiku yang sedang berbadan dua? Setelah selesai makan malam, kami membubarkan diri. Aku masih tetap mengajak Ibu berbicara. Walaupun cuma dibalas oleh beliau dengan anggukkan atau gelengan kepala. Terserah, tidak ingin ambil pusing. Sekarang yang harus dipikirkan adalah kesehatanku dan jabang bayi yang sedang dikandung.Aku harus bahagia. Aku mensugesti diri sendiri untuk selalu berpikir positif."Mas, bisa 'kan besok antar Aya ke rumah sakit? Mau cek kandungan, memastikan berapa bulan kehamilan ini," ucapku saat merebahkan diri di samping Mas Bintang. Bagaimanapun juga, aku harus melibatkan dia dalam kehamilan ini karena dia adalah ayah dari calon anak yang sedang ku kandung."Mas usahakan Ya, nanti di jam istirahat kantor, kita kesana." Kali ini Mas Bintang meres
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Terasa hembusan udara hangat menerpa kedua mataku. Mata ini membulat sempurna mendapati Mas Bintang tersenyum renyah menyapa pagiku. Jarak wajah kami sangat dekat hingga hembusan nafasnya terasa sampai ke wajah ini.Tangannya mendekap erat tubuhku. Sadar, kuurai pelukannya dan menjauhkan diri secara perlahan."Sudah pagi. Nyonya Bintang nyenyak sekali tidurnya, sampai Bapak Bintang harus meniup kedua matanya agar segera bangun," ucapnya dengan binar wajah bahagia.Tak ada rasa senang saat kudengar ucapan mesra itu darinya. Yang ada rasa muak yang semakin memuncak dan rasa ingin muntah bila mengingat kepergiannya semalam. Jam berapakah dia balik ke rumah ini, dan lalu berbaring disampingku, seakan dia juga baru bangun tidur dari ranjang yang sama denganku?Aku ingin membalik tubuh
Aku terbangun mendengar suara getaran dari ponsel yang berada di nakas."Hoam ...!" Mata ini masih berat untuk dibuka.Segera kuraih ponsel. Ada tiga pesan masuk ke aplikasi chat yang populer banyak dipakai orang. Dua dari Mas Bintang dan satu dari Fajar, adikku.Pesan pertama yang kubaca dari Fajar karena terlihat paling atas.[Tunggu sore ya Kak, kejutanmu datang, semoga suka. Pasti suka karena kejutannya dariku.] Aku tersenyum membaca pesan darinya.Kubuka pesan kedua dari Mas Bintang.[Dek, Mas nggak bisa lama-lama.] Aku mengernyitkan dahi.[Nanti malam Papa kesana.] Kulihat pesan terkirim pukul 08.10, dan dia lupa menghapusnya. Aku tertawa getir membaca dua pesan tersebut. Sepertinya salah kirim,
Akhirnya aku tetap bersama Mas Bintang pergi ke rumah sakit buat cek kehamilan. Semua berjalan lancar tanpa kendala berarti. Aku memang dinyatakan berbadan dua. Kehamilanku sehat dan memasuki usia kandungan lima Minggu. Jujur aku tidak menyadari kalau aku sedang hamil. Aku hanya mengalami kelelahan dan mengantuk saja. Yang paling parah cuma pusing. Kukira hanya gejala masuk angin ataupun karena darah rendah. Tidak tahunya karena hamil.Setelah pemeriksaan selesai, kami memutuskan pulang. Lebih tepatnya aku yang ingin. Kutolak semua ajakannya untuk pergi ke tempat lain yang memang disengaja untuk mengambil hatiku. Rasanya malas kalau berpura bahagia dan menjadi istri yang penurut setelah semua kebusukannya terbongkar.Selama di perjalanan pulang dari rumah sakit, kami masih dalam mode diam. Tidak ada yang memulai lebih dulu untuk berbicara. Di dalam mobil, aku maupun Mas Bintang sama-sama membuang muka.
"Non! Non Aya, ini Bi Sri. Bibi bawakan makanan buat Non Aya, disuruh Pak Bintang.""Masuk aja Bi, nggak dikunci." Bi Sri masuk dengan membawakan makanan untukku."Dimakan dulu, baru minum obat. Kata Pak Bintang, Non Aya pusing lagi?""Nggak papa Bi, tapi Aya makannya dikit aja, kan baru sarapan pagi tadi," kilahku."Ini sudah jam sebelas Non, nggak papa makan banyak, sudah masuk jam makan siang juga. Non bagus kalau makan banyak, buat tambahan energi," jelas Bi Sri.Aku tersenyum mendengar penjelasan Bi Sri."Mas Bintang masih di rumah atau sudah pergi?" tanyaku penasaran."Pak Bintang kayaknya sudah pergi Non. Pas Bibi naik keatas, Pak Bintang juga pamit pergi sama Ibu." Aku mengangguk mendengar pen
Aku menunduk saat mata kami saling serobok tak sengaja. Kutarik lengan Fajar menjauh dari lelaki tersebut."Jar! Kamu ngapain ajak dia kesini? Jangan bilang dia kejutan yang kamu maksud?" sambil berbisik aku menanyainya."Kenapa Kak? Memang Kakak berharap kalau kejutannya dia?" Senyum seringai menghiasi wajahnya."Kamu mau cari masalah dengan Kakak?" Kucubit pinggangnya karena kesal."Woh ... Santai saja, kenapa sewot, takut CLBK ya?" Lagi kucubit pinggangnya lebih kuat. Fajar meringis kesakitan. Adik kurang ajar ini memang harus diberi pelajaran. Kakaknya lagi bicara serius malah dibecandain."Ya, siapa?" Ibu menghampiri kami yang masih betah berdiri di depan. Matanya menatap heran dan lalu tersenyum saat mengenali pemuda yang berdiri disampingku.&n
"Kamu kerja dimana Jar? Mas baru tahu kalau kamu sudah kerja." Mas Bintang bertanya pada Fajar seraya mengusap punggung tanganku."Belum kerja sih, masih bantu-bantu saja, yah ... kayak magang gitu. Sekalian belajar langsung sama ahlinya," jawab Fajar tersenyum sambil melirik ke arah Mas Daffa."Oh ...." Mas Bintang masih menatap Mas Daffa dengan tajam. Kenapa tatapannya mengisyaratkan sesuatu. Apa Mas Bintang mengenal Mas Daffa? Atau ... Ya Tuhan, jangan sampai Mas Bintang tahu kalau Mas Daffa lah orang yang mengirimkan fotonya itu ke ponselku."Padahal kalau kamu mau kerja bisa coba di tempat Mas loh? Mungkin Mas bisa carikan yang cocok sama kamu.""Ya nggak mungkin Mas, bidang pekerjaannya tidak sesuai dengan jurusan yang Fajar ambil. Lagian mana mau kantor Mas menerima seorang mahasiswa yang belum mempunyai gela