Share

Awal Perjalanan Mengerikan

Peluh mengucur dari dahi Diana. Suara teriakan pilu sayup-sayup menyapa indra pendengaran gadis itu. Rintihan sakit itu entah kenapa begitu menyayat hati Diana. Air mata meluncur tak terkendali dari mata bulatnya yang tertutup.

“Hentikan! Sakit! Ampun!”

Lagi-lagi kata itu terapalkan dengan lantang. Diana tak sanggup membuka mata. Badan pun tak bisa bergerak seolah mati rasa. Sekuat apa pun Diana meronta, dia hanya mampu diam dan mendengar sekeliling.

“Cabut giginya!”

Suara wanita dewasa menggema kali ini. Begitu kalimat itu selesai, teriakan melengking dari seorang anak kecil membuat Diana terperanjat hingga mampu terbangun dari buaian bunga mimpi mengerikan itu.

“Ah ... apa itu tadi?”

Napas gadis itu tak beraturan. Hal yang pertama kali dirasakan adalah linglung. Diana juga merasa matanya sedikit perih. Perlahan jemari lentik itu menyusuri pipi yang basah. Aku menangis? batinnya bingung.

“Kenapa mimpi buruk ini mirip terus, sih?”

Diana diam sebentar. Dia membutuhkan waktu untuk mereka ulang apa yang dia mimpikan barusan. Kenapa suara anak kecil itu seperti familier sekali? Akan tetapi dia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun.

“Mungkin aku cuma tertekan. Semoga liburan ke Anyer hari ini bisa buat penyegaran.”

Mata bulat Diana melirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus menyiapkan sarapan untuk sang ayah dan keponakannya sebelum berangkat outing. Bi Saroh juga mungkin sebentar lagi datang. Yuda berkata wanita paruh baya itu akan tiba pukul enam lewat tiga puluh di rumah Diana.

“Aku juga enggak boleh telat. Nanti orang gila yang namanya Joey itu marah-marah lagi.”

Dengan sigap Diana menyiapkan nasi goreng untuk sarapan mereka. Lalu lanjut mandi dan bersiap sekenanya. Gadis itu hanya memakai blus berwarna hitam dan juga celana jeans berwarna gelap, namun auranya yang hangat mampu membuat gadis itu terlihat memesona.

“Rosa ... nanti selama kakak pergi outing kantor, ada Bi Saroh yang nemenin kalian di sini, ya? Jangan nakal. Kalau ada apa-apa minta tolong Bi Saroh telepon Kak Di.”

Rosa hanya mengangguk seraya mengunyah nasi goreng di mulutnya. Ada rasa sedikit tak rela jauh dari sang tante selama dua hari. Bukan tidak suka jika Diana refreshing sejenak. Hanya saja perasaan gadis kecil itu tiba-tiba tidak enak.

“Dek Rubi masih mandi?”

“Iya, Kak. Tahu sendiri dia suka main air kayak ikan.”

Diana mengulum senyum. Tingkah polah Rosa dan Rubi benar-benar hiburan untuk gadis itu. “Kalau Kak Di ada rezeki, nanti kita berenang ke waterpark, ya?”

Manik mata Rosa melebar. Secercah senyum semringah langsung terukir kala mendengar tempat itu. Rasanya sudah lama dia tidak pernah liburan semenjak kedua orang tuanya tiada.

“Jangan menganga begitu, nanti ada lalat masuk,” ucap Diana lembut. Dia tidak menyangka jika janji seperti itu saja dapat membuat si kecil Rosa bahagia.

“Kakak! Tolong!”

Teriakan Rubi dari kamar mandi membuat raut senang di wajah Diana perlahan lenyap. Buru-buru gadis dengan surai bergelombang itu menyambangi Rubi yang diikuti oleh Rosa di belakangnya.

“Dek, kamu kenapa?”

“Kak Di! Ada Si Rambut Pendek di dalam bak mandi. Mukanya seram.” Rubi menghambur memeluk Diana dengan handuk yang sudah melilit tubuhnya. Gadis kecil itu menyembunyikan wajah di tubuh sang tante.

Diana menghela napas lelah. Bagaimana dia bisa meninggalkan mereka jika setiap hari ada saja yang begini?

“Itu cuma halusinasi kamu, Dek. Si Rambut Pendek itu enggak ada. Tanya aja sama Kak Rosa.”

“Iya, Dek. Enggak ada apa-apa kok,” sahut Rosa sembari mengelus pundak sang adik.

Rubi menoleh sedikit. Mahluk mengerikan itu masih ada. Bahkan bola matanya kini berubah menatap penuh amarah ke arah Diana.

“Ayo ke kamar buat ganti baju. Kak Di mau berangkat.”

***

Setelah berpamitan dengan sang ayah dan memberi arahan pada Bi Romlah, Diana berangkat menuju kantor seraya menggendong tas ransel. Tak banyak yang dia bawa, hanya baju secukupnya dan alat mandi. Tak lupa beberapa obat-obatan darurat yang sekiranya nanti diperlukan. Jika staf lain berkumpul di lapangan dekat kantor untuk naik bus, berbeda dengan Diana yang terpaksa pergi ke kantor karena harus satu mobil dengan sang atasan. Entah apa yang direncanakan lelaki jangkung itu.

Sesampainya di parkiran Kantor, mata Diana membola saat mendapati Joey dan Jovanka sudah ada di sana. Bukankah dia bilang berkumpul jam 08.30? Akan tetapi pukul delapan, dua manusia menyebalkan itu sudah di sana dengan empat koper besar. Joey bersandar di kap mobil dengan senyum sinis seperti biasa, sedangkan Jovanka berdiri di sebelahnya dengan gestur manja.

“Kamu memang pemalas, ya? Jam berapa ini?”

Diana melirik arlojinya dengan kening bertaut. Masih jam delapan. Dia artinya dia datang lebih awal tiga puluh menit. “Saya enggak telat, Pak. Bahkan saya lebih awal 30 menit.”

“Alasan terus. Kamu tuli saya bilang kumpul jam delapan? Kamu kira dirimu siapa ngebuat saya nunggu?”

Ingin rasanya Diana mengumpat di depan wajah Joey. Dia ingat betul lelaki ini mengatakan jam delapan lebih tiga puluh. “Saya ingat sekali, Pak. Bapak bilang jam delapan tiga puluh.”

Joey dan Jovanka menatap tak suka ke arah Diana secara bersamaan. Wanita semampai itu berjalan ke arah Diana dan mendorong kening si gadis bermata bulat dengan kasar.

“Kamu sudah salah pakai ngejawab. Kayak begini tuh enggak cocok kerja di perusahaan bonafid. Mending kamu open BO sana!” ejek Jovanka dengan mimik jumawa. Wanita itu merasa tinggi karena sudah tidur dengan sang bos.

Kalau bukan di depan Pak Joey, mungkin Diana sudah menjambak rambut lurus hasil catokan milik Jovanka.

“Enggak usah urusin dia. Masuk ke mobil!” Joey bertitah pada Jovanka yang sedang merundung Diana. Mau tak mau sang sekretaris menuruti perintah Joey.

“Dan kamu, masukin koper saya dan Jovanka ke dalam bagasi mobil.” Lelaki jangkung itu hendak masuk ke dalam mobil, tetapi matanya melirik Diana yang mendorong koper ke arah belakang tanpa berkomentar. “Kamu enggak bawa baju?” selidiknya ingin tahu.

Diana berhenti dan melihat Joey dengan pandangan datar. “Bawa kok. Di ransel saya isinya baju, Pak.”

“Kamu cuma bawa ransel butut itu?”

Gerakan Diana memasukkan koper terhenti saat mendengar pertanyaan lanjutan dari Joey. Kenapa lelaki ini begitu peduli apa yang dia bawa?

“Dua hari di Anyer, saya rasa enggak perlu bawa baju satu lemari. Selain efisien, juga enggak ngerepotin orang lain.”

Joey berdeham jengkel. Apa Diana sedang menyindirnya? Salahnya juga kenapa dia tadi bertanya.

“Terserah. Yang penting baju kamu enggak bau. Saya masih butuh kamu buat disuruh-suruh.”

Diana mengangguk sekenanya. Dia sudah duga hanya akan dijadikan jongos oleh Joey. Nasib bawahan akan selalu seperti ini. Ingin melawan, tetapi dia realistis. Dirinya masih butuh pekerjaan dan juga uang.

Perjalanan ke Anyer membutuhkan waktu selama empat jam dari Jakarta. Diana sudah memosisikan diri dengan nyaman di kursi sebelah sopir. Sementara Joey dan Jovanka duduk berdua di kursi belakang. Lagu-lagu teralun merdu dari pemutar audio di dalam mobil. Untuk kali ini Diana ingin memuji selera lagu si bos bertampang dingin itu. Lumayan bagus, batinnya.

“Kamu selama di Anyer jangan pikir bisa senang-senang. Kamu tetap mesti kerjain apa perintah saya. Anggap ini sebagai hukuman atas keteledoran kamu di proyek Pak Reyhan.”

Diana hanya menjawab dengan gumaman. Terserah lelaki itu mau marah atau tidak. Pemandangan di luar jendela lebih bagus daripada ocehan Joey.

“Kamu bisu? Kemarin tuli, sekarang bisu. Buat jengkel saja,” celetuk Jovanka tak tahu malu. Wanita itu terus menatap ke arah Diana dengan sinis. Jemarinya sibuk mengusap sensual lengan Joey.

“Enggak usah ribut. Kalau kamu ribut, mending duduk di bagasi belakang.”

Ujaran ketus Joey, membuat Jovanka kesal. Wanita itu mendesis lirih seraya bersedekap dada. Dia tidak mengerti dengan tabiat sang bos. Selalu bersikap dingin, tetapi tak pernah absen untuk menyuruhnya membuka selangkangan.

Satu setengah jam terlewati dengan aman sentosa. Diana larut dengan acara menikmati pemandangan sembari memikirkan jalan hidup yang berat, sementara Joey dan Jovanka sibuk dengan ponsel masing-masing.

Lenguhan seseorang membuyarkan pikiran Diana yang sedang memikirkan mimpi anehnya. Awalnya dia abai. Namun, suara lenguhan tersebut semakin intens dan membuat dirinya tak nyaman.

“Eugh....”

Diana melirik ke spion tengah. Benar saja dua manusia di belakang tengah memagut bibir. Jovanka bahkan sudah duduk di atas pangkuan Joey. Gadis bermata bulat itu hanya dapat geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang bos dan sekretarisnya.

“Pak Joey remas di sini.”

Mulut Diana menganga. Haruskah dia melihat adegan dewasa secara live sekarang? Dua orang ini benar-benar tidak waras, rutuknya dalam hati. Diana melirik ke arah Pak Amin yang tengah mengemudi, tetapi tampaknya lelaki itu sudah biasa. Mungkin karena memang dia sopir pribadi sang bos, jadi adegan ini lumrah untuknya.

“Jovanka buka celana dalam kamu.”

Astaga! Bisakah Diana turun di sini saja? Dia merasa benar-benar risih. Meski dalam hati mengutuk, tetapi gadis itu tetap mengintip melalui spion tengah. Alisnya menyatu melihat bayangan yang terpantul. Bukan tentang aksi duo mesum Joey dan Jovanka, tetapi keberadaan sosok yang duduk di sebelah Joey. Itu adalah gadis kecil yang pernah lihat di proyek hotel. Bedanya muka gadis itu tampak sangat mengerikan.

“Pak Amin lihat ke belakang,” bisik Diana ke arah lelaki paruh baya yang sedang menyetir. Pak Amin hanya mengulum senyum maklum, dia pikir Diana bicara tentang Joey dan Jovanka.

“Biar saja, Mbak. Bapak memang begitu.”

Diana menggeleng. Bukan itu yang dia maksud. Gadis itu menoleh ke belakang untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Akan tetapi kosong, tidak ada sosok mengerikan itu di sana. Hanya Joey yang tengah sibuk mengulum buah dada Jovanka. Diana tanpa sadar berdecak kesal dan memandang jijik ke arah sang bos.

“Kamu ngapain lihatin saya? Enggak pernah lihat orang make out ya?” tegur Joey dengan nada ketus.

“Saya enggak tahu apa itu make out, Pak. Saya tahunya cuma make up.”

Diana kembali membawa arah pandangnya ke jendela samping. Sedangkan Joey sudah akan mengumpat jika saja Jovanka tidak menciuminya. Bagi Diana pemandangan jalanan dengan hutan jati lebih menarik daripada melihat adegan dewasa di belakang. Bisa dia terka jika sebentar lagi mereka akan melakukan hal yang lebih jauh. Semua tercermin dari kata-kata vulgar yang kini saling bersahutan.

“Aku enggak tahan pengen muntah. Siapa pun tolong aku,” cicit Diana seorang diri. Manik mata bulatnya melebar saat mengubah arah pandang ke depan. Dia melihat seseorang berada sekitar seratus meter di depan mobil. Di tengah jalan sana berdiri anak kecil yang diam tak bergerak. Diana berteriak lantang membuat tiga orang lainnya terkejut.

“Awas!”

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status