Kemarin saat mendapatkan laporan dari sang asisten rumah tangga, Alana merasa apa yang diceritakan Maria pada sang asisten rumah tangganya tersebut adalah sebuah rekayasa.
Maria seperti bukan model perempuan kaya dengan harta melimpah dan status sosial yang hebat. Cerita Maria pada sang asisten rumah tangga bahkan menunjukkan bahwa wanita itu tidak terdidik dengan baik dan hidup dari belas kasihan pria-pria kaya.Jadi Alana semakin merasa penasaran saat melihat Maria memasuki mobil sedan hitam keluaran terbaru dengan dijemput sopir tersebut.Din! Suara klakson mobil terdengar. Seorang beratribut taksi online sebuah aplikasi itu segera menyapanya."Bu Alana? Saya pengemudi taksi online yang Ibu pesan. Silahkan," jelas pria itu membukakan kunci mobilnya.Alana segera masuk ke dalam mobil dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu."Pak saya minta tolong untuk mengikuti mobil hitam di depan tersebut. Saya bayar Bapak de"Pak Pengacara bilang, Nona Maria juga harus ikut dalam pembacaan surat wasiat Tuan Ronald, Nyonya," jawab sang asisten rumah tangga takut-takut.Alana menghela napas maklum. Meskipun seluruh dirinya menolak, tetapi ia tidak bisa mengambil tindakan. Sang pengacara tentu punya alasan kenapa Maria harus ikut hadir dalam pembacaan surat warisan. "Tidak apa-apa, Bik. Memang inilah yang harus kita hadapi," ujar Alana terlihat lesu.***Pengacara keluarga datang tepat pukul delapan malam. Alana sudah siap bersama Om Prasodjo untuk mendengarkan apa isi surat warisan Ronald. Bersama mereka juga ada Paris dan Milan yang duduk di samping Alana."Baiklah, kita bacakan saja isi surat warisan Pak Ronald ya. Ini terkait dengan perusahaan dan hak waris beberapa asetnya," ujar pengacara keluarga tersebut. "Tunggu, saya belum datang kenapa sudah mau di mulai" tegas Maria yang menyeruak masuk dari ruang tamu."Mami dia siapa?" tanya Milan dan Paris bersamaan."Kenalkan, tante adalah--""Dia kenalan P
Alana melirik Om Prasodjo dengan pandangan mata cemas. Ia terlihat sangat tidak nyaman dengan apa yang ditunjukkan Maria saat itu. Alana takut Maria jauh lebih berbahaya dibanding yang pernah ia bayangkan."Ibu periksa di dokter kandungan mana? Apa bisa saya minta nomornya?" tanya pengacara Ronald. Pria itu terlihat sangat serius menanyai Maria.Maria lalu mengeluarkan handphone ya dan mulai menelepon seseorang."Halo, Dok. Saya Bu Maria yang dua minggu lalu memeriksakan kehamilan saya pada Dokter. Ini ada pengacara suami saya ingin bicara," ujar Maria sambil kemudian memberikan ponselnya pada pengacaranya Ronald."Ya, Dok. Saya pengacara Pak Ronald. Ini pasien Dokter apa benar pernah periksa ke tempat anda dan saat ini sedang hamil?" tanya pengacara Ronald.Dokter yang berada dalam panggilan telepon itu mengaku dan sempat bercerita bahwa Maria memang betul datang dengan Ronald ke tempatnya beberapa minggu yang lalu. Sang dokter juga meng
"Hei, Maria! Apa boleh aku meminta kunci apartemen yang disewakan Mas Ronald untukmu?" tanya Alana pada Maria. "Pinjam kunci apartemen, untuk apa, Kak Lana?" sahut Maria penasaran.Ada segurat mimik waspada di wajah Maria saat Alana menyangkut soal apartemen tempat tinggalnya yang lama. Sebuah tempat yang diakui Maria disewakan Ronald untuknya."Aku ingin melihat apartemen lamamu. Aku ingin tahu sebaik apa fasilitas yang Ronald berikan padamu di belakang aku," jawab Alana sedikit menyindir."Jangan, Kak Lana. Tempat itu sekarang sangat berantakan. Aku tak enak jika--""Berikan kuncinya padaku!" desak Alana sedikit memaksa. "Besok saja kita datang ke sana bersama. Toh aku juga masih perlu ambil beberapa barang yang masih tertinggal di sana," sahut Maria sangat cerdas mengelak. Sikap Maria itu membuat Alana merasa gemas. Bisa saja wanita licik itu mengelak. Namun karena malam sudah larut dan ia masih punya kewajiban unt
Sambil menyesap teh hangat di tangannya. Maria terlihat santai perhatikan kekacauan yang terjadi antara Alana, Paris dan Milan. Sang wanita yang mengaku istri kedua Ronald tersebut lalu mengirim pesan pada seseorang dengan ponselnya.[Siapkan apartemen yang kumaksud. Besok aku dan Alana akan pergi ke sana. Jangan sampai ada yang janggal di sana. Ingat, Alana adalah orang yang sangat detail. Jadi pastikan tidak ada kejanggalan sedikitpun!]Setelah mengirim pesan pada entah siapa di luar sana, Maria lalu berjalan perlahan menuju ranjang queen size yang baru saja disiapkan para asisten rumah tangga itu untuknya. Wanita itu membiarkan sisa tehnya di gelas yang masih tersisa begitu saja. Maria lalu bergerak santai menuju ranjang dan meraih kopor di sampingnya. Wanita itu lalu membuka kopor dan mulai berganti pakaian tidur. Sepertinya Maria akan tidur nyenyak malam ini karena sebuah pencapaian besarnya. Alana akhirnya mau menerima Maria tinggal bersama mereka di rumah ini. "Selangkah lagi
"Keluarga Pak Prasodjo!" panggil suster yang berjaga di ruang IGD.Alana dan Tante Anjani segera maju."Pak Prasodjo harus segera dirawat di ICU. Kondisinya kritis dan perawatannya membutuhkan alat penunjang. Kami akan membawanya ke ICU, jadi pihak keluarga mohon untuk segera mengurus administrasinya," ujar perawat tersebut memberi tahu."Lakukan yang terbaik, Sus. Berikan perawatan yang optimal untuk Pak Prasodjo," pinta Alana cemas. "Baik, Bu," sahut perawat yang menangani. "Suami saya kenapa, Suster?" tanya Tante Anjani cemas."Nanti setelah semua tindakan akan dijelaskan oleh dokter ya, Bu," jawab perawat tersebut. Tante Anjani kembali berlinang air mata. Wanita itu terlihat cemas dengan kondisi suaminya. "Biar Lana saja yang urus administrasinya, Tante. Tante tunggu di sini aja ya," ujar Alana sembari beranjak menuju bagian administrasi rumah sakit. Tante Anjani hanya mengangguk dan membiarkan
"Lana, suamiku sempat bilang. Malam itu sebelum Ronald terbunuh, suamiku terlihat sangat cemas. Ia seperti sedang ketakutan menunggu sesuatu," jelas Tante Anjani membuat kuduk alana meremang. Bahkan Om Prasojo sendiri belum mengatakan apa-apa tentang hal ini. Alana memang sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi malam itu."Apa Tante tahu apa yang terjadi?" tanya Alana lagi. "Mas Pras bilang, siangnya suamimu bilang untuk menitipkan dirimu pada Mas Pras. Dia juga berpesan pada suamiku untuk terus mendampingi dan menjagamu. Mas Pras sempat bertanya ada apa? Tetapi katanya Ronald bersikap sangat aneh," cerita Tante Anjani pada Alana. Alana terkejut mendengar cerita Tante Anjani tersebut. Ronald sebelum kematiannya terkesan sudah tahu akan terjadi hal buruk terhadap dirinya."Apakah Mas Ronald tahu sesuatu?" tanya Alana lagi."Entahlah, Lana. Tapi kulihat gelagat suamimu memang sangat aneh. Seminggu sebelum kematiannya aku se
"Memangnya aku salah datang ke perusahaan suamiku? Aku ini juga istrinya Mas Ronald, Kak Lana!" tegas Maria berani. Alana hanya diam sambil menggemelatukkan giginya. Ia masih menahan dirinyaatas sikap Maria yang tak sopan. "Lagi pula, Mas Ronald bilang urusan perusahaan di serahkan pada istrinya. Bukan hanya pada Kak Lana. Aku kan juga istrinya Mas Ronald, Kak Lana. Pengacara kalian mengakui itu!" tegas Maria sanbil memeriksa berkas-berkas di kantor Ronald seolah ia memang benar-benar direktur yang sebenarnya. Alana yang selama ini memang buta dengan urusan kantor menjadi tak bisa menjawab Maria. Wanita itu hanya bisa duduk sambil menunggu Maria pergi. Memastikan tak ada apapun yang di foto atau di bawa Maria pergi dari dalam ruangan kerja Ronald. Sedikit-sedikit, Alana mulai belajar untuk memeriksa beberapa file perusahaan. Bersama Maria, Alana terus berada di perusahaan sampai sore hari. Alana melirik Maria yang terlihat serius membaca file-file di meja Ronald. Wanita itu hanya
"Tante, bagaimana kondisi Om Pras?" tanya Alana saat sudah masuk ruang ICU. Alana sudah berganti pakaian steril dan berjalan menuju brankar tempat Om Prasodjo dirawat. "Ke sini, Lana. Om Pras dari tadi terus saja menyebutkan namamu," ujar Tante Ajani cemas. Alana segera menyapa Om Prasodjo dan mengajaknya berbicara. Namun rupanya Om Prasodjo kena stroke ketika sadar dan nampak kesulitan berbicara dengan Alana secara jelas. "Ma-ia, ia ang uat a-u se-ti ini (Maria, dia yang buat aku seperti ini)," ujar Om Prasodjo terbata-bata. Alana menggemelatukkan giginya menahan kesal. Maria, lagi-lagi Maria yang mengacaukan segalanya. "Kok bisa, Om Pras? Ba-bagaimana Maria bisa buat Om Prasodjo pingsan di pagi hari sampai kena stroke begini?" tanya Alana tak sabar. "Teh an iuit, Ma-ia eri ada-u (Teh dan biskuit, Maria berikan padaku)," jelas Om Prasodjo singkat. Alana mengingat saat sebelum pulang, Maria memang sempat menghidangkan Teh dan biskuit di meja. Wanita itu bahkan membungkuskan ma