Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya.
Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya. 'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain perut,' monolognya lagi. Sontak wajah yang tadinya semringah kini berubah jadi cemberut, hatinya kecewa sebab sarapan di rumah sendiri mau pun di rumah mewah menantunya, sama-sama nasi goreng. "Ibu sama siapa?" tanya Rosa memecahkan keheningan. "Ibu sendiri," jawab Bu Wati seadanya. "Bapak nggak ikut? Kemarinkan saya sudah kirim pesan ke Hani agar kalian semua ikut kesini." "Nggak tau tu, pada males berangkat katanya. Kamu tahu sendiri, 'kan dirumah Kakakmu tidak bisa apa-apa, jadi terpaksa Ibu sendiri yang pergi, karna Bapak yang akan mengurus kakakmu selagi Ibu pergi." "Apa Mas Farid tidak merindukan Chika, Bu?" "Ntahlah, kakakmu masih sama, hari-harinya selalu murung, seperti tidak ada gairah untuk hidup. Capek kadang Ibu ngurusinnya! Dari kecil, sudah di urus, sampai tua juga masih Ibu yang urus! Haduh, Rosa ... bisa kamu bayangin betapa lelahnya Ibu," ungkap Bu Wati seraya menjatuhkan diri di atas sofa empuk yang ada di ruang tamu itu. "Dulu Ibu selalu ngebanggainnya, Ibu juga pernah, 'kan ngerasain hasil keringatnya, jadi ... janganlah Ibu bilang begitu. Mas Farid mungkin butuh perawatan ekstra, selain syok mungkin Mas Farid juga kaget karna keadaan tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh derajat," ungkap Rosa. Ia masih ingat betul bagaimana dulu sang mertua membandingkan Hasan dan Farid. Namun, anak kebanggaannya yang dulu bergelar Manajer itu kini tak ada bedanya seperti bayi. Semua, apa-apa harus di bantu. Bahkan, untuk buang air besar pun langsung di dalam celana. Keadaan Farid kian hari kian memburuk, yang ia lakukan hanya duduk di kursi roda seraya menatap langit dari jendela kamarnya. Menjenguk, dan bertanya kabar tentang Chika pun tak pernah ia lakukan. Farid seakan lupa bahwa gadis kecilnya kini di besarkan oleh adik iparnya. "Mau perawatan ekstra yang gimana? Di anjurin rawat jalan sama dokter saja dia tidak mau. Kalo di tanya banyak diemnya. Bengong aja di depan jendela. Entah apa yang di lihatin." "Huffff," Rosa menarik nafasnya dalam. Entah bagaimana ia harus bersikap. "Apa Hasan tidak pulang?" "Belum tahu, Bu. Katanya akan di usahakan." "Duh, gimanaa sih. Semenjak jadi bos kok Ibu nggak pernah di tengok." "Bukan nggak mau nengok, Bu. Mas Hasan masih di Padang merintis proyek barunya." "Wih, pasti banyak duitnya?" "Iya, banyak, Bu! Banyak sekali!" sahut Rosa. "Ibu kalo mau bisa ke dapur bantu Bi Wiwid nyiapin keperluan untuk acara nanti, tapi kalo nggak mau juga Ibu duduk aja disini nonton TV, atau main sama Chika, saya mau mandi dulu," lanjutnya berkata. 'Ihhhh, enak saja ke dapur! Apa kamu pikir Ibu datang ke sini untuk jadi pembantu?' omel Bu Wati, tetapi hanya dalam hati. Tak perlu menunggu jawaban sang mertua, Rosa pergi begitu saja meninggalkan Bu Wati di ruang tamu seorang diri. Banyak hal yang harus di tatanya hari ini, termasuk mengecek keperluan untuk acara nuju bulan nanti. Soal makanan ia tak perlu repot karena ada pihak catering yang bertanggung jawab. Krekkkk. Rosa masuk ke kamar, sebelum mengawali hari dia akan menyegarkan diri, "loh, Chika? Kenapa main di kamar? Apa Chika nggak kangen sama nenek?" tanya Rosa yang heran melihat keponakannya itu hanya berdiam diri di dalam kamar bermain boneka. "Chika takut, Tante," ucapnya seraya berbisik, seakan takut bila ada yang mendengar ucapannya. "Takut kenapa sayang?" Rosa berjalan mendekati keponakannya lalu duduk di sebelahnya, dan bertanya dengan lembut, "Nenek nakal sama Chika?" kata Rosa berusaha mencari jawaban atas kerisauan yang jelas terlihat di mata gadis kecil itu. Lama tak ada jawaban, Chika hanya diam seperti sedang ketakutan. Hal itu membuat Rosa jadi penasaran. Sebenarnya apa yang di lakukan Bu Wati pada Chika sebelum dirinya bangun tadi? ***Meski lahir prematur, tapi bayi kelihatan sehat. Suaranya nyaring, semua lengkap tidak ada yang kurang. Hanya saja, berat badannya di bawah standar karena usia lahir belum mencukupi. Namun, hal itu tidak jadi masalah sebab setelah di periksa tidak ada gangguann apapun pada bayi. Termasuk, pernafasan yang biasanya bermasalah pada bayi prematur, tetapi tidak dengan bayi Mawar. "Anaknya laki-laki, Pak. Selamat ...," ucap dokter sambil menyalami Hasan. Sang dokter mengira Hasan adalah ayah dari bayi itu, meski memang begitu, tapi bukan berarti Mawar adalah istrinya, "karena fisiknya lemah, tekanan darah tinggi, juga terjadi pendarahan hebat setelah melahirkan, istri bapak ... maaf, kami tidak bisa menyelamatkan istri bapak," ungkap dokter itu dengan wajah tertunduk lesu. "Apa maksudnya dokter?" tanya Rosa tak percaya. Dengan berat hati sang dokter pun mengatakan apa yang terjadi pada Mawar setelah berjuang melahirkan sang buah hati ke dunia, "beliau, telah meninggal dunia ...." "A
Mendengar perintah dari sang istri, dan melihat Mawar yang terus merintih, Hasan ... lelaki itu seakan terhipnotis dengan keadaan. Ia hanya diam, tanpa melakukan apapun. Otaknya berhenti untuk berfikir, dan tak dapat melakukan apa-apa. Pria itu hanya diam sambil menatap Mawar dengan tatapan kebingungan. "Astaga, Mas!" Rosa menepuk pundak suaminya, "sadarlah! Dia akan melahirkan anakmu! Kamu mau kehilangan anak lagi?" ucap Rosa yang geram karena suaminya tak melakukan apa pun, padahal daster yang di kenakan Mawar sudah basah akibat rembasan air ketuban. "San, Rosa benar. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit terdekat. Kasihan bayinya," timpal pak Heri. Hasan menoleh, dan menatap dalam wajah sang istri, "apa kamu tidak keberatan bila aku menggendongnya?" tanya Hasan. Ternyata pria itu diam tak berkutik bukan karena syok, tetapi ia sedang menjaga perasaan istrinya, ia tak mau menyakiti hati wanita itu. Hasan takut bila dirinya bertindak cepat, akan menimbulkan sebuah prasangka buruk yan
Di lantai tiga ini, tidak ada satu pun pasien yang berkeliaran, atau hanya sekedar duduk di kursi yang ada di sekitar koridor. Namun, di sini Rosa juga baru menyadari jika tidak ada kursi yang tertata rapi seperti kursi-kursi yang ada di lantai satu. "Sepi sekali," gumamnya lagi. Dua lelaki yang sejak tadi berjalan bersamanya, juga merasakan hal yang sama. Pemandangan di lantai tiga benar-benar mencekam. "Mas, apa seperti ini suasana rumah sakit jiwa? Kenapa beda sama yang sering muncul di film-film? Kalo ini lebih mengarah ke ...." "Toni!" Sontak pak Erik, Rosa, dan juga Hasan langsung menoleh ke asal suara. "Toni?" gumam Rosa."Calon suaminya yang di bunuh oleh papahnya." "Apakah itu Mawar?" "Sepertinya begitu." Wanita dengan perut yang membuncit, memakai daster, serta rambut nan acak-acakan berjalan sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Usia kandungan itu mungkin sekitar enam, atau bahkan memasuki usia tujuh bulan, terlihat dari cara berjalannya yang agak kesusah
Tak ada perdebatan lagi di antara pasangan suami istri itu. Mereka berdua akhirnya melenggang keluar, menelusuri jalanan Kota Palembang yang cukup senggang. Atas permintaan sang istri, akhirnya Hasan mau pergi ke rumah sakit jiwa menjenguk Mawar, wanita yang kini tengah mengandung anaknya. "Maaf, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang suster pada Hasan, dan juga Rosa yang baru saja tiba di RSJ kasih bunda. "Kami ingin bertemu Mawar." "Apakah kalian saudara, keluarga, teman, atau ...." "Teman. Kami temannya," sahut Hasan. "Untuk itu apakah kalian sudah meminta izin pada pak Heri?" "Eum ... itu." "Pasien bernama Mawar ini sedikit sensitif. Dia akan mengamuk, dan mencelakai siapa saja yang datang mendekatinya. Untuk itu, pak Heri selaku orang tua beliau, tidak memberi akses temu untuk siapa saja yang ingin menjenguk Mawar kecuali sudah izin pada beliau terlebih dahulu." "Kalau begitu ... baiklah, kami akan menghubungi pak Heri terlebih dahulu." Lekas Hasan, dan Rosa pun menj
Rosa yang tadi membuang muka, kini beralih menatap dalam wajah sang ayah, "Mawar dirawat di rumah sakit jiwa? Maksud Papah?" tanyanya penasaran."Papah belum tahu pasti, tapi ... salah satu petugas kepolisian tadi mengatakan kalau tahanan yang bernama Mawar sudah di pindah ke rumah sakit jiwa. Mereka bilang sih, Mawar memiliki latar belakang depresi, dan Papah yakin kalau Mawar depresi pasti gara-gara kematian calon suaminya." "Kasihan ya, Pah ...." "Huhffff ... entahlah, Nak. Mau di kasihani, mau di maklumin, tapi tetap saja, di mata Papah dia salah. Salah karena telah berbuat nekat merayu pria yang sudah beristri." Rosa terdiam, meski pun ia merasa iba, tetapi hasil tes DNA itu mengatakan bahwa dirinyalah yang patut untuk di kasihani. "Bagaimana kedepannya, Pah? Haruskah mas Hasan menikah dengannya?" tanya Rosa memastikan, sebab ia pun tak tahu harus bagaimana menyikapi keadaan ini. Begitu banyak, bertubi kepiluan yang ia rasakan, Rosa ... wanita itu kian meredub, menyesal tela
Tiga hari telah berlalu, dan kini saat yang di tunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Pak Erik, dengan jas casualnya berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Pagi tadi dirinya di telfon oleh dokter Fajar, dan diminta untuk datang ke rumah sakit, sebab hasil tes DNA sudah keluar. Tok ... Tok ... Tok. "Masuk," kata si dokter dari dalam ruangan. Pak Erik pun masuk kedalam ruangan yang tak begitu luas itu. Jantungnya sedikit berdebar. Namun, wajahnya tetap santai, "bagaimana?" tanyanya to the poin saat telah berada di hadapan sang dokter. "Ini," kata Fajar seraya menyodorkan amplop besar berwarna putih. Perlahan tapi pasti tangan pak Erik mengulur, dan mengambil amplop putih itu. "Duduk dulu, Pak," ujaf Fajar mengingatkan. Wajah pak Erik yang semula santai, kini terlihat tegang. Jantungnya juga kian berdegup kencang. Apapun hasilnya, dan bagaimana pun isinya, ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap legowo terhadap kenyataan yang akan di hadapi. "Kau yakin ini aman?" tanya pa