Share

Mimpi atau Nyata?

Penulis: Perarenita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-12 07:19:09

"Chika," panggil Rosa, ia pun duduk di sebelah keponakannya, "kalau Chika nggak mau main sama nenek, Chika boleh main di kamar aja," ucapnya seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu.

Perlahan Chika mengangkat wajahnya, dan memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di sebelahnya ini, "Chika mau main keluar, tapi Chika nggak mau main sama nenek, Tante," ungkapnya pelan. 

Rosa mengerti, mungkin saja tadi sikap mak lampir sang mertua kembali kambuh yang mengakibatkan cucunya menjadi takut, "ya sudah, oya Chika mandi sama siapa?" tanya Rosa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. 

"Mandi sendiri, Tante." 

"Anak pinter ... ya sudah kalo gitu Tante mau mandi dulu ya." 

"Iya, Tante." 

Perlahan Rosa beranjak dari sana sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia kembali melewati bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh semalam. Ia pun kembali teringat, betapa gelisah perasaannya semalam, "Papah," lirihnya. 

Rosa mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya itu. Ia memilih untuk mengecek ponsel, apakah ada kabar baik dari sang ayah yang saat ini tengah berada di atas udara. 

"Ceklis." 

"Huff."

Pesan yang di kirim masih sama bentuknya seperti semalam. Rosa semakin risau dengan pesawat yang membawa Papahnya kembali ke tanah air, apakah akan baik-baik saja? sebab semalam sang ayah mengatakan bila cuaca sedang buruk. 

Tok ... Tok ... Tok. 

Rosa terperanjat saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, "siapa?" tanyanya dengan posisi berdiri di sebelah ranjang. 

"Saya, Bu."

Mendengar yang mengetuk adalah suara Art-nya Rosa pun membuka pintu, "ada apa, Bi?"  tanyanya langsung. 

"Maaf, Bu, itu ada petugas dari catering, katanya mau menata meja." 

"Oh, ya sudah gak  pa-pa, langsung saja ajak ke halaman belakang." 

"Baik, Bu." 

Acara ini akan di laksanakan nanti sore, tepatnya setelah Sholat Ashar, dan Rosa ingin taman yang ada di belakang rumahnya di jadikan tempat untuk acara nuju bulannya, sebab menurut Rosa suasananya sangat lah pas. Para petugas dekor juga sudah datang sejak kemarin untuk merapikan tempat itu. Rosa bergegas menyegarkan diri sebelum para kerabat datang. Setelah ini dirinya pasti akan disibukkan dengan mengatur ini, dan itu. Sungguh melelahkan, tapi bila sang suami ada di sini, mungkin saja rasa lelah itu tak akan terasa. 

***

"Heh kamu! Awas saja kalo sampai bicara yang aneh-aneh pada menantuku! Sakit ini belum seberapa dengan apa yang akan aku lakukan bila sempat kamu mengadu!" bisik Bu Wati seraya mencubit perut Bi Wiwid, sama seperti yang di lakukannya tadi pada Chika. 

"I-iya, Bu," cicit Bi Wiwid seraya menahan sakit di perutnya. 

"Ibu-ibu! Panggil saya Nyonya!" sentak Bu Wati, lalu melepaskan cubitan itu dari perut Bi Wiwid. 

Wanita yang usianya sekitar 47 tahun itu hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan Bu Wati. Sayangnya dia adalah Ibu dari majikannya. Namun, Bi Wiwid tak akan gentar meski wanita itu mengancam dirinya, ia tidak takut, sebab ia pun tahu bahwa Rosa tak mungkin diam saja bila mengetahui dirinya di sakiti oleh wanita tua yang bergelar Ibu, tapi berhati beku.  

"Nyonya ... baiklah, aku akan memanggilmu dengan sebutan Nyonya, tapi lihat saja, jangan salahkan aku bila kamu akan mendapatkan batu," gumam Bi Wiwid seraya memperhatikan gerak Bu Wati yang kian menjauh darinya.  

Ting-Tong, Ting-Tong.

Waktu terus berjalan, satu persatu para kerabat jauh mulai berdatangan. Para tetangga kiri-kanan juga hadir di sana, padahal jam masih menunjukkan pukul 2 siang, tetapi suasana rumah sudah ramai. 

"Apa Hasan, dan Papah kamu tidak pulang, Ros?" tanya Bu Wati yang sejak tadi tak melihat kehadiran besan serta putranya. 

"Hufff ... entahlah, Bu. Nomor Mas Hasan tidak aktif, nomor Papah juga tidak aktif. Mereka begitu kompak, padahal sedang di tempat berbeda. Papah bilang penerbangan di tunda karna cuaca buruk. Kalo Mas Hasan nggak tau apa alasan nya, kekeh banget nggak mau pulang," gerutu Rosa yang sebenarnya tengah mengungkapkan uneg-uneg hatinya. 

Hari ini ia sangat kecewa, namun ... Rosa  mencoba untuk tabah, sebab acara nuju bulan ini di lakukannya sebagai bentuk adat jawa yang masih di percaya oleh neneknya. Sedangkan tentang bingkai foto, dan mimpi itu ia coba untuk melupakannya, dan menganggap bahwa kejadian aneh semalam hanya bagian dari bunga tidur. 

"Mungkin suamimu sibuk. Maklum saja, 'kan dia bosnya," ucap Bu Wati. 

"Saya punya Caffe, dan saya bos di sana, tapi tidak begitu aktif karena ada tangan kanan yang mengerjakan semuanya, termasuk merekap keluar masuk uang, serta pendapatan harian. Tidak seperti Mas Hasan yang stand by 24 jam di lokasi!" 

"Sudah-sudah, do'akan saja suamimu cepat pulang dengan selamat. Suami kerja kok malah di omeli." 

"Astaga, bukan di omeli, Bu. Saya cuma,---" 

"Maaf, permisi, Bu," kata Bi Wiwid yang tiba-tiba datang, dan menghentikan obrolan yang tengah terjadi. 

"Ada apa, Bi?" tanya Rosa yang juga penasaran, sebab ekspresi Art-nya ini sangat berbeda dadi biasanya. Terlihat tegang, dan ... sebenarnya apa yang terjadi? 

"Anu, Bu, sebaiknya Ibu ke depan dulu, dan lihat semuanya sendiri." 

Degh. 

Apa? Ada apa? Pikiran Rosa kembali melayang, apakah ini pertanda dari mimpi buruk, dan bingkai foto yang terjatuh semalam?  

"Cepat, Bu!" 

Dengan susah payah Rosa beranjak dari duduknya, perutnya yang membuncit membuat bobotnya semakin bertambah, "sabar, Bi. Jangan begitu, perut saya jadi kram ini," keluh Rosa yang memang sejak semalam perutnya terus-terusan berkontraksi.  

"Sudah, kamu tunggu saja disini, biar Ibu yang lihat ke depan," kata Bu Wati yang tak tega melihat menantunya kesusahan membawa badan. 

"Tidak apa, Bu. Pelan-pelan saya bisa."

Sesampainya di depan, Rosa jadi tercengang, jantungnya berdegup kencang, melihat seseorang yang begitu di nantikan berdiri dengan tegap di hadapannya. Namun, apakah ini nyata, atau hanya angannya saja .... 

"Tolong ... siapa pun tolong cubit saya." 

***  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia di Balik Perjalanan Dinas Suamiku   Kamar 16

    "Jangan mengada-ngada, Pah! Mentang-mentang dia lelaki pilihan Papah, jadi Papah mau bela diri gitu?" ungkap Rosa setelah hening beberapa saat."Astagfirullah, Papah tidak membela diri, tapi memang benar Hasan sedang kritis!""Sudahlah, Pah. Itu lagu lama, tidak perlu melakukan apapun untuk mengambil rasa simpati Ros. Ros muak dengan semuanya!" ucap Rosa, seraya menutup pintu, tetapi dengan cepat di tahan oleh ayahnya. "Tunggu dulu, Ros!" "Apa lagi, Pah? Hasan kritis? Hasan di jebaklah, inilah itulah. Apa lagi alasan yang akan Papah katakan demi menutupi kebobrokannya?" ucap Rosa kesal, "sekarang gini aja, Pah ... Papah punya bukti? Foto atau apa gitu yang menunjukkan bahwa sekarang dia benar-benar kritis. Lagian, kalo dia kritis kenapa pula Papah mencarinya kesini?" lanjutnya menyangkal, dan tak akan percaya sebelum dirinya benar-benar melihat langsung kondisi lelaki yang sudah membuatnya sakit hati. "Kamu ingat, teman yang Papah bilang kecelakaan, waktu di rumah sakit? Dia bukan

  • Rahasia di Balik Perjalanan Dinas Suamiku   Kalang Kabut

    Banyak pasang mata yang memperhatikannya, terutama melihat kaki Hasan yang masih di gipsun, dan wajahnya yang penuh memar. Pengunjung rumah sakit merasa heran melihat Hasan berjalan tergesa-gesa menuju Valet Parking. Hasan tak perduli dengan tatapan-tatapan itu, fokusnya hanya satu, harus pergi dari sini sebelum ayah mertua bangun, dan menyadari bahwa dirinya tidak ada di ruangan itu lagi. "Semoga Papah masih tidur," gumamnya sambil terus melangkah, membawa gipsun di kakinya.Sudah cukup jauh ia melangkah dengan tertatih-tatih, Hasan pun sampai di tempat tujuan. Mobil miliknya masih ada di sana, tak bergerak sedikit pun, tempatnya masih sama seperti saat kemarin ia mengantarkan istrinya ke rumah sakit ini. Namun, setelah sampai di sana Hasan tak bisa membuka pintu mobil itu karena ia tak memiliki kuncinya. "Argh! Sial! Kemana kuncinya!" teriak Hasan frustasi. Ia kembali mengingat, dan mencoba mengingat dimana terakhir kali ia meletakkan kunci mobil. "Celana ... Iya! Kunci itu ada

  • Rahasia di Balik Perjalanan Dinas Suamiku   Kembali Ke Padang

    Rosa diam, dan memutar otak, menduga-duga kemana perginya sang suami. Setelah pertengkaran mereka malam itu, Hasan sama sekali tak menampakan batang hidungnya, bahkan di saat dirinya terbaring lemah di rumah sakit, lelaki itu sama sekali tak datang walau sekedar menemaninya. Apakah Hasan kabur bersama Mawar, atau mungkin .... "Nak," panggil Bu Wati.Panggilan itu menyadarkan Rosa dari lamunan panjangnya, pikiran buruk, dan prasangkanya terhadap sang suami, "kalau begitu saya permisi dulu, Bu," kata Rosa. Tak mungkin ia menyampaikan berita perpisahan ini kepada mertuanya. Rosa tak sampai hati untuk mengatakannya. "Loh, baru juga datang. Makan dulu ya, Ibu masakin sup bakso, mau?" tawar Bu Wati, hatinya sedikit kecewa karena map kuning itu tak kunjung di berikan kepadanya. "Tidak, Ibu ... terimakasih, ada hal yang harus saya urus. Lagian, Chika di rumah saya tinggal sama Bi Wiwid, kasihan." "Ah, iya ...," ucap Bu Wati gantung, sebab ia pun lupa bila ada cucu lain yang ia miliki, "ja

  • Rahasia di Balik Perjalanan Dinas Suamiku   Pisah Rumah

    Rosa menoleh ke sumber suara, lelaki itu ... dia adalah Farid. Meski hanya kepalanya saja yang terlihat, dan rambutnya yang gondrong, tetapi mendengar suaranya Rosa masih ingat bahwa lelaki itu adalah Farid, sesorang yang pernah menghina ayah, dan juga suaminya saat di kantor Nuansa. "Eh, Pak Erik, 'kan ya?" sapanya saat berpapasan dengan lelaki tua itu. "Ada perlu apa datang ke sini, Pak? Mau melamar peker-jaan? Oh, ya bagian secur-ity ada tu, kebetulan yang jadi secu-rity baru saja mengundurkan diri," ucapnya berlaga sombong. "Kamu siapa?" tanya Pak Erik, yang memang tak begitu hapal dengan anggota karyawan sini. "Saya ... perkenalkan, saya Farid, dan saya manager di perusahaan ini. Semua keputusan ada di tangan saya, dan saya yang memimpin semua karyawan disini. Bapak ini, orang tua Rosa, 'kan?" Pak Erik tersenyum, mungkin ini yang di bilang putrinya kemarin. Saudara suaminya ada di bagian manajer. Lihatlah, betapa songo-ng, dan sombongnya dia memperkenalkan diri. Apa dia tidak

  • Rahasia di Balik Perjalanan Dinas Suamiku   Rumah Mertua

    Selang menyelang, serta infus yang melekat di tubuh Hasan, tak ia hiraukan. Hasan beranjak dari tidurnya setelah 24 jam koma. "San!" panggil Pak Erik, ia berusaha menahan Hasan yang tengah melepas selang-selang itu dari tubuhnya."Kamu masih sakit, mau kemana! Jangan di lepas alat itu," ucap Pak Erik."Aku harus ke Padang, Pah! Aku harus menemukan bukti, bahwa aku tidak bersalah! Rosa, dia pasti menungguku," ungkap Hasan, sambil bersikeras melepas berbagai jenis selang yang melekat di tubuhnya."Sabar! Tenang dulu! Papah tahu kamu gelisah, tapi ingat kesehatanmu belum pulih! Tunggu sampai keadaanmu membaik!""Tidak, Pah. Aku harus ke Padang sekarang! Wanita sinting itu sangat berbahaya," ucap Hasan, ia masih ingat betul bagaimana Mawar memperlakukan dirinya, bahkan menyuruh anak buahnya untuk menghajar dirinya. Hasan trauma, ia pun takut bila Mawar akan menyakiti Rosa juga"Papah tahu. Dia sudah Papah amankan. Kamu tidak perlu khawatir!"Sontak Hasan langsung mematung, tangannya diam,

  • Rahasia di Balik Perjalanan Dinas Suamiku   Gelagat Hasan

    Rosa turun dari mobil dengan perasaan tak karuan memandangi rumah yang hampir 1 tahun ia tempati, dan 7 bulan terakhir tanpa seorang suami menemani. Wajahnya datar tanpa ekspresi, perutnya yang membuncit sedikit di elusnya, sambil berjalan Rosa menatap sekitar halaman rumahnya. Bunga-bunga yang bermekaran, dan selalu ia rawat, kini tampak gersang ... segersang hatinya sekarang."Bu, saya jemput Chika dulu," kata Bi Wiwid sebelum mereka masuk ke dalam rumah. "Eum," sahut Rosa sambil menganggukan kepalanya. Bergegas Bi Wiwid pergi ke rumah yang ada di sebelah rumah majikannya. Rumah Nara, tadi ia menitipkan Chika di sana. Sedang Rosa, ia masuk duluan ke dalam rumah, perasaannya semakin tak karuan kala melihat taman yang ada di halaman belakang. Taman itu tempat yang ia gunakan untuk acara nuju bulan, tetapi serangkaian acara itu telah hancur bersama datangnya badai, juga sebuah kenyataan yang selama ini tidak ia ketahui. "Jadi ... kamu benar-benar mengkhianati aku, Mas," lirih Rosa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status