"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa.
"Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bisik Pak Erik. "Ohhh, jadi ini semua rencana Papah? Sengaja buat aku khawatir, sengaja buat aku nungguin, dan mikirin kalian sampe nggak bisa tidur!" "Bukan gitu, Ros ... kamu tahu sendiri gimana rumitnya membangun anak cabang. Untungnya suamimu ini cepat tanggap, jadi hanya dalam waktu 7 bulan anak cabang yang ada di Padang berkembang dengan pesat. Papah bangga dengan suamimu." "Bukannya Papah di eropa?" "Papah di eropa cuma 3 bulan, selebihnya Papa mantau Hasan di Padang." "Eh ... eh, sudah-sudah berdebatnya di lanjut nanti saja," ucap Bu Wati menyalip pembicaraan anak, dan ayah itu, "Ros, ajak suamimu masuk, ibu akan siapkan makanan untuk Papahmu," kata Bu Wati memberi intruksi. 'Loh ... jangan bilang Ibu caper sama Papah. Hadeuh ... lupa umur, kah?' monolog Rosa dalam hati. "Ros," panggil Bu Wati lagi, sebab menantunya itu hanya bengong di tempat. "Iya, Bu. O ya, bagian makanan biar Bi Wiwid saja yang menyiapkan untuk Papah. Ibu duduk saja di sana sama yang lain, nggak perlu repot-repot. Ibu bilang tadi Ibu lelah karna mengurus Mas Farid, jadi di sini Ibu di bebaskan dari tugas apapun. Ibu bisa bersantai tanpa harus melakukan pekerjaan apapun," tukas Rosa. Ia tak ingin bila Ibu mertuanya itu mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Andai Pak Bowo ikut, mungkin Bu Wati tak akan segaje itu terhadap besannya. "Eh," Bu Wati tersenyum kikuk. Begitu percaya dirinyanya dia akan di izinkan untuk melayani besannya yang baru pulang dari perantauan, dia pikir dia siapa? Harusnya malu, dan sadar posisi dong. Apa karna tempat tinggal mewah, dan harta yang berlimpah membuat Bu Wati kadi melupakan asal usulnya? "Bu," tegur Hasan, ia ingin mematahkan kecanggungan yang sempat terjadi, "apa kabar, Bu?" tanya Hasan, ia pun mencium tangan sang bunda. "B-baik," jawab Bu Wati gagu, 'ah ... betapa bodohnya aku! Apa sih yang sedang aku pikirkan! Astagfirullah, sadar Wati, sadar!' gerutunya dalam hati. Wanita itu pun memeluk putranya seakan banyak kerinduan yang tak sempat tersampaikan. Padahal, Bu Wati hanya menutupi rasa malu yang tengah melanda dirinya sebab telah berani mengatur tuan rumah. "Bapak nggak ikut, Bu?" tanya Hasan lagi. "Nggak. Bapak di rumah jagain Kakakmu." "Ayo-ayo kita ngobrol di dalam saja," sanggah Pak Erik yang mulai lelah sebab sejak tadi hanya berdiam diri di depan pintu. Mereka pun masuk, dan pintu di biarkan terbuka sebab banyak sanak saudara, dan para keponakan yang keluar masuk rumah untuk sekedar melihat-lihat, atau memang memperhatikan setiap sudut rumah si pewaris tunggal itu. Rosa mengantar Hasan ke kamar, dia akan membersihkan diri dulu sebelum acara di mulai. "Jadi kamu di bimbing sama Papah, Mas?" tanya Rosa yang kini sudah berada di dalam kamar, duduk di tepi ranjang memperhatikan gerak-gerik lelaki yang sangat di rindukan olehnya. "Iya, Sayang. Makanya aku nggak bisa pulang, karena nggak di kasih izin sama Papah sebelum anak cabang itu berdiri," kata Hasan seraya meletakkan koper yang di bawa berdinas di sudut ruangan. "Em gitu ...," sahut Rosa. Ada sedikit lega di dada sebab pikiran buruk yang sempat menghantuinya tak berarti apa-apa. "Kalo di lapangan Papah lumayan galak ya. Nggak perduli siapa A siapa B." "Kenapa? Kamu kena imbas, Mas?" Hasan berjalan mendekati istrinya lalu tersenyum nakal, "sedikit heheh," ucapnya kemudian. Lelaki itu duduk di sebslah sanh istri. Jujur saja 7 bulan tak memandang wajahnya membuat Hasan jadi kelimpungan. Namun, mau bagaimana lagi, lelaki memang harus seperti itu. Rela jauh dari istri, dan keluarga demi sebuah tanggung jawab. "Sayang, sekarang ayah di sini. Maafin Ayah karena perginya lama, tapi ... Ayah janji, setelah ini Ayah tidak akan kemana-mana lagi," ungkap Hasan seraya mengelus, dan mengajak bicara bayi yang tengah berada di dalam kandungan istrinya. Rosa tersenyum ... kali ini hati, dan perasaannya benar-benar lega. Tak ada lagi kerisauan, tak ada lagi kegelisahan tentang bingkai foto, dan juga mimpi buruk yang melandanya semalam. Namun, Rosa tak akan menyangka bila kepulangan suaminya ini adalah awal dari kehancurannya. Bila suami, dan ayah telah pulang dengan selamat, lalu oleh-oleh apakah yang di bawa Hasan untuk sang istri? *** Next? Ada kejutan untuk Rosa.Meski lahir prematur, tapi bayi kelihatan sehat. Suaranya nyaring, semua lengkap tidak ada yang kurang. Hanya saja, berat badannya di bawah standar karena usia lahir belum mencukupi. Namun, hal itu tidak jadi masalah sebab setelah di periksa tidak ada gangguann apapun pada bayi. Termasuk, pernafasan yang biasanya bermasalah pada bayi prematur, tetapi tidak dengan bayi Mawar. "Anaknya laki-laki, Pak. Selamat ...," ucap dokter sambil menyalami Hasan. Sang dokter mengira Hasan adalah ayah dari bayi itu, meski memang begitu, tapi bukan berarti Mawar adalah istrinya, "karena fisiknya lemah, tekanan darah tinggi, juga terjadi pendarahan hebat setelah melahirkan, istri bapak ... maaf, kami tidak bisa menyelamatkan istri bapak," ungkap dokter itu dengan wajah tertunduk lesu. "Apa maksudnya dokter?" tanya Rosa tak percaya. Dengan berat hati sang dokter pun mengatakan apa yang terjadi pada Mawar setelah berjuang melahirkan sang buah hati ke dunia, "beliau, telah meninggal dunia ...." "A
Mendengar perintah dari sang istri, dan melihat Mawar yang terus merintih, Hasan ... lelaki itu seakan terhipnotis dengan keadaan. Ia hanya diam, tanpa melakukan apapun. Otaknya berhenti untuk berfikir, dan tak dapat melakukan apa-apa. Pria itu hanya diam sambil menatap Mawar dengan tatapan kebingungan. "Astaga, Mas!" Rosa menepuk pundak suaminya, "sadarlah! Dia akan melahirkan anakmu! Kamu mau kehilangan anak lagi?" ucap Rosa yang geram karena suaminya tak melakukan apa pun, padahal daster yang di kenakan Mawar sudah basah akibat rembasan air ketuban. "San, Rosa benar. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit terdekat. Kasihan bayinya," timpal pak Heri. Hasan menoleh, dan menatap dalam wajah sang istri, "apa kamu tidak keberatan bila aku menggendongnya?" tanya Hasan. Ternyata pria itu diam tak berkutik bukan karena syok, tetapi ia sedang menjaga perasaan istrinya, ia tak mau menyakiti hati wanita itu. Hasan takut bila dirinya bertindak cepat, akan menimbulkan sebuah prasangka buruk yan
Di lantai tiga ini, tidak ada satu pun pasien yang berkeliaran, atau hanya sekedar duduk di kursi yang ada di sekitar koridor. Namun, di sini Rosa juga baru menyadari jika tidak ada kursi yang tertata rapi seperti kursi-kursi yang ada di lantai satu. "Sepi sekali," gumamnya lagi. Dua lelaki yang sejak tadi berjalan bersamanya, juga merasakan hal yang sama. Pemandangan di lantai tiga benar-benar mencekam. "Mas, apa seperti ini suasana rumah sakit jiwa? Kenapa beda sama yang sering muncul di film-film? Kalo ini lebih mengarah ke ...." "Toni!" Sontak pak Erik, Rosa, dan juga Hasan langsung menoleh ke asal suara. "Toni?" gumam Rosa."Calon suaminya yang di bunuh oleh papahnya." "Apakah itu Mawar?" "Sepertinya begitu." Wanita dengan perut yang membuncit, memakai daster, serta rambut nan acak-acakan berjalan sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Usia kandungan itu mungkin sekitar enam, atau bahkan memasuki usia tujuh bulan, terlihat dari cara berjalannya yang agak kesusah
Tak ada perdebatan lagi di antara pasangan suami istri itu. Mereka berdua akhirnya melenggang keluar, menelusuri jalanan Kota Palembang yang cukup senggang. Atas permintaan sang istri, akhirnya Hasan mau pergi ke rumah sakit jiwa menjenguk Mawar, wanita yang kini tengah mengandung anaknya. "Maaf, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang suster pada Hasan, dan juga Rosa yang baru saja tiba di RSJ kasih bunda. "Kami ingin bertemu Mawar." "Apakah kalian saudara, keluarga, teman, atau ...." "Teman. Kami temannya," sahut Hasan. "Untuk itu apakah kalian sudah meminta izin pada pak Heri?" "Eum ... itu." "Pasien bernama Mawar ini sedikit sensitif. Dia akan mengamuk, dan mencelakai siapa saja yang datang mendekatinya. Untuk itu, pak Heri selaku orang tua beliau, tidak memberi akses temu untuk siapa saja yang ingin menjenguk Mawar kecuali sudah izin pada beliau terlebih dahulu." "Kalau begitu ... baiklah, kami akan menghubungi pak Heri terlebih dahulu." Lekas Hasan, dan Rosa pun menj
Rosa yang tadi membuang muka, kini beralih menatap dalam wajah sang ayah, "Mawar dirawat di rumah sakit jiwa? Maksud Papah?" tanyanya penasaran."Papah belum tahu pasti, tapi ... salah satu petugas kepolisian tadi mengatakan kalau tahanan yang bernama Mawar sudah di pindah ke rumah sakit jiwa. Mereka bilang sih, Mawar memiliki latar belakang depresi, dan Papah yakin kalau Mawar depresi pasti gara-gara kematian calon suaminya." "Kasihan ya, Pah ...." "Huhffff ... entahlah, Nak. Mau di kasihani, mau di maklumin, tapi tetap saja, di mata Papah dia salah. Salah karena telah berbuat nekat merayu pria yang sudah beristri." Rosa terdiam, meski pun ia merasa iba, tetapi hasil tes DNA itu mengatakan bahwa dirinyalah yang patut untuk di kasihani. "Bagaimana kedepannya, Pah? Haruskah mas Hasan menikah dengannya?" tanya Rosa memastikan, sebab ia pun tak tahu harus bagaimana menyikapi keadaan ini. Begitu banyak, bertubi kepiluan yang ia rasakan, Rosa ... wanita itu kian meredub, menyesal tela
Tiga hari telah berlalu, dan kini saat yang di tunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Pak Erik, dengan jas casualnya berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Pagi tadi dirinya di telfon oleh dokter Fajar, dan diminta untuk datang ke rumah sakit, sebab hasil tes DNA sudah keluar. Tok ... Tok ... Tok. "Masuk," kata si dokter dari dalam ruangan. Pak Erik pun masuk kedalam ruangan yang tak begitu luas itu. Jantungnya sedikit berdebar. Namun, wajahnya tetap santai, "bagaimana?" tanyanya to the poin saat telah berada di hadapan sang dokter. "Ini," kata Fajar seraya menyodorkan amplop besar berwarna putih. Perlahan tapi pasti tangan pak Erik mengulur, dan mengambil amplop putih itu. "Duduk dulu, Pak," ujaf Fajar mengingatkan. Wajah pak Erik yang semula santai, kini terlihat tegang. Jantungnya juga kian berdegup kencang. Apapun hasilnya, dan bagaimana pun isinya, ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap legowo terhadap kenyataan yang akan di hadapi. "Kau yakin ini aman?" tanya pa