Pagi itu, aroma bawang goreng memenuhi dapur rumah Almira, menghangatkan suasana. Ia berdiri di depan kompor, satu tangan memegang spatula, yang lain menyesuaikan api agar tidak terlalu besar.
Embun pagi masih menyelimuti kaca jendela, menciptakan kilauan yang menenangkan. Tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Perasaan itu muncul seperti bayangan di sudut matanya, seperti ada sesuatu yang tidak sesuai tempatnya. Langkah kaki mendekat. Almira tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aiman muncul di ambang pintu dapur, kaos oblong dan celana pendek membuatnya tampak santai, tetapi bagi Almira, kesan itu hanya permukaan. Ia berbalik, menatap suaminya. Ada jeda sejenak, keheningan yang seharusnya tidak ada dalam pagi mereka yang biasanya terasa ringan. Belakangan ini, Aiman lebih sering pulang larut malam, dengan alasan pekerjaan yang menumpuk. Tetapi setiap kali Almira bertanya lebih jauh tentang proyek yang sedang dikerjakan, jawabannya terdengar kabur, kurang spesifik. Pernah suatu malam, ia terbangun lebih awal dari biasanya, dan melihat Aiman tidak ada di sampingnya. Saat itu, layar ponsel Aiman menyala di meja. Ada pesan yang masuk dari kontak bernama 'Ial' "Bebz, hati-hati ya. Semoga cepat selesai." Pesan itu tampak biasa waktu itu dan tak terlalu di hiraukan Almira, tetapi untuk sekarang, pesan itu adalah petunjuk yang saling berkaitan. "Mas, jam berapa pulang tadi malam?" tanyanya akhirnya, suaranya tenang tetapi memendam makna yang lebih dalam. Aiman menguap kecil, ekspresinya datar. Ia mengambil cangkir dari rak lalu mulai menuangkan air ke dalamnya. "Hampir tengah malam," jawabnya ringan sambil menyesap. Almira menghentikan gerakan spatulanya, wajahnya tetap tenang, tetapi pikirannya bekerja. "Memangnya Mas berangkat pulang jam berapa?" Aiman tersenyum kecil, senyum yang ia buat-buat, senyum yang tidak menyentuh matanya. "Habis Ashar. Di jalan macet banget, nggak nyangka bakal selama itu." Jawaban itu datang terlambat. Satu detik terlalu lama. Almira nyaris tertawa, tapi bukan karena lucu. Kebohongan itu terlalu sederhana, terlalu mudah dipatahkan. Ia tahu Aiman tidak pernah pergi ke luar kota seperti yang ia katakan beberapa hari lalu. “Sayang, bikinin kopi dong,” pinta Aiman, mengalihkan pembicaraan. “Sebentar.” Almira mengambil cangkir dari tempat penyimpanan, menuangkan bubuk kopi hitam, lalu air panas. Aroma kopi segera memenuhi udara, tetapi tangan Almira sedikit gemetar. Bukan karena gugup, tetapi karena gelombang emosi yang diam-diam mengalir di tubuhnya. Saat Almira menyimpan kopi di depan Aiman, ia menangkap sesuatu yang seharusnya tidak ada, aroma yang samar tapi familiar. Aroma parfum yang biasa dipakai Aiman, tetapi baunya sedikit bercampur dengan aroma lain. Bukan aroma biasanya, tetapi aroma yang mirip dengan parfum seseorang. Denyut di dadanya meningkat, sesuatu dalam pikirannya mulai berselancar. ~∆~∆~∆~ Almira menghidupkan mesin mobil, lalu melaju perlahan menuju kafe tempat Lia menunggu. Di sepanjang perjalanan, sesuatu mengendap di benaknya, sebuah kegelisahan yang samar, tak berbentuk, namun tak bisa diabaikan. Ponselnya, yang tergeletak di kursi penumpang, bergetar sekali. Ia melirik sekilas, melihat nama yang tertera di layar, namun memilih untuk tidak meraih perangkat itu. Pesan itu tidak mendesak, tidak lebih penting dari pikirannya yang berputar tanpa henti. Sesekali, ia melirik ke luar jendela, memperhatikan orang-orang berlalu tanpa benar-benar melihat. Lampu lalu lintas berganti, mobilnya meluncur maju, tetapi pikiran itu tetap tinggal bersamanya. Saat akhirnya ia memarkir mobil dan menatap pintu kaca kafe, Almira menarik nafas panjang. Ia tahu, di balik pertemuan ini, ada sesuatu yang harus dihadapi. Ia hanya belum tahu apa. *** Sementara itu, Lia baru saja sampai di depan kafe. Ia melangkah masuk, aroma kopi yang harum menyambutnya. Dengan pandangan berkeliling, ia memilih meja yang menurutnya paling nyaman, di dekat jendela dengan pemandangan jalanan kota. Baru saja ia duduk, pintu kafe kembali terbuka dan sosok Almira muncul dari baliknya. Lia langsung melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. “Cepat banget nyampenya, emang tadi udah di mana?” tanya Lia sambil berdiri untuk menyambut Almira. Mereka saling cipika-cipiki sebelum duduk. “Lampu merah!” Saat mereka saling mendekat, aroma parfum yang familiar menyerbu indra penciumannya. Bukan aroma kopi, bukan wewangian ruangan. Tetapi aroma yang tadi tercium di tubuh suaminya. Sesaat, Almira bertanya-tanya apakah ini hanya perasaan berlebihan. Tetapi semakin ia duduk dekat dengan Lia, aroma itu semakin jelas. Seolah menempel di tubuh sahabatnya. “Eh! Kemarin maaf banget, ya, aku nggak bisa penuhi ajakan kamu. Ada keperluan yang nggak bisa aku tinggalkan,” ucap Lia dengan nada menyesal. “Keperluan bertemu mas Aiman, kan?” batin Almira. “Gak apa-apa kok,” balas Almira dengan senyum tipis. “Tadinya aku cuma mau ajak kamu jalan, lihat-lihat gaun buat datang ke acara temannya Mas Aiman.” “Owh, udah dapet?” tanya Lia, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Kalau belum, nanti habis pulang kantor aku antar.” “Alhamdulillah, udah. Hari itu kebetulan banget pas ada model-model baru yang baru di keluarin,” jawab Almira. “Bagus, deh. Kalau belum nemu, nanti aku antar,” ucap Lia lega. Pelayan datang mendekati meja dengan senyum ramah, membawa buku menu di tangannya. Dengan penuh kesopanan, ia menawarkan untuk mencatat pesanan. Tanpa ragu, Lia memesan latte dingin dan croissant, sementara Almira memilih cappucino panas serta banana bread. Dengan cekatan, pelayan itu mencatat pesanan mereka sebelum melangkah pergi, meninggalkan dua sahabat itu dalam keheningan yang sarat makna, seolah masing-masing tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sambil menunggu pesanan, Almira mengetuk-ngetukkan jari-jari tangan kanannya di meja. Ia menarik nafas perlahan, raut wajahnya penuh pertimbangan. Akhirnya, ia membuka pembicaraan dengan nada pelan tetapi terukur. "Li, aku curiga sesuatu dengan Mas Aiman," ucap Almira, matanya menerawang sejenak sebelum kembali fokus pada wajah Lia. Lia berhenti menggerakkan jarinya yang semula sibuk di atas ponselnya. Ia menatap Almira dengan intens, rasa ingin tahu terpancar jelas. "Curiga apa? Memangnya ada apa dengan suamimu?" tanyanya serius. Almira menggenggam kedua tangannya di atas meja, jari-jarinya saling bertaut erat. Bibirnya sedikit mengerut, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang akan keluar. Akhirnya, ia berbicara dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang hanya ingin didengar oleh Lia. “Aku rasa… Mas Aiman menyembunyikan sesuatu dari aku.” Lia mengangkat alis, keningnya berkerut. “Maksud kamu... menyembunyikan apa?” tanyanya, nada suaranya terdengar hati-hati. Almira tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Sepertinya… Mas Aiman selingkuh,” jawabnya pelan, nyaris tanpa emosi. Saat Almira mengungkapkan kecurigaannya tentang Aiman, Lia bereaksi dengan ekspresi terkejut, tetapi tidak ada pertanyaan yang benar-benar mempertanyakan dasar kecurigaannya. "Jangan berpikir yang macam-macam, Al. Kamu harus percaya sama suamimu." Lia lebih berusaha menenangkan daripada membantu mencari kebenaran. Seolah dia takut Almira akan menggali terlalu dalam. Saat mereka berbincang di kafe, Almira mulai memperhatikan cara Lia berbicara tentang Aiman, nada suaranya lebih hati-hati, seolah menyembunyikan sesuatu. Biasanya, Lia berbicara dengan ringan, penuh candaan seperti sahabat pada umumnya. Tetapi hari ini, ada jeda dalam reaksi setiap kali nama Aiman disebut. Almira mencatat itu dalam pikirannya. Ia lalu tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya. Dalam hatinya, ia berbicara: "Karena aku melihat kamu sedang berduaan dengan suamiku." Tetapi kata-kata itu hanya bergema di pikirannya, tidak keluar dari bibirnya. Di luar kafe, seorang pria berjalan melewati jendela, sekilas wajahnya terlihat di pantulan kaca, mirip Aiman. Almira menatap pantulan itu, tapi saat ia berkedip, bayangan itu menghilang. Apakah itu kebetulan? Atau… apakah ini adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar yang akan segera terbuka? ~∆~∆~∆~∆~∆~Pintu apartemen terbuka perlahan, suara gesekan antara engsel dan kayu terdengar pelan, hampir seperti peringatan akan badai yang akan datang. Aiman melangkah masuk, melepaskan jasnya dengan gerakan lelah. Seharian bekerja menguras tenaganya, membuat tubuhnya terasa berat, dan pikirannya hanya menginginkan satu hal, tidur dan ketenangan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring menghantam udara. "Jadi gini caramu pulang? Diam aja, seolah gak ada yang perlu dibahas?" Aiman menghela napas panjang, meletakkan tasnya tanpa menoleh. Dadanya terasa sesak, bukan karena kelelahan, tapi karena tahu percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik. "Lia, aku capek." ucapnya, suaranya lebih sebagai permohonan daripada pernyataan. Tapi Lia tidak terpengaruh, "Aku juga capek, Bebz! Capek nunggu kamu ngelakuin sesuatu! Kamu pikir rumah itu bakal balik sendiri kalau kamu cuma duduk manis?" Aiman menutup matanya sejenak, berusaha mencari sedikit kesabaran yang masih tersisa.
Siang itu, mobil Almira terhenti di depan kedai kopi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11:45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Tak masalah, lebih baik menunggu daripada tergesa-gesa. Almira memesan cappuccino dan duduk di sudut ruangan, mengamati setiap orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Lia muncul dengan ekspresi penuh emosi, matanya menyala tajam, dan tanpa membuang waktu, ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Almira. "Kamu gila, ya?!" suara Lia meluncur tanpa basa-basi, nadanya tinggi, tajam. Tanpa menoleh, Almira tetap tenang, hanya meraih cangkirnya dan menyesap sedikit sisa cappuccino di dalamnya. "Siapa yang gila?" jawabnya datar, seolah tidak tertarik untuk memasuki perdebatan yang sudah ia duga akan terjadi. Lia, yang baru saja duduk di hadapannya, tampak kehilangan kesabaran dalam sekejap. "Kamu! Kenapa kamu jual rumah itu?! Apa kamu nggak kepikiran kalau aku bakal tinggal di s
Suasana malam itu terasa begitu sunyi, hanya diiringi suara hembusan angin yang sesekali menggetarkan tirai jendela. Aiman melangkah masuk, wajahnya terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik, beban yang tak terlihat, yang menggantung di pikirannya seperti awan mendung yang tak kunjung pecah. Lia yang sejak tadi duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Aiman memasuki ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, ekspresinya penuh antusias. "Gimana, bebz? Udah selesai? Almira sudah keluar dari rumah itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aiman tidak menunjukkan banyak reaksi. Langkahnya tetap terjaga, tanpa memperlambat sedikit pun. Dengan suara datar, ia menjawab singkat, "Sudah." Jawaban itu seolah terlalu biasa, terlalu ringan dibandingkan besarnya keputusan yang baru saja terjadi. Namun, Lia tidak peduli. Baginya, jawaban itu cukup untuk membuatnya melompat dari duduknya, mengikuti Aiman yang kini menuju kamar. "Kapan kita pindah
Aiman memandang rumah itu sejenak, jendela-jendela tertutup rapat, tetapi lampu teras masih menyala, memberi sedikit kehidupan di tengah keheningan malam. Ia menghembuskan napas panjang, meraih gagang pintu mobil, lalu melangkah keluar. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya penuh tanda tanya yang belum terjawab. Seharusnya, ini tidak perlu terjadi. Seharusnya, Almira tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk meninggalkan semuanya. Tetapi ia tetap melangkah. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia menekan bel. Detik demi detik berlalu, terasa lebih lambat dari biasanya. Pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Bu Ami di belakang pintu. Wanita itu berdiri tegak, memandang Aiman dengan ekspresi yang sulit ditebak, tidak sepenuhnya dingin, tetapi juga tidak hangat seperti dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum Aiman akhirnya berkata, "Malam, Bu. Almira ada?" suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata yang akan keluar harus diper
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela, menyoroti sudut kamar Almira yang ada di rumah orang tuanya. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Roknya jatuh sempurna, blusnya rapi, dan hijabnya tertata dengan baik. Tak ada yang perlu diperbaiki, semuanya sudah seperti yang ia inginkan. Hari ini adalah hari baru, hari yang benar-benar baru. Dari arah dapur, Bu Ami muncul, mengelap tangannya dengan kain setelah selesai merapikan meja makan. Ia berhenti di ambang pintu, matanya sedikit menyipit saat memperhatikan Almira yang tampak siap untuk pergi. "Mau ke mana, Al?" tanyanya, nadanya terdengar bingung. Almira mengambil tasnya dan melirik sekilas ke arah ibunya. "Mau survey tempat buat buka toko kue nanti," jawabnya tanpa ragu, suaranya penuh semangat. Bu Ami mengernyit, langkahnya mendekat. "Apa gak terlalu cepat? Apa kamu nggak mau nenangin pikiran dulu?" tanyanya, nada suaranya sarat dengan kekhawatiran. Almira tersenyum
Aiman duduk tegak di depan penghulu, sesekali melirik ke arah Lia yang tampak sedikit resah di tempatnya. Orang tua Lia duduk dengan sikap tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak Penghulu menatap Aiman sejenak sebelum berbicara, "Bagaimana, sudah siap?" Tanpa ragu, Aiman mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita mulai sekarang." Penghulu mulai bersiap mengucapkan ijab qobul. Semua orang menahan napas, menunggu kata-kata pertama keluar dari mulutnya.“Brak!” Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Suara hantaman kayu terhadap dinding membuat semua orang sontak menoleh. Di ambang pintu, Almira berdiri dengan tegak. Langkahnya mantap, sorot matanya tajam. Rahangnya mengeras, dan nafasnya sedikit terburu-buru, seolah baru saja bergegas ke tempat ini tanpa memikirkan apa pun selain satu tujuan. Ruangan yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi syok total. Lia menegang, jari-jarinya mencengkeram kain gaunnya dengan kuat. Orang tuanya saling bertukar pandang