Share

Rahasia di Balik Senyuman
Rahasia di Balik Senyuman
Author: Halii-choe

Bab 1. RDBS

Author: Halii-choe
last update Last Updated: 2025-05-12 10:39:29

Almira tak pernah menyangka bahwa pernikahan yang selama ini tampak baik-baik saja ternyata menyimpan sesuatu yang busuk di dalamnya. Ia melihat sendiri suami dan sahabatnya, bersama dalam pengkhianatan yang tak pernah terlintas dalam pikirannya. Jika bukan karena matanya yang menyaksikan langsung, mungkin ia takkan percaya.

Selama ini, suaminya tak pernah menunjukkan gelagat aneh, tak pernah meninggalkan jejak yang mencurigakan. Atau mungkin justru ia sendiri yang terlalu naif, terlalu percaya tanpa pernah mempertanyakan. Namun setelah hari itu, Almira tak tinggal diam. Ia mulai mencari bukti, mengumpulkan potongan-potongan yang dapat memperjelas kenyataan yang selama ini tersembunyi di balik kehidupan pernikahannya.

Yang terlihat di wajahnya hanyalah senyuman, senyuman yang dulu penuh ketulusan, kini menjadi tameng yang menyembunyikan segala luka dan dendam yang perlahan-lahan ia rangkai menjadi rencana dalam keheningan.

_________________________

"Kok mobil Mas Aiman ada di sini?" gumam Almira, langkahnya terhenti di depan kafe. Pandangannya tertuju pada kendaraan yang tak asing. Mobil itu berdiri diam, seolah mengawasi.

Dada Almira berdebar. Ada firasat yang tak bisa diabaikan, seperti desir halus sebelum badai datang.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia meraih ponselnya dan menekan nomor suaminya.

Tut… tut… tut…

Almira mendengar setiap nada sambungan dengan lebih tajam dari biasanya, seperti menunggu sebuah jawaban yang mungkin mengubah segalanya. Lalu suara yang telah ia kenal bertahun-tahun mengalun hangat di seberang.

"Assalamualaikum, sayang. Ada apa?"

Seakan tak ada yang salah. Seakan dunia masih berjalan seperti biasa.

Almira menarik napas dalam, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. "Mas, kamu di mana?"

Hening. Tapi bukan hening yang biasa. Ada sesuatu dalam jeda itu, seperti seseorang yang memilih kata-kata dengan hati-hati.

"Kenapa tanya begitu? Kan kemarin aku udah bilang mau keluar kota."

Almira melirik sekali lagi ke arah mobil. Jantungnya berdegup lebih kencang.

"Oh, kamu masih di Bandung?"

"Iya, emangnya kenapa?"

Almira menggigit bibirnya. Mobil itu ada di sini. Ia tidak mungkin salah lihat.

"Enggak, aku barusan lihat mobil kamu. Kirain kamu udah pulang," ujarnya, mencoba terdengar santai.

"Oh, kamu salah lihat kali."

Ada jeda. Terlalu lama untuk jawaban sesederhana itu.

Almira mengerutkan keningnya. Suara Aiman… sesuatu dalam nada bicaranya berubah. Seperti kepingan kaca yang mulai retak di tepinya.

"Enggak kok, Mas. Aku nggak salah lihat."

Tiba-tiba, suara Aiman terdengar lebih tergesa-gesa.

"Eh, sayang, udah dulu ya. Rapatnya mau dimulai lagi, nanti malam aku pulang."

Aiman memutus panggilan begitu saja.

Almira menatap layar ponselnya, lalu mengalihkan pandangan ke mobil yang masih terparkir. Hawa dingin menjalar di tubuhnya, bukan dari cuaca, tapi dari sesuatu yang lebih mendalam, sebuah kebenaran yang masih tersembunyi di balik kata-kata manis.

~∆~∆~∆~

Di sudut kafe, Aiman kembali ke meja dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, tetapi tidak tahu bagaimana caranya.

Lia menatapnya curiga. Mata tajamnya menangkap ketidakteraturan pada gerak-gerik Aiman.

"Siapa bebz?" tanyanya, setengah bercanda, setengah menyelidik.

Aiman mendesah pelan, menyesap kopi di depannya sebelum menjawab.

"Almira."

Hanya satu kata. Namun bagi Lia, satu kata itu mengandung terlalu banyak hal yang tak terucapkan.

"Mau apa dia?"

Aiman menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas pendek.

"Gak perlu dibahas. Nanti malah merusak suasana."

---

Ketika Almira melangkah masuk ke dalam kafe, aroma kopi yang biasa membawa ketenangan terasa berbeda hari ini, pahit, menyerang, menusuk hingga ke dalam dada.

Langkahnya tertahan di depan pintu.

Matanya menyapu ruangan, mencari sosok Nadia. Namun, sebelum ia menemukannya, sesuatu yang lain menangkap pandangannya.

Di sudut ruangan, dua siluet yang sangat ia kenal duduk berdampingan.

Aiman dan Lia.

Tawa mereka ringan, tetapi bagi Almira, itu terdengar seperti gema yang menghantam dinding hatinya.

Dunia di sekitarnya terasa membeku.

Ia menelan ludah, jantungnya berdentam tanpa ritme yang jelas. Sejenak, ia ingin percaya bahwa ini hanyalah ilusi. Bahwa ia telah salah lihat.

Tapi tidak. Mereka masih di sana, bahu hampir bersentuhan, suara rendah berbagi sesuatu yang tidak seharusnya.

Di seberang ruangan, Nadia melambaikan tangan, wajahnya ceria seperti biasa. Namun, setiap langkah mendekat semakin menghimpit dada Almira.

"Nad," sapanya pelan, sambil menarik kursi. Tapi matanya, tanpa sadar, mencuri pandang ke sudut ruangan.

"Ada apa?" tanya Nadia, keningnya berkerut.

Almira menelan ludah. Senyumnya tipis, terlukis seperti bayangan.

"Aku pengen duduk di dekat sana. Yuk pindah ke meja itu," bisiknya.

Nadia menatapnya bingung, tapi akhirnya mengangguk.

Mereka bergeser ke meja lain.

Almira menarik napas panjang, berharap jantungnya berhenti berdetak begitu kencang. Kepalanya sedikit miring, telinganya tajam menangkap setiap kata dari balik sekat.

"Sayang, kamu yakin Almira nggak curiga?"

Bisikan Lia terdengar samar, tetapi menusuk hingga ke lubuk hati.

"Nggak, tenang aja. Aku sudah atur semuanya."

Kata-kata itu menghantam Almira seperti ombak besar.

Matanya memejam beberapa detik. Tidak ada air mata. Hanya ketenangan yang perlahan mendingin, seperti mata pisau yang baru diasah.

Tangannya mengetuk pelan tepi meja.

"Nad," bisiknya, suaranya nyaris seperti gumaman. "Kalau orang berkhianat sama kita… enaknya diapain ya?"

Nadia menatapnya, kening kembali berkerut.

"Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

Almira hanya tersenyum. Tipis, penuh misteri.

Sekali lagi, matanya melirik ke balik sekat, seperti seorang pemain catur yang tengah merancang langkah berikutnya.

"Balas mereka… dengan cara yang elegan," sahut Nadia setelah jeda.

Senyuman Almira melebar, tetapi dingin.

Dalam hatinya, sesuatu mulai terbentuk.

Bukan amarah yang meledak-ledak, tetapi sebuah rencana yang ia rancang diam-diam.

~∆~∆~∆~∆~∆~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 19. RDBS.

    Pintu apartemen terbuka perlahan, suara gesekan antara engsel dan kayu terdengar pelan, hampir seperti peringatan akan badai yang akan datang. Aiman melangkah masuk, melepaskan jasnya dengan gerakan lelah. Seharian bekerja menguras tenaganya, membuat tubuhnya terasa berat, dan pikirannya hanya menginginkan satu hal, tidur dan ketenangan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring menghantam udara. "Jadi gini caramu pulang? Diam aja, seolah gak ada yang perlu dibahas?" Aiman menghela napas panjang, meletakkan tasnya tanpa menoleh. Dadanya terasa sesak, bukan karena kelelahan, tapi karena tahu percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik. "Lia, aku capek." ucapnya, suaranya lebih sebagai permohonan daripada pernyataan. Tapi Lia tidak terpengaruh, "Aku juga capek, Bebz! Capek nunggu kamu ngelakuin sesuatu! Kamu pikir rumah itu bakal balik sendiri kalau kamu cuma duduk manis?" Aiman menutup matanya sejenak, berusaha mencari sedikit kesabaran yang masih tersisa.

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 18. RDBS.

    Siang itu, mobil Almira terhenti di depan kedai kopi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11:45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Tak masalah, lebih baik menunggu daripada tergesa-gesa. Almira memesan cappuccino dan duduk di sudut ruangan, mengamati setiap orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Lia muncul dengan ekspresi penuh emosi, matanya menyala tajam, dan tanpa membuang waktu, ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Almira. "Kamu gila, ya?!" suara Lia meluncur tanpa basa-basi, nadanya tinggi, tajam. Tanpa menoleh, Almira tetap tenang, hanya meraih cangkirnya dan menyesap sedikit sisa cappuccino di dalamnya. "Siapa yang gila?" jawabnya datar, seolah tidak tertarik untuk memasuki perdebatan yang sudah ia duga akan terjadi. Lia, yang baru saja duduk di hadapannya, tampak kehilangan kesabaran dalam sekejap. "Kamu! Kenapa kamu jual rumah itu?! Apa kamu nggak kepikiran kalau aku bakal tinggal di s

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 17. RDBS.

    Suasana malam itu terasa begitu sunyi, hanya diiringi suara hembusan angin yang sesekali menggetarkan tirai jendela. Aiman melangkah masuk, wajahnya terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik, beban yang tak terlihat, yang menggantung di pikirannya seperti awan mendung yang tak kunjung pecah. Lia yang sejak tadi duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Aiman memasuki ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, ekspresinya penuh antusias. "Gimana, bebz? Udah selesai? Almira sudah keluar dari rumah itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aiman tidak menunjukkan banyak reaksi. Langkahnya tetap terjaga, tanpa memperlambat sedikit pun. Dengan suara datar, ia menjawab singkat, "Sudah." Jawaban itu seolah terlalu biasa, terlalu ringan dibandingkan besarnya keputusan yang baru saja terjadi. Namun, Lia tidak peduli. Baginya, jawaban itu cukup untuk membuatnya melompat dari duduknya, mengikuti Aiman yang kini menuju kamar. "Kapan kita pindah

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 16. RDBS.

    Aiman memandang rumah itu sejenak, jendela-jendela tertutup rapat, tetapi lampu teras masih menyala, memberi sedikit kehidupan di tengah keheningan malam. Ia menghembuskan napas panjang, meraih gagang pintu mobil, lalu melangkah keluar. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya penuh tanda tanya yang belum terjawab. Seharusnya, ini tidak perlu terjadi. Seharusnya, Almira tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk meninggalkan semuanya. Tetapi ia tetap melangkah. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia menekan bel. Detik demi detik berlalu, terasa lebih lambat dari biasanya. Pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Bu Ami di belakang pintu. Wanita itu berdiri tegak, memandang Aiman dengan ekspresi yang sulit ditebak, tidak sepenuhnya dingin, tetapi juga tidak hangat seperti dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum Aiman akhirnya berkata, "Malam, Bu. Almira ada?" suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata yang akan keluar harus diper

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 15. RDBS.

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela, menyoroti sudut kamar Almira yang ada di rumah orang tuanya. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Roknya jatuh sempurna, blusnya rapi, dan hijabnya tertata dengan baik. Tak ada yang perlu diperbaiki, semuanya sudah seperti yang ia inginkan. Hari ini adalah hari baru, hari yang benar-benar baru. Dari arah dapur, Bu Ami muncul, mengelap tangannya dengan kain setelah selesai merapikan meja makan. Ia berhenti di ambang pintu, matanya sedikit menyipit saat memperhatikan Almira yang tampak siap untuk pergi. "Mau ke mana, Al?" tanyanya, nadanya terdengar bingung. Almira mengambil tasnya dan melirik sekilas ke arah ibunya. "Mau survey tempat buat buka toko kue nanti," jawabnya tanpa ragu, suaranya penuh semangat. Bu Ami mengernyit, langkahnya mendekat. "Apa gak terlalu cepat? Apa kamu nggak mau nenangin pikiran dulu?" tanyanya, nada suaranya sarat dengan kekhawatiran. Almira tersenyum

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 14. RDBS.

    Aiman duduk tegak di depan penghulu, sesekali melirik ke arah Lia yang tampak sedikit resah di tempatnya. Orang tua Lia duduk dengan sikap tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak Penghulu menatap Aiman sejenak sebelum berbicara, "Bagaimana, sudah siap?" Tanpa ragu, Aiman mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita mulai sekarang." Penghulu mulai bersiap mengucapkan ijab qobul. Semua orang menahan napas, menunggu kata-kata pertama keluar dari mulutnya.“Brak!” Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Suara hantaman kayu terhadap dinding membuat semua orang sontak menoleh. Di ambang pintu, Almira berdiri dengan tegak. Langkahnya mantap, sorot matanya tajam. Rahangnya mengeras, dan nafasnya sedikit terburu-buru, seolah baru saja bergegas ke tempat ini tanpa memikirkan apa pun selain satu tujuan. Ruangan yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi syok total. Lia menegang, jari-jarinya mencengkeram kain gaunnya dengan kuat. Orang tuanya saling bertukar pandang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status