Share

Bab 3. RDBS.

Author: Halii-choe
last update Last Updated: 2025-05-12 10:54:39

Malam itu, Almira berjalan menuju ruang keluarga setelah menyelesaikan masakan terakhir untuk makan malam. Aroma rempah masih menggantung di udara, bercampur dengan keheningan yang terasa lebih berat dari biasanya.

Di sana, Aiman duduk santai, tetapi tidak sepenuhnya terlihat nyaman. Bahunya sedikit tegang, jemarinya menggenggam ponsel terlalu erat, seakan menyembunyikan sesuatu dalam genggaman kecil itu.

Saat Almira berdiri di dekatnya, layar ponsel Aiman memantulkan kilauan samar. Sekian detik berlalu, cukup bagi Almira untuk menangkap nama yang muncul di sana, ‘Ail’.

Pesan yang belum terbuka.

Ia berusaha menepis spekulasi yang muncul begitu saja, tapi otaknya bekerja lebih cepat dari yang bisa ia kendalikan. ‘Ail’? Nama yang terlalu mirip dengan ‘Lia’.

Sebuah perasaan aneh merayapi punggungnya, membuat bulu kuduknya berdiri tanpa alasan yang jelas.

Almira tidak mengucapkan apapun. Ia hanya mengamati sambil berpikir.

"Mas, makan malam sudah siap. Mau makan sekarang?"

Aiman mengangkat kepalanya dengan cepat. Terlalu cepat. Seolah ia baru menyadari kehadiran Almira yang sudah berdiri di dekatnya.

"Su-sudah selesai masaknya?" tanyanya gugup, nada suaranya lebih tinggi dari biasanya.

Almira memiringkan kepalanya, matanya tajam mengamati ekspresi suaminya dengan saksama. Cahaya redup ruang keluarga menyoroti garis-garis halus di wajahnya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Nafasnya sedikit terburu-buru, gerakan tangannya tidak setenang biasanya.

"Sudah! Mas kenapa? Kok kelihatan gugup gitu?"

"Enggak! Cuma barusan sedang melamun, jadi terkejut."

Jawaban itu keluar terlalu cepat. Terlalu tergesa-gesa. Almira mencatatnya dalam pikirannya.

Almira tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang sesungguhnya. Ia mengingat sesuatu, percakapan beberapa hari lalu, saat Aiman menyebut nama Lia tanpa sadar.

Kalimat sederhana, tapi dengan nada suara yang lebih hangat, seakan menyimpan sesuatu di baliknya.

Dan sekarang, ‘Ail’.

Makan malam pun dimulai, tetapi tidak ada percakapan yang berlanjut.

Almira tidak pernah mempercayai keheningan seperti ini sebelumnya.

***

Selesai makan malam, Almira berdiri untuk merapikan meja, sementara Aiman menyandarkan tubuhnya ke kursi, melonggarkan kancing kaos polonya. Gerakannya tampak lelah, atau lebih tepatnya… gelisah. Dari sudut matanya, Almira menangkap sesuatu yang samar, kepalanya sedikit menunduk, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tidak beraturan, seperti seseorang yang sedang menyusun rencana dalam diam.

“Sayang, berkas kerjaan yang tadi aku bawa dari kantor masih di mobil. Bisa tolong ambilkan?” katanya, suaranya terdengar sedikit terburu-buru, seperti ingin mengalihkan sesuatu.

Almira menghentikan gerakan tangannya sejenak. Sekilas, matanya menangkap perubahan di wajah Aiman, pupil yang sedikit melebar, ketegangan di rahangnya, hal-hal kecil yang selama ini tidak pernah ia perhatikan. Namun, ia tetap mengangguk. “Iya, Mas.”

Almira melangkah keluar menuju garasi, ia merasakan udara malam yang lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin, dinginnya berasal dari dalam dirinya sendiri. Langkahnya terdengar pelan di lantai garasi, setiap hentakan kaki seperti gema yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Tangannya meraih gagang pintu mobil, permukaannya terasa dingin di jemarinya. Saat pintu terbuka, lampu kabin menyala, menerangi bagian dalam kendaraan dengan warna yang terlalu terang di matanya. Sejenak, keheningan terasa begitu berat.

Seharusnya ini hanya mengambil berkas kerja. Seharusnya tidak ada hal lain. Tapi mengapa perasaannya mengatakan sebaliknya?

Apakah ini firasat? Apakah ini hanya pikiran berlebihan?

Almira menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan. Tetapi saat jemarinya menyentuh jok belakang, sesuatu menarik perhatiannya.

Di sudut jok bagian depan, sebuah kain tipis dengan motif bunga tergulung rapi.

Almira mengerutkan kening, pikirannya menolak untuk percaya pada apa yang ia lihat.

Tangannya bergerak perlahan tanpa perintah, seolah tubuhnya sendiri mengerti bahwa ini adalah momen yang penting.

Ia menarik kain itu, ujung jarinya merasakan teksturnya yang lembut. Saat ia mengangkatnya, cahaya lampu kabin mengenai permukaannya, dan seketika aroma samar memenuhi udara.

Aroma yang terlalu familiar. Terlalu akrab, menusuk hidungnya.

Bukan aroma mobil, bukan aroma rumah mereka. Tetapi aroma yang tadi ia cium di kafe.

Di tempat yang seharusnya menjadi tempat mereka bicara dengan jujur.

Almira membeku, jemarinya mencengkram kain itu lebih kuat. Dalam benaknya, potongan-potongan kecil dari percakapan di kafe bermunculan kembali, cara Lia menghindari kontak mata, gemetar samar di jemarinya, nada suaranya yang terasa terlalu terkendali.

Dan sekarang, semuanya masuk akal.

Syal ini adalah milik Lia. Dan syal ini berada di mobil Aiman.

Almira menatap kain itu lama, tetapi pikirannya bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

Malam terasa lebih sunyi dari biasanya, bahkan angin yang berhembus pun terdengar seperti bisikan yang mengingatkannya akan sesuatu, ini bukan sekadar kebetulan. Ini bukan sekadar dugaan. Ini adalah bukti.

Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Tidak ada air mata. Tidak ada kepanikan. Hanya ketenangan yang dingin, ketenangan yang bahkan lebih berbahaya daripada kemarahan.

Sebelum keluar membawa berkas dan syal itu, Almira mengambil ponselnya. Ia menyalakan kamera, mengabadikan kain itu, memastikan tidak ada celah untuk hilangnya bukti ini.

Saat ia menutup pintu mobil dengan hati-hati, tidak ada lagi keraguan dalam dirinya. Hanya satu hal yang terus berulang di pikirannya ‘Ini baru permulaan’.

Almira menghela napas panjang, tetapi tidak ada kepanikan sedikitpun. Tidak ada air mata, hanya ketenangan yang dingin.

***

Saat Almira kembali ke dalam rumah, Aiman masih duduk di ruang keluarga, posisi yang sama seperti saat ia meninggalkan ruangan. Namun, sesuatu terasa berbeda, tidak hanya udara yang lebih berat, tetapi juga keheningan yang seolah menahan nafasnya sendiri.

"Mas."

Suara Almira terdengar tenang, terlalu tenang untuk keadaan seperti ini.

Aiman mendongak, matanya sedikit melebar, seolah tahu bahwa sesuatu telah berubah.

"Berkasnya sudah dapat?"

Almira diam.

Ia hanya mengangkat syal yang tadi ia temukan di mobil, membiarkan kain itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang ingin ia ucapkan. Cahaya lampu redup menangkap motif samar di kain itu, noda yang hampir tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama.

Aiman terpaku, tubuhnya membatu.

"Itu... itu punya siapa?" tanyanya dengan nada gugup, wajahnya berubah seketika. Ia ingin menghindar, tetapi sesuatu dalam dirinya menahan gerakan itu.

Almira tersenyum tipis, tetapi senyum itu dingin, seperti es yang membeku, bukan sekadar ketidaksenangan, tetapi kepastian yang mengerikan.

"Itu juga pertanyaan yang ingin aku lontarkan sama kamu, Mas."

Ruangan terasa semakin sunyi, hanya terdengar detak jam di dinding yang berdetak lebih keras dari biasanya, atau mungkin hanya perasaan Aiman.

Di luar, angin berdesir pelan, membawa aroma yang samar-samar familiar bagi Aiman, bau tanah basah, dan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.

Almira melangkah maju, satu langkah kecil tetapi terasa begitu besar.

Syal itu meluncur turun dari tangannya, jatuh ke meja di antara mereka, seperti sesuatu yang tak bisa dihindari lagi.

Di bawahnya, terselip sesuatu, sepotong kertas, sedikit kumal, seolah pernah diremas erat oleh jari-jari tangan.

Aiman melihatnya, tetapi tidak berani meraihnya.

Almira tetap diam, menunggu.

Dan untuk pertama kalinya, Aiman kehilangan kata-kata.

~∆~∆~∆~∆~∆~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 19. RDBS.

    Pintu apartemen terbuka perlahan, suara gesekan antara engsel dan kayu terdengar pelan, hampir seperti peringatan akan badai yang akan datang. Aiman melangkah masuk, melepaskan jasnya dengan gerakan lelah. Seharian bekerja menguras tenaganya, membuat tubuhnya terasa berat, dan pikirannya hanya menginginkan satu hal, tidur dan ketenangan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring menghantam udara. "Jadi gini caramu pulang? Diam aja, seolah gak ada yang perlu dibahas?" Aiman menghela napas panjang, meletakkan tasnya tanpa menoleh. Dadanya terasa sesak, bukan karena kelelahan, tapi karena tahu percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik. "Lia, aku capek." ucapnya, suaranya lebih sebagai permohonan daripada pernyataan. Tapi Lia tidak terpengaruh, "Aku juga capek, Bebz! Capek nunggu kamu ngelakuin sesuatu! Kamu pikir rumah itu bakal balik sendiri kalau kamu cuma duduk manis?" Aiman menutup matanya sejenak, berusaha mencari sedikit kesabaran yang masih tersisa.

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 18. RDBS.

    Siang itu, mobil Almira terhenti di depan kedai kopi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11:45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Tak masalah, lebih baik menunggu daripada tergesa-gesa. Almira memesan cappuccino dan duduk di sudut ruangan, mengamati setiap orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Lia muncul dengan ekspresi penuh emosi, matanya menyala tajam, dan tanpa membuang waktu, ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Almira. "Kamu gila, ya?!" suara Lia meluncur tanpa basa-basi, nadanya tinggi, tajam. Tanpa menoleh, Almira tetap tenang, hanya meraih cangkirnya dan menyesap sedikit sisa cappuccino di dalamnya. "Siapa yang gila?" jawabnya datar, seolah tidak tertarik untuk memasuki perdebatan yang sudah ia duga akan terjadi. Lia, yang baru saja duduk di hadapannya, tampak kehilangan kesabaran dalam sekejap. "Kamu! Kenapa kamu jual rumah itu?! Apa kamu nggak kepikiran kalau aku bakal tinggal di s

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 17. RDBS.

    Suasana malam itu terasa begitu sunyi, hanya diiringi suara hembusan angin yang sesekali menggetarkan tirai jendela. Aiman melangkah masuk, wajahnya terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik, beban yang tak terlihat, yang menggantung di pikirannya seperti awan mendung yang tak kunjung pecah. Lia yang sejak tadi duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Aiman memasuki ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, ekspresinya penuh antusias. "Gimana, bebz? Udah selesai? Almira sudah keluar dari rumah itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aiman tidak menunjukkan banyak reaksi. Langkahnya tetap terjaga, tanpa memperlambat sedikit pun. Dengan suara datar, ia menjawab singkat, "Sudah." Jawaban itu seolah terlalu biasa, terlalu ringan dibandingkan besarnya keputusan yang baru saja terjadi. Namun, Lia tidak peduli. Baginya, jawaban itu cukup untuk membuatnya melompat dari duduknya, mengikuti Aiman yang kini menuju kamar. "Kapan kita pindah

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 16. RDBS.

    Aiman memandang rumah itu sejenak, jendela-jendela tertutup rapat, tetapi lampu teras masih menyala, memberi sedikit kehidupan di tengah keheningan malam. Ia menghembuskan napas panjang, meraih gagang pintu mobil, lalu melangkah keluar. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya penuh tanda tanya yang belum terjawab. Seharusnya, ini tidak perlu terjadi. Seharusnya, Almira tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk meninggalkan semuanya. Tetapi ia tetap melangkah. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia menekan bel. Detik demi detik berlalu, terasa lebih lambat dari biasanya. Pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Bu Ami di belakang pintu. Wanita itu berdiri tegak, memandang Aiman dengan ekspresi yang sulit ditebak, tidak sepenuhnya dingin, tetapi juga tidak hangat seperti dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum Aiman akhirnya berkata, "Malam, Bu. Almira ada?" suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata yang akan keluar harus diper

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 15. RDBS.

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela, menyoroti sudut kamar Almira yang ada di rumah orang tuanya. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Roknya jatuh sempurna, blusnya rapi, dan hijabnya tertata dengan baik. Tak ada yang perlu diperbaiki, semuanya sudah seperti yang ia inginkan. Hari ini adalah hari baru, hari yang benar-benar baru. Dari arah dapur, Bu Ami muncul, mengelap tangannya dengan kain setelah selesai merapikan meja makan. Ia berhenti di ambang pintu, matanya sedikit menyipit saat memperhatikan Almira yang tampak siap untuk pergi. "Mau ke mana, Al?" tanyanya, nadanya terdengar bingung. Almira mengambil tasnya dan melirik sekilas ke arah ibunya. "Mau survey tempat buat buka toko kue nanti," jawabnya tanpa ragu, suaranya penuh semangat. Bu Ami mengernyit, langkahnya mendekat. "Apa gak terlalu cepat? Apa kamu nggak mau nenangin pikiran dulu?" tanyanya, nada suaranya sarat dengan kekhawatiran. Almira tersenyum

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 14. RDBS.

    Aiman duduk tegak di depan penghulu, sesekali melirik ke arah Lia yang tampak sedikit resah di tempatnya. Orang tua Lia duduk dengan sikap tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak Penghulu menatap Aiman sejenak sebelum berbicara, "Bagaimana, sudah siap?" Tanpa ragu, Aiman mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita mulai sekarang." Penghulu mulai bersiap mengucapkan ijab qobul. Semua orang menahan napas, menunggu kata-kata pertama keluar dari mulutnya.“Brak!” Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Suara hantaman kayu terhadap dinding membuat semua orang sontak menoleh. Di ambang pintu, Almira berdiri dengan tegak. Langkahnya mantap, sorot matanya tajam. Rahangnya mengeras, dan nafasnya sedikit terburu-buru, seolah baru saja bergegas ke tempat ini tanpa memikirkan apa pun selain satu tujuan. Ruangan yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi syok total. Lia menegang, jari-jarinya mencengkeram kain gaunnya dengan kuat. Orang tuanya saling bertukar pandang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status