"Buat apa mesin espresso itu?"
Daisha menoleh. Sudah lewat satu minggu dari apa yang dia lihat di video call dan hingga detik ini belum Daisha bicarakan, sengaja. "Bikin kopi." Garda tahu. Lagi pula mesin espresso, kan, mesin untuk membuat kopi. "Kamu suka ngopi?" Soalnya Garda tidak terlalu. "Suka." Singkat jawaban Daisha. Dia sedang mencoba mesin baru. Ada rencana untuk buka kafe, tetapi masih sekadar rencana. "Ini aku beli pakai uang sendiri, kok." Barangkali maksud Garda menyinggungnya adalah karena terpikir menggunakan uang nafkah. Sama sekali tidak. Uang nafkah yang jadi terkesan seperti gaji itu mulai tidak Daisha senangi, tetapi tak protes. "Uang apa pun kalo adanya di dompet dan rekening kamu, ya, emang uang kamu sendiri." Daisha senyum. Sebatas itu. Garda pun berlalu. Kalau Daisha tidak banyak bicara maka rumah ini serasa tidak benar-benar ada penghuninya. Obrolan yang terajut cuma sepatah dua patah, habis itu sudah. Seringnya Garda diam di kamar, mungkin melukis. Garda kalau tidak ada panggilan melukis di luar memang melakukannya di rumah. Daisha sempat punya bayangan indah waktu masih di luar kota, sebelum pulang dan melakukan pertemuan pertama dengan lelaki itu setelah sekian lama. Tiap-tiap papa menceritakan tentang Garda, Daisha melongok akun media sosialnya. Ada banyak hasil melukis Garda di sana dan Daisha membayangkan bila nanti 'iya' menikah, mungkin akan ada momen di mana Garda melukis dan Daisha menontonnya, atau bahkan sesekali jadi model iseng-isengnya. Tapi—ah, panas! Daisha tersentak, lalu tanpa sengaja menjatuhkan gelas sebab tersenggol tangannya yang tadi tersiram air panas. Mungkin karena bunyi pecahan itu juga membuat Garda kembali mendekat, bahkan menarik tangan Daisha, termasuk tubuhnya. Daisha mendongak. Dia melihat gurat khawatir di wajah suaminya. Yang tidak hanya mengecek jemari, tetapi juga kaki Daisha. Membuatnya menunduk saat ini. Hati Daisha menghangat. Dia merasakan sosok Garda di sebelum pesan teror itu datang. Dan ini ... apa artinya? Kenapa mudah bersikap kejam, lalu kemudian seolah jadi sosok penyayang? Jelas karena Daisha masih punya harapan untuk mengembalikan kehangatan yang hilang itu, kan? Pelan-pelan, tak harus menyebut siapa pria masa lalunya, Daisha sangat berharap bisa hanya dengan begini. Bukan maksud melindungi pelaku, Daisha hanya sedang melindungi yang lain. Bukan juga karena tak mau, tetapi tak bisa. Tanpa sadar tangan Daisha menjulur hendak menyentuh rambut Garda, tetapi langsung urung karena— "Nggak usah sok mainin mesin kopi kalo nggak bisa makenya," ucap pria itu, yang sekarang menatap tepat di mata Daisha. "Minggir!" Tubuh Daisha digeser paksa, mungkin sebab tak segera menyingkir. Sekarang Garda kembali berjongkok dan membersihkan pecahan gelas di lantai, Daisha setia dalam geming hingga akhirnya tak ada lagi sisa serpihan kaca di sana. "Kakak khawatir?" Lolos begitu saja dari lisannya. Daisha memandang putra Mama Gea. Tidak dijawab. "Makasih." Garda berlalu. Sama sekali tidak menimpali Daisha. Di mana habis itu, Daisha membasuh bekas siraman air panas tadi, juga mengecek kaki yang ternyata ada luka di sana. Sekali lagi Daisha dibuat bingung dengan sikap suaminya. Hari-hari lalu acuh tak acuh, lalu kejam sampai membuat Daisha terkesan bak pemuas nafsu semata—macam para lacur yang dibandroli harga, bahkan dari tutur katanya juga jahat menyayat, tetapi selalu ada titik-titik di mana Daisha merasa disayang. Mungkin salah satunya seperti saat ini? Menafikan kenyataan tentang wanita di gandengan Garda tempo lalu, yang Dikara pergoki. Kalian tahu tanggapan Daisha kala itu kepada sang sepupu? Iya. Daisha bilang, "Oh ... itu. Aku kenal. Masih sodaranya suamiku, Ra." Daisha tutupi. Bukan karena saking cintanya ke Garda sehingga Daisha berbuat demikian, bukan. Sekarang Daisha pandangi sosok pria yang membuat hatinya dihinggapi rasa bersalah sekaligus luka-luka, Garda tampak begitu telaten mengobati goresan kecil dari serpihan gelas tadi di kaki Daisha. Yang mana Daisha duduk di kursi makan, sementara Garda jongkok di lantai. Ah, sial. Mata Daisha memanas. Walau tak lantas jatuh tangis. Garda selesai, senyum Daisha kembali terulas berikut untai terima kasihnya. Sudah. Cuma itu. Kalian berharap apa? "Oh, ya. Mama ngundang kita makan malam di rumahnya, jadi kamu jangan ada luka." Ah ... karena itu rupanya. *** Pashmina membalut kepala Daisha yang begitu cocok dengan jenis kerudung ini. Warnanya senada dengan kaus Garda, denim. Di perjalanan menuju kediaman Mama Gea—mertua Daisha—suasana di mobil hanya diisi dengan musik 'Fly Me to the Moon' versi jazz oleh Frank Sinatra. Daisha menatap ke luar jendela. Setelah dipikir-pikir, ini pertama kali Daisha duduk di mobil suaminya. Belum pernah, kan? Tapi bagaimana dengan perempuan itu, ya? Sudah berapa kali duduk di jok ini? Dan bila duduk di sini, kira-kira bagaimana suasananya? Tak mungkin sama seperti yang Daisha alami, kan? Pasti ada banyak obrolan, mungkin juga tawa dan candaan. Duh, perih. Hati Daisha. Dia tarik napas dalam dengan samar, bahkan embusannya tak ingin sampai terdengar, Daisha keluarkan sepelan mungkin. "Kamu boleh gandeng tangan Kakak di sana." Tiba-tiba. Daisha praktis menoleh. Ditatapnya raut suami, Garda fokus ke jalanan. Tak ada ekspresi berarti. "Lebih dari itu juga boleh." Daisha kembalikan tatapannya ke luar jendela. Sama sekali tidak memberi respons dari lisannya. Sebab itu, Garda melirik Daisha. Hening lagi. Daisha cuma sedang menekan perasaan. Kalau dia bicara, takutnya ada getar tangis yang susah payah ditahan itu keluar. Pikiran Daisha sedang berfokus di perempuan lain suaminya. Tak terasa, tiba di pelataran rumah Mama Gea. Oh, lihat! Mertua Daisha bahkan tampaknya sedang menunggui kedatangan anak-mantu. Mereka yang duduk di bangku teras itu praktis berdiri kala mobil Garda berhenti. Begitu turun, Mama Gea menyongsong Daisha. "Ya ampun, cantiknya!" Sambil cupika-cupiki, lalu menarik lembut Daisha untuk masuk. "Mama udah masak banyak dan enak-enak buat Ais icipin." Papa Khalil berdeham, sosok yang telah Daisha cium tangannya dengan takzim. "Bukan Mama yang masak, Mama cuma request. Mama mana bisa masak." "Ish, Papa!" Tampak sekali mereka harmonis. Pukulan mama terlihat mesra, nada suaranya juga manjalita. Daisha terkekeh. "Eh, kalian nginap sini, kan?" kata mama lagi. "Gar, nginap, lho! Mama penginlah diinapin sama kalian." Mungkin karena Garda anak satu-satunya di rumah ini, jadi Daisha sebagai mantu juga auto yang paling disayang. "Terserah Ais, Ma." Lho, kok, gitu? Nanti kalau Daisha mengiakan, pulang-pulang Garda marah atau tidak? "Ya, Sayang, ya? Nginap, ya?" "Udah, nginap aja. Tuh, kamar Garda sampe udah Mama beresin, digantiin spreinya," imbuh papa. Kalau begini, Daisha mana bisa menolak. Alhasil, dia senyum dan mengangguk. "Iya, Ma. Nginap." Yang itu berarti ... untuk kali kedua, malam-malamnya akan terlelap di dalam satu ruang bersama Garda. Harusnya tidak jadi masalah, kan? Namun, pikiran Daisha terseret ke sore di mana dirinya digagahi dengan hina. Seketika membuat kuduk Daisha meremang, juga timbul perasaan enggan. Ah, tidak. Ini, kan, di rumah Mama Gea. Memangnya Garda bisa melakukan apa? ***"Buat apa mesin espresso itu?" Daisha menoleh. Sudah lewat satu minggu dari apa yang dia lihat di video call dan hingga detik ini belum Daisha bicarakan, sengaja. "Bikin kopi." Garda tahu. Lagi pula mesin espresso, kan, mesin untuk membuat kopi. "Kamu suka ngopi?" Soalnya Garda tidak terlalu. "Suka." Singkat jawaban Daisha. Dia sedang mencoba mesin baru. Ada rencana untuk buka kafe, tetapi masih sekadar rencana. "Ini aku beli pakai uang sendiri, kok." Barangkali maksud Garda menyinggungnya adalah karena terpikir menggunakan uang nafkah. Sama sekali tidak. Uang nafkah yang jadi terkesan seperti gaji itu mulai tidak Daisha senangi, tetapi tak protes. "Uang apa pun kalo adanya di dompet dan rekening kamu, ya, emang uang kamu sendiri." Daisha senyum. Sebatas itu. Garda pun berlalu. Kalau Daisha tidak banyak bicara maka rumah ini serasa tidak benar-benar ada penghuninya. Obrolan yang terajut cuma sepatah dua patah, habis itu sudah. Seringnya Garda diam di kamar, mungkin melukis
"Kak." Daisha menahan langkah suaminya yang hendak beranjak dari ruang makan. "Kakak cukup dengan ngatain aku murahan, nggak harus bikin aku jadi bener-bener kayak perempuan murahan, kan?" Mata Daisha berembun, tetapi tak dia izinkan ada setitik pun air yang menetes dari pelupuknya. "Aku yang nggak jujur dari awal, bukan berarti sampai sekarang semua yang kuomongin itu kebohongan." Untai kata Daisha dilisankan dengan suara pelan, ada desakkan perih di dada yang takutnya membuat air mata terpancing meluruh. "Aku salah, aku tahu. Aku ...." Henti di situ, Daisha melihat Garda meneruskan langkahnya. Seolah tak mau mendengar penuturan apa pun lagi darinya. Gegas saja Daisha susul. Mau sampai kapan seperti ini, ya, kan? Dan pergelangan tangan lelaki itu berhasil Daisha pegang, dia genggam erat-erat, dibuatnya langkah Garda kembali berhenti. Daisha berdiri di depan sang suami. Agak mendongak karena Garda lebih tinggi. Percayalah, telapak tangan Daisha mendingin. Tatapan keduanya b
Daisha menahan keras suara desahnya, bahkan sekadar lenguhan pun tidak dia biarkan lolos. Tak mau terkesan menikmati saat cara Garda mendatanginya tidak seperti di malam pertama yang Daisha kagumi. Kali ini berbeda, sangat. Cengkeramannya di sprei kian menguat. Daisha memalingkan wajah. Baru kali ini dia ingin rungunya tak berfungsi, karena bunyi perjumpaan kulit yang dihantam-hantam tak ada unsur mesra. Daisha pejamkan mata, tak mau melihat bagaimana raut Garda detik ini. Tak mau meninggalkan jejak buruk dari yang namanya bercinta. Meski dulu pernah disenggama, tetapi Daisha tak pernah benar-benar tahu bagaimana kejadiannya. Garda masih yang pertama walau bukan si nomor satu. Ah, ya ... bukankah Daisha pernah bilang bahwa dirinya dilecehkan oleh si peneror? Daisha sudah jujur satu poin kepada suaminya di subuh itu. Sayangnya, karena ketidakjujuran di awal, kejujuran Daisha diragukan. Karena sempat menutupi, keterbukaan Daisha tidak mudah dipercayai. Lantas, yang Garda lakukan
"Masak apa?" Daisha terkesiap. Dia sedang ambil minum di dapur saat tenggorokan serasa tercekat, perihal mangkuk lucu entah pemberian siapa. Daisha belum berani menanyakannya. Dan di sini, tiba-tiba suara itu terdengar. Dapat Daisha lihat suaminya menghampiri. Hanya dengan satu tanya itu hati Daisha melahirkan begitu banyak harapan, mungkinkah sudah mulai membaik rumah tangga yang baru seumur jagung ini? "Ayam kecap, ada sayur bening juga. Atau Kakak mau aku masakin yang lain?" Semringah Daisha menjawab, dia pun lekas-lekas menyudahi tegukannya. Daisha berdiri selepas meletakkan gelas di meja dapur. "Yang ada aja." Singkat, sih, memang. Namun, percayalah ... begitu saja Daisha senang mendengarnya. "Oke, Kak. Aku siapin." Makin senang karena Garda memilih duduk manis di kursi makan. Daisha bertanya-tanya dalam batinnya di tiap pergerakan. Ini pertanda baik, kan? Mungkin Kak Garda sudah mulai bisa menerima ketidaksempurnaannya, kan? Mungkin kemarin saat tidak pulang itu Kak Garda
"Garda selingkuh?" Dikara mempertanyakan itu kepada suaminya, Daaron. Malah dibalas tanya yang persis. "Nggak mungkinlah!" imbuh Daaron. Dikara juga merasa begitu. Harusnya tidak mungkin. "Tapi aku lihat Garda sama perempuan lain tadi." "Biasanya sama klien dia, sih. Kan, lukisan Garda banyak diminati, Ra." "Gandengan tangan juga kalau sama klien, Bang?" "Oh. Itu mah sepupunya, kali. Soalnya sodara Garda juga banyak yang cewek dan kayak seumuran. Lagian Garda selingkuh itu nggak mungkin, apalagi udah nikah sama Ais. Kita tau sendiri senaksir apa Garda ke Daisha, kan? Dari SMP." Dikara manggut-manggut. Memang, sih. Itu yang membuatnya jadi serasa mustahil bagi seorang Garda selingkuh. "Lagian di antara kami berlima; Abang, Dodo, Marco, Garda, dan Jean. Garda itu yang paaaling saleh. Dia bahkan nggak pernah pacaran, lho. Demi siapa? Daisha. Garda pengin dirinya sebersih itu buat menghadap Om Genta pas ngelamar anaknya." "Jadi, ini aku nggak usah kasih tahu Mbak Ais s
Daisha ketuk pintu kamar suami, benar-benar sudah terpisah. Apa ini pengibaran bendera cerai? Tidak. Daisha akan mengembalikan kehangatan yang pernah dia rasakan di hari pertama menikah. Toh, cuma pisah kamar, bukan pisah rumah. Artinya masih bisa dibenahi. Garda cuma butuh waktu untuk sendiri. "Kak?" Dipanggilnya sang suami. "Makan, yuk?" Ini sudah malam. Daisha sudah memanaskan hidangan yang dibawa dari rumah orang tua. Dari sore tadi Garda tidak keluar, mungkin tidur atau ... entahlah. Daisha tidak berani mengganggu, selain sekarang karena jam makan malam sudah tiba. Pintu dibuka, Daisha senyum. "Aku udah manasin makanan dan—" "Duluan aja." Garda menutup pintu kamarnya. Ada kunci motor di tangan dan dompet yang dia kantongi. Menyuruh Daisha makan duluan. "Kakak mau ke mana?" Daisha mengekor. "Ke luar dulu." Acuh tak acuh. "Ke?" Daisha percepat langkahnya demi menyetarai pijakan suami. Tidak dijawab. "Kak—" Ditepis. Juluran tangan Daisha tidak diizinkan menyent