“Mama tahu soal ini?” Kutatap wajah Mama yang langsung pucat setelah melihat semua bukti yang kuberikan.Aku tidak mau lagi menyembunyikan apapun karena itu juga beban untukku. Laisa memberikan album foto pernikahan Mas Nata dan Mbak Nadia padaku dan aku perlihatkan pada Mama. Dan bukti lain yang memperkuat. Jika Mama sudah tahu, tidak ada alasan Mama untuk memintaku bertahan di samping Mas Nata.Hati ini terlanjur luka, setiap melihatnya bahkan perihnya semakin terasa.“17 tahun … Nata membohongi Mama.” Suara Mama bergetar, buliran bening berjatuhan membasahi pipi. “Apa dia anggap Mama ini udah mati?”Mama menarik napas dalam lalu berdiri sambil memegangi dadanya. Baru saja akan kembali bicara tubuhnya ambruk ke sofa.“Mama!” Aku menjerit kaget.Tidak mau Mama kenapa-napa, aku langsung membawanya ke rumah sakit diantar supir tanpa memberi tahu Mas Nata lebih dulu.Dengan gelisah aku menunggu dokter keluar dari ruangan. Perasaanku tidak karuan, aku tidak menyangka Mama akan langsung p
POV Hana[Tante harus tepati janji Tante.]Aku menghela napas panjang membaca pesan dari Laisa. Dia memang yang memberikan banyak bukti padaku hingga Mas Nata tak bisa menyangkal lagi. Tapi tetap saja aku menyayangkan apa yang sudah kulakukan dengan begitu gegabah sampai berdampak pada Mama.Soal Mas Nata. Aku memang akan membiarkannya bersama dengan istri dan anaknya yang lain. Aku tidak mau hidupku runyam hanya karena diganggu apalagi Laisa itu sudah bisa berpikir dewasa dan mengerti. Pasti tidak akan membiarkanku bersama dengan papanya. Sedangkan Yuna masih kecil, dia belum mengerti apa-apa. Mungkin Yuna juga akan menjadi salah satu korban keegoisan Mas Nata tapi aku tidak akan membiarkan dia menderita. Aku bisa mengurus Yuna sendiri tanpa Mas Nata.Setelah lumayan lama di rumah sakit, Mama diperbolehkan untuk pulang meskipun tetap dalam pantauan dokter. Aku terus mengusahakan yang terbaik agar Mama segera pulih. Dari rumah juga aku mengerjakan tugas kantor, bagaimanapun itu sudah
POV HanaAku tidak bisa benar-benar ikut bersama Bang Hamdan, bagaimanapun aku tidak boleh menjauhkan Yuna dari Mas Nata.Untuk saat ini pilihan terbaik hanya pindah rumah saja, sedangkan orang tuaku sudah berada di kampung. Bang Hamdan masih menemaniku di sini. Bang Hamdan dan Ayah tidak bisa ada dalam satu rumah karena jelas nantinya malah ribut terus, bisa jadi Bang Hamdan selalu mengaitkan apa yang terjadi padaku dengan apa yang sudah diperbuat ayah di masa lalu.Alasanku yang lain juga karena ingin dekat dengan Mama. Aku tidak akan bisa meninggalkan Mama begitu saja karena rasa bersalah selalu menggelayuti hati. Bahkan saat Mama berangkat ke luar negeri, aku hanya bisa melihat dari kejauhan. Aku masih tidak mau bertemu dengan Mas Nata.Bahkan hari ini Yuna saja dijemput Bang Hamdan, mungkin nanti setelah Bang Hamdan kembali bertugas maka aku harus mencari pengasuh atau kembali tinggal bersama ibu dan ayah agar bisa menemani Yuna karena aku harus bekerja. Sebentar lagi aku akan be
“Serius amat mukanya? Memang mau?” Samudra tergelak sambil memegangi perutnya.“Apaan sih, Sam. Nggak lucu tahu.”“Kalo udah selesai interview. Traktir ya, udah aku bantuin loh dulu. Masa nggak ngasih apa-apa.”“Ish. Udah banyak duit juga masih minta traktir.”Langkahku terayun keluar dari lift dengan tergesa menuju ruangan yang dituju. Sampai di sana ternyata masih belum dimulai, aku diberitahu kalau orang yang akan melakukan interview ternyata ada kendala hingga datang terlambat.CEO perusahaan ini yang akan langsung melakukan interview. Aku mendapat panggilan untuk interview menjadi sekretaris nantinya, memiliki pengalaman membuatku bisa ada di sini sekarang apalagi aku pernah bekerja bukan di perusahaan abal-abal. Perusahaan milik keluarga Mas Nata itu perusahaan impian bagi para pencari pekerjaan yang ingin memiliki karir cemerlang.Kembali menjadi wanita karir membuat waktu akan tersita. Masalahnya sekarang aku sudah memiliki Yuna yang juga harus diperhatikan. Berat juga sebenar
Mengorbankan pekerjaan yang baru kudapat untuk bisa melihat Mama secara langsung. Akhirnya aku pergi bersama dengan Mas Nata kesana, Yuna juga ikut.Mas Nata juga tidak mengatakan apa-apa soal Mama membuatku semakin khawatir.Selama perjalanan hanya Yuna yang sibuk berceloteh, dia tampak senang. Wajahnya sumringah tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu murung.“Mama sakit?” Tangan mungil Yuna menyentuh keningku.“Nggak kok. Mama nggak sakit.”“Mukanya kayak orang sakit kok. Iya ‘kan, Pa?” Yuna melirik Mas Nata yang duduk di sebelahnya.Mungkin maksud Yuna wajahku pucat. Efek terlalu tegang jadi seperti ini. Bagaimana tidak tegang jika aku saja belum tahu kondisi Mama di sana. Aku ingin memastikan dengan melihat secara langsung.“Kamu nggak enak badan?” Giliran Mas Nata yang bertanya.“Aku sehat kok.”Untuk menghindari pembicaraan dengan Mas Nata, aku memilih untuk memejamkan mata. Biar saja Yuna bersama dengan papanya. Aku hanya tidak ingin memperlihatkan sesuatu yang tak pant
“Mas, tolong jangan ganggu ya. Aku lagi ngomongin soal kerjaan, mending kamu ke rumah saja. Yuna di rumah.”“Ayo pulang.” Mas Nata menarik tanganku sampai aku berdiri dari duduk.“Mas, apaan sih.” Aku mencoba melepaskan cengkraman tangannya.“Lepas. Nggak sopan, narik-narik tangan orang lain.” Samudra menghentak tangan Mas Nata dan menarikku ke belakang tubuhnya.“Kamu siapa? Dia bukan orang lain, dia-”“Aku mantan istri kamu, Mas. Jelas aku ini orang lain,” pangkasku.“Han-”“Kita ke ruangan aku saja.”Samudra memanggil petugas keamanan untuk menahan Mas Nata agar tidak mengikutiku dan Samudra.Lagi pula apa yang dilakukannya itu. Apa dia lupa atau pura-pura lupa dengan status aku dan dia yang sudah selesai. Mungkin kalau istri atau anaknya lihat, nanti malah aku yang jadi bahan rujak mereka lagi. Padahal aku selalu menghindar, salah Mas Nata yang selalu mendekat.“Dia jadinya kayak orang pembuat rusuh diusir begitu.”“Ya salah sendiri. Lagian kamu itu, punya mantan buang pada tempat
POV Nata“Aku yakin, setelah nanti Mama lihat anak kita, pasti hati Mama luluh.” Kugenggam erat tangan Nadia.Terlihat jelas sorot gelisah dari matanya. Kami sudah tiga bulan menikah, aku sama sekali tidak memberitahu Mama soal pernikahan ini karena dari awal Mama tidak suka pada Nadia. Mama bahkan tidak mengatakan dengan jelas apa yang tidak disukai dari Nadia.Aku nekat menikahi Nadia karena aku tidak mau kehilangannya.“Mas, kalau Mama masih nggak kasih restu. Apa kamu bakalan ninggalin aku?”“Sayang, kamu jangan bicara begitu dong. Sampai kapanpun aku nggak bakalan ninggalin kamu kok. Nggak ada wanita lain yang aku cintai selain kamu. Aku janji.”Kejadian belasan tahun lalu itu melintas dalam benak. Aku mengingkari janjiku pada Nadia karena sudah mencintai wanita selain dia. Hana, wanita yang Mama pilihkan untukku. Awalnya aku memang tidak mencintainya tapi seiring berjalannya waktu dengan kebersamaan kami, cinta itu tumbuh tanpa bisa dicegah apalagi ada kehadiran Yuna di tengah-t
POV Nata“Mas, makan dulu. Habis itu minum obat.”Nadia mengarahkan sendok ke mulutku. Membukanya saja rasanya sangat perih, tubuhku bahkan seperti remuk setelah dihajar habis-habisan abangnya Hana.Aku terima karena memang mengaku salah. Bahkan ini pasti tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit Hana.Kalau waktu bisa diputar kembali, aku akan mengambil jalan yang tidak membuat orang-orang tersayangku terluka seperti ini. Tapi aku sama sekali tidak menyesal mengenal Hana dan menikahinya.“Mas. Buka mulutnya pelan-pelan saja.”Suara Nadia membuat lamunanku buyar.Aku menurutinya, tapi hanya makan beberapa suap saja sebelum minum obat. Tadi saat bangun, aku sudah berada di sini. Seingatku sebelum semuanya gelap aku sempat melihat Hana dibawa pergi abangnya.Memikirkan itu membuatku takut, jangan sampai nanti dia tidak kembali. Kutepis semua pemikiran buruk itu. Tidak, Hana pasti kembali karena dia pasti akan merawat Mama.Karena kondisiku seperti ini, Nadia memaksaku untuk dirawat.