Mataku membulat sempurna. Tubuhku yang membelakangi Mas Nata langsung menegang seketika.
“Mau ambil minum.” Dengan cepat aku melangkah keluar kamar.Ponsel Mas Nata masih dalam genggaman, kupegang di depan perut agar dia tidak sadar.Saat sampai di ruang tengah. Aku langsung mengirimkan tangkapan layar ke whatsappku sebelum keluar dari email itu. Menghapus riwayat pesan agar Mas Nata tidak curiga.Kulempar begitu saja benda pipih itu ke atas sofa.Kecewa, marah dan cemburu menjadi satu. Tapi aku tidak mau gegabah, mencoba tenang meski sulit.Tidak mau Mas Nata curiga, aku kembali ke kamar. Dia juga terlihat kembali tidur. Wajahnya tampak polos tak berdosa. Apa dia tidak pernah merasa bersalah sudah mengkhianati aku? Dia masih bisa tidur dengan tenang.Kenapa aku bisa ditakdirkan menikah dengan laki-laki yang hatinya terbagi dua seperti ini. Bahkan membayangkannya saja tidak pernah malah sekarang tiba-tiba mengalami.Hati yang selalu dijaganya dengan sikap manis dan romantis kini terluka dan rasanya perih.Dengan kasar menyusut air mata yang berjatuhan di pipi. Aku tidak boleh selemah ini.Sebelum melihat dengan langsung, aku tidak akan mengambil keputusan. Ini bukan menyangkut soal aku dan Mas Nata saja tapi ada Yuna di tengah-tengah kami. Ada orang tua yang juga pasti akan ikut kecewa melihat hubungan anak mereka retak bahkan diujung tanduk.***“Yuna, hari ini main di rumah Oma ya.”“Nggak!” sambarku.Mas Nata menatap dengan sebelah alis terangkat, “Loh, sayang-”“Aku mau ke salon, mau ajak Yuna.”“Biar aku yang nemenin, kasihan kalau Yuna yang nemenin kamu.”Aku menggeleng, “Nggak mau, kamu di rumah aja. Lagian aku juga udah janjian sama Vika kok. Masa kamu mau ikut juga.”“Ya udah, aku di rumah. Tapi nggak lama 'kan di sana? Nanti Yuna langsung singgah di rumah Mama aja.”“Paling sore baru pulang.”“Lama banget, kamu ke salon atau antri sembako sih, Yang?”Aku tidak mau berduaan di rumah bersamanya karena tahu apa yang akan dia minta, jadi untuk sekarang aku akan menghindar dengan berbagai alasan. Tidak rela rasanya disentuh oleh tangan yang pernah menyentuh wanita lain.“Yuna ikut Mama ke salon?” Yuna antusias.“Iya. Kita tunggu Tante Vika jemput ya.”“Ayo mandi Mama. Nanti keburu Tante Vika datang.” Yura menarik-narik ujung bajuku.“Jangan sampai sore dong. Siang ya?” Mas Nata memelas.Biasanya melihat ekspresi wajahnya seperti ini akan membuatku tersenyum tapi kali ini hati malah perih melihatnya. Dia begitu pintar bersandiwara seolah semua baik-baik saja.“Nggak bisa, Mas. Kalau siang cuman perawatan muka doang, aku 'kan pengen semuanya. Aku perawatan buat kamu juga loh.”Muak. Aku muak dengan kata-kataku sendiri. Senyum tersungging dengan terpaksa agar Mas Nata tidak curiga.Dia mengerlingkan sebelah matanya, “Tapi nanti malam ya.”“Tergantung.”“Loh, kok tergantung sih?”Aku hanya mengedikkan bahu lalu membawa Yuna untuk mandi.Bersamaan denganku dan Yuna yang sudah siap. Vika datang, jadi tidak ada alasanku untuk tinggal lebih lama. Mas Nata terus mengatakan jika aku jangan pergi terlalu lama.“Tumben, Han.”Vika yang fokus menyetir melirik sekilas padaku.“Mumpun ada waktu, Vik. Udah lama juga.”Mumpung ingat, aku mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan foto itu pada Yuna.“Yuna tahu kakak ini siapa?”“Ini kakak yang kemarin, Ma.”Deg!“Yuna tahu rumahnya dimana?”“Lupa. Karena habis dari rumah kakak itu, Papa bawa Yuna jajan es di depan terus pulang.”Aduh. Anak ini kadang-kadang hanya cerita sepenggal saja membuatku pusing, padahal kemarin tidak bilang begini. Tapi setidaknya aku tahu kalau wanita ini adalah wanita yang ditemui Mas Nata kemarin.Beraninya dia menemui selingkuhannya dan membawa Yuna.“Ngapain aja Papa di sana?”“Duduk sambil minum terus peluk kakaknya sebelum pulang.”Mataku membulat sempurna. Mas Nata berani sekali melakukan itu disaksikan oleh Yuna.“Tapi Mama jangan bilang Papa ya. Kata Papa, Yuna nggak boleh bilang ke Mama.”Dadaku bergemuruh, “Terus kenapa Yuna bilang?”“Nggak sengaja,” katanya dengan sorot mata yang polos.“Ada masalah apa, Han? Ceritalah. Kamu juga selalu jadi temen cerita aku, sekarang giliran kamu yang cerita kalau ada masalah.”“Nggak apa-apa kok, Vik.”“Oke kalau kamu belum mau cerita. Tapi kalau butuh apa-apa langsung bilang ya.”Aku mengangguk lemah sambil menahan tangis. Perih sekali. Tapi aku tidak akan mungkin menangis di depan Yuna. Aku tidak boleh lemah dan menyerah begitu saja.“Vik, nanti aku titip Yuna ya. Aku ada urusan penting.”“Mau kemana?”“Pokoknya titip Yuna.”Tidak bisa ditunda lagi. Aku akan mencari tahu sekarang juga.***Hampir sampai di rumah, namun aku malah papasan dengan Mas Nata yang pergi menggunakan ojek. Dia tidak mengenaliku karena aku mengenakan helm.Mau kemana dia?“Pak, ikutin ojek yang tadi lewat ya. Tapi jangan terlalu deket.”“Siap, Mbak.”Dia pergi menggunakan ojek membuatku semakin curiga. Untuk apa ada mobil di rumah, motor juga ada. Dia juga tidak bilang akan pergi keluar saat aku pergi tadi.Pikiranku sudah menjurus, pasti dia akan bertemu dengan selingkuhannya.Dia berhenti di pinggir jalan dan masuk ke dalam sebuah mobil. Mobil yang sama sekali tidak kukenali. Kaca mobilnya gelap jadi aku tidak bisa melihat dari luar siapa orang di dalam itu.“Ikuti lagi, Mbak?”“Iya, Pak.”“Suaminya ya?”“Suami tetangga,” jawabku kesal.Aku masih membuntuti mobil itu hingga berhenti di sebuah hotel. Hatiku seperti diremas kuat melihat Mas Nata turun dengan wajah penuh senyum. Sebahagia itu dia bersama dengan wanita lain?Deg!Jantungku seperti akan copot saat sosok yang bersama suamiku turun dari mobil. Aku menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas.“Itu ... Mbak Nadia. Tetangga baru.”“Awas aja Ganta kalo macem-macem apalagi sampai nyakitin Mas Afnan.”Yuna tidak akan tinggal diam jika Ganta sudah melewati batasnya. Ia mencoba untuk menghubungi Angel untuk menanyakan lanjutan isi chat malah ponsel Angel mendadak tidak aktif.Karena perasaannya tak enak, ia memutuskan untuk menelpon suaminya. Menunggu beberapa lama sampai dijawab pemilik gawai.“Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik aja 'kan?”“Halo ….”Mata Yuna melebar. “Loh, kenapa-”Belum selesai bicara, panggilan diputus secara sepihak dari sana membuat pikiran Yuna semakin kacau apalagi yang menjawab panggilan suara perempuan.“Siapa yang ….” Dadanya bergemuruh, cemburu membakar hati.Yuna yang tersulut emosi tak bisa mengendalikan diri. Dengan tergesa melangkah keluar dari kamar, ia berniat mencari keberadaan suaminya itu.“Mau kemana?”“Titip dulu, Kia ya, Ma.”“Iya tapi kamu mau kemana?”“Ada urusan.” Yuna menjawab tanpa menoleh pada mamanya.“Kenapa dia, Yang?” Nata datang dari dapur membawa sekaleng minuman so
“Cowok kampung kayak gitu bukan sainganku.” Ganta menyeringai.Dari dalam mobil ia melihat Afnan yang keluar dari rumah dengan Kiarra dalam gendongannya. Tak lama Yuna menyusul. Mereka akan pergi ke villa untuk menemui orang tua Yuna sebentar. Yuna juga ingin di sana karena sudah rindu dengan mama dan papanya.Ganta memarkirkan mobilnya di tempat yang tak terlihat oleh Yuna jadi ia memantau dengan leluasa. Ia sangat percaya diri kalau Yuna akan kembali padanya. Karena bersaing dengan Afnan hanya akan merendahkan harga dirinya pikir Ganta.Lelaki angkuh itu tidak tahu saja kalau pemuda kampung seperti Afnan yang membuat Yuna jatuh hati dan takut kehilangan bukan pemuda kota sombong dan sok tampan seperti Ganta. Mungkin sebelumnya memang Ganta jadi prioritas tapi kali ini posisi Ganta sudah digantikan oleh Afnan.Yuna dan Afnan diikuti sampai mereka sampai di villa. Ganta tidak bisa lagi melihat ke dalam karena pagar villa itu langsung tertutup rapat, ia memutuskan untuk kembali ke peng
“Mas ….” Mata Yuna berkaca-kaca. Buliran bening itu mulai berjatuhan.“Loh? Kenapa nangis.”“Kamu marah sama aku, Mas? Tadi 'kan aku udah jelasin, semua salah paham. Gantanya aja yang masih deketin aku.” Dengan kasar ia mengusap pipinya yang basah. “Aku juga nggak suka diganggu begini.”Tiba-tiba Yuna yang tukang marah menjadi mellow begini. Sungguh tidak terlihat seperti Yuna biasanya, Afnan bahkan sampai terheran-heran karena ini kali pertamanya melihat sang istri menangis begini.“Saya nggak marah. Kenapa kamu nangis?”“Kamu pasti marah 'kan?” Yuna mengulangi pertanyaannya.Afnan menggeleng. “Saya nggak marah.”Yuna memalingkan wajahnya, memilih untuk berbaring di samping Kiarra yang sudah terlelap.Afnan masih berdiri dengan kerutan di keningnya karena tingkah sang istri yang tak biasa. Tidak mau membuat suasana semkain tidak enak, Afnan memilih untuk diam saja.Ia sama sekali tidak marah seperti yang dituduhkan oleh Yuna, percaya kalau istrinya sudah tidak berhubungan dengan Gant
"Ganta.""I miss you so bad, Baby." Ganta hendak melangkah mendekati Yuna."Oh, Mas ini selingkuhannya Yuna pasti," celetuk Bu Nani."Jangan sembarangan ya, Bu!" Yuna naik pitam."Saya calon …." Ganta menyeringai, sengaja menggantung perkataannya."Ganta, apa-apaan sih. Sana pulang, ngapain kesini?" Yuna tidak mau Ganta malah membuatnya semakin malu."Aku kesini mau jemput kamu, Baby.""Rumah aku di sini, kamu nggak usah macem-macem ya! Kita udah putus, sekarang kamu pergi dari sini."Keributan yang terjadi mengundang penasaran beberapa tetangga yang lain.Ingin sekali Ganta menarik paksa tangan Yuna agar wanita itu ikut dengannya. Namun ia sadar dengan melakukan itu yang ada Yuna malah semakin tidak suka padanya."Buka blokirannya, kalau nggak … nanti aku datang lagi.""Iya. Sana pergi."Yuna bisa bernafas lega saat Ganta akhirnya pergi. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Ganta. Padahal hubungan mereka sudah berakhir."Yuna, Yuna. Tampang aja polos.""Ternyata bener punya
Senyum di bibir Yuna tidak luntur, hatinya berbunga setelah kerinduan yang berbulan-bulan ini tertahan akhirnya bersambut. Pipinya memanas mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kali kedua untuk mereka tapi tentu saja berbeda karena melakukannya dalam keadaan sadar sepenuhnya, bukan efek dari obat perangsang.Masih dengan posisi yang sama, Yuna mendongak. Menatap Afnan yang masih terlelap, gurat lelah nampak jelas. Afnan memang masih lelah setelah perjalanan ke kota tapi ulah Yuna lelah Afnan semakin bertambah. Rencananya sudah berhasil, Yuna sangat yakin setelah ini Afnan tidak akan mungkin kepincut oleh Rinda.Tok. Tok.“Bu … Ibu ….” Yuna terperanjat, ia malah kembali memejamkan mata. Tidak mau kalau Afnan tahu ia lebih dulu bangun dari lelaki itu.Afnan langsung terjaga mendengar suara adiknya. Dengan gerakan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal oleh Yuna. Menyambar baju dan memakainya dengan asal karena takut suara Nisa akan membangunkan kedua bidadarinya yang masih
Untung saja Yuna belum menanggalkan cardigan yang dipakainya. Jadi ia bisa menyelamatkan harga dirinya. Malunya tidak ada obat kalau sudah tampil menggoda dan Afnan masih menolak.Meskipun kesal, Yuna tidak memperlihatkannya. Ia belajar untuk menahan diri apalagi Afnan baru saja kembali setelah perjalanan jauh yang menguras tenaga."Hari masih panjang, ini masih siang. Nggak etis juga kalau siang-siang ada suara meresahkan." Ia mencoba menghibur diri lalu keluar dari kamar.Setidaknya ia harus membuat hatinya lebih tenang.Ia memilih merebahkan tubuhnya di tempat biasa Afnan berbaring setiap malam."Keras banget. Betah dia tiap malem tidur di sini? Kalau aku yang tidur di sini bisa-bisa sakit semua badanku."Yuna mengambil posisi duduk, tidak nyaman berbaring dengan kondisi tempat yang tak nyaman. Padahal baru beberapa detik, bayangkan Afnan yang beberapa malam ini tidur di sana. Ia sama sekali tidak protes.Tidak ada larangan dari Yuna untuk Afnan tidur dengannya, hanya saja lelaki i