Home / Romansa / Rahasia di Rumah Kos / bab 5 : Malam yang Mengundang Bahaya

Share

bab 5 : Malam yang Mengundang Bahaya

Author: juliantara
last update Last Updated: 2025-12-05 12:06:02

Eko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.

Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.

Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.

“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.

“Kamu nggak sadar ya… tatapan kamu dari tadi bikin aku gila.”

Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.

“B-bu… saya nggak—”

Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.

“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama… lembut… tapi memabukkan.

“Tapi mata kamu bilang lain.”

Eko memejamkan mata, berusaha keras menarik napas. Tapi justru itu membuatnya makin sadar betapa tipis jarak mereka—nyaris tidak ada lagi.

“Bu… kalau kita terlalu dekat gini… saya takut… kebablasan. Ibu bilang butuh teman cerita… saya datang ke sini buat nemenin ibu cerita… bukan buat—”

Yanti tersenyum samar. Senyuman kecil, tapi efeknya seperti menghantam langsung ke tempat paling rapuh di hati Eko.

Dia menyentuh lengan Eko perlahan—sekadar sentuhan ringan—tapi cukup membuat seluruh tubuh Eko gemetar halus tanpa bisa dicegah.

“Ko…” suaranya turun satu oktaf, hampir seperti gumaman.

“Kita sudah ngelakuin itu siang tadi… apa bedanya kalau kita kebablasan lagi sekarang?”

Ia mendekat sedikit lagi.

“Toh kita sudah sama-sama terlanjur terbakar.”

Eko membeku.

Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia yakin Yanti bisa mendengarnya dari jarak sedekat itu.

Yanti mendekatkan wajahnya—begitu dekat sampai ujung napas mereka saling bersentuhan.

Eko menahan napas. Tubuhnya kaku, seperti seluruh dunia berhenti.

Tapi yang paling berbahaya adalah… dia tidak mundur.

“Kamu boleh takut… kamu juga boleh merasa bersalah.”

Yanti membelai tangan Eko pelan, gerakannya seperti garis api yang berjalan di kulitnya.

“Tapi jangan pura-pura nggak mau.”

Itu pukulan telak.

Semua benteng Eko runtuh seketika.

Dia akhirnya membuka mata—dan tatapan Yanti langsung membunuh sisa-sisa logikanya.

“Bu… saya…”

Suara Eko serak, setengah bergetar.

“Aku… nggak bisa menahan diri… kalau Bu Yanti begini.”

Yanti tersenyum tipis, penuh kemenangan. Puas.

Pengakuan itu—yang akhirnya keluar dari mulut Eko sendiri—membuat matanya berkilat lembut tapi berbahaya.

“Bagus,” bisiknya.

“Aku cuma mau kamu jujur.”

Detik itu juga, arah hidup Eko seperti hilang.

Dia tidak bergerak… tapi tubuhnya condong ke depan tanpa sadar, terseret oleh magnet yang sudah sejak siang tadi ia coba hindari.

Yanti mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.

Lembut. Lama. Dan terlalu hangat untuk tidak menggoyahkan tekad seorang laki-laki polos seperti Eko.

“Ko…” suaranya turun menjadi bisikan dalam.

“Kalau kamu tetap di sini… lagi dua detik saja…”

Senyumnya melebar pelan, seperti tantangan yang sudah menang sebelum dimulai.

“Kamu nggak akan bisa pergi.”

Eko menelan ludah keras.

Dua detik lewat.

Dan dia tidak bergerak.

Yanti mendekat—lebih dekat lagi—hingga jarak mereka tidak lagi bisa dihitung dengan angka.

Lampu temaram membuat bayangan mereka menyatu di dinding, seperti dua sosok yang sudah lama seharusnya bersentuhan.

Ruangan terasa lebih gelap. Lebih sempit. Lebih mengikat.

Tangan Eko terangkat pelan, refleks… seakan ingin memegang Yanti.

Namun ia berhenti di tengah udara, ragu… takut… tapi juga sangat ingin.

Yanti melihat tangan itu dan tertawa kecil, hampir seperti desahan.

“Tuh kan… kamu nggak sanggup nolak.”

Dia mendekatkan bibirnya sedikit lagi, nyaris menyentuh pipi Eko.

“Aku nggak bakal marah kalau kamu lanjutin… toh kita udah pernah lakukan.”

Kata-kata itu menghancurkan sisa-sisa kendali Eko.

Kali ini, Eko benar-benar tenggelam kembali ke dalam api yang mereka nyalakan bersama—api yang sudah terlalu besar untuk dipadamkan.

Bibir mereka akhirnya bertemu—dan begitu bersentuhan, semua batas runtuh.

Tidak ada rasa bersalah, tidak ada ketakutan.

Pikiran Eko gelap sepenuhnya, tenggelam dalam arus yang sejak awal sudah menyeretnya.

“Bu… Yanti… maafkan aku,” desahnya di sela napas, suaranya pecah.

“Ini semua… salahmu yang menggoda aku.”

Yanti terkekeh manja, ujung bibirnya melengkung nakal.

“Menggoda? Haha… kamu memang anak yang lucu, Ko.”

Malam itu berlanjut seperti mereka berdua sudah kehilangan kendali diri.

Dalam sekejap, tidak ada lagi jarak di antara mereka.

Kulit bertemu kulit… napas bertemu napas… dan batas-batas yang dulu ditakuti Eko kini sudah benar-benar hilang.

Mereka menyatu, intens, berkeringat bersama, seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada.

Setelah gelombang terakhir mereda, mereka terbaring di sofa ruang tamu, masih dengan napas yang belum sepenuhnya stabil.

“Bu… maafkan aku,” ucap Eko lirih.

“Aku… benar-benar nggak bisa menahan diri.”

Yanti mengulurkan tangan dan mencubit lembut hidung Eko.

“Nahan diri?” Ia tersenyum manja.

“Aku nggak pernah minta kamu nahan diri, Ko.”

Keduanya tertawa kecil—hangat, terlalu dekat, terlalu nyaman untuk hubungan yang seharusnya terlarang.

Dan dalam keheningan itu… mereka tidak sadar satu hal penting:

Sejak Eko pertama kali masuk ke rumah Yanti,

ada seseorang yang memperhatikan.

Sosok itu berdiri di balik tirai gelap, mengikuti setiap gerakan, setiap suara… bahkan menyaksikan adegan di kamar tamu hingga akhir.

Saat semuanya selesai, orang itu melangkah pergi pelan—tanpa terburu-buru.

Di tangannya, ada sesuatu yang ia genggam erat: bukti.

Ia tersenyum kecil, seringai licik yang menusuk seperti bayangan.

Seolah sudah merencanakan sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka bertiga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 7 : Pertemuan yang Tidak Bisa Ditolak

    Yanti menatap lelaki itu dengan mata membesar. Jantungnya seperti berhenti sesaat begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya.Rudi.Tetangga depan rumah.Teman dekat Herman.Orang terakhir yang ingin ia temui dalam keadaan seperti ini.Mereka berdiri di sudut warung kopi kecil yang sepi, hanya ada satu lampu redup menggantung di atas kepala. Suasana pagi masih dingin, tetapi tengkuk Yanti terasa panas.“Jadi… kamu orangnya,” bisik Yanti, suaranya nyaris bergetar.Rudi hanya mengangguk pelan. Wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang memegang rahasia sebesar itu.“Yanti," katanya perlahan, "kalau aku memang mau ngasih tahu semua ke Herman… aku gak mungkin ngajak kamu ketemu. Aku tinggal kirim fotonya, selesai.”Yanti menelan ludah. Tangannya tanpa sadar meremas bagian bawah tasnya.“Lantas… apa yang kamu mau, Rud?” Nada paniknya muncul. “Kamu mau uang? Atau kamu mau… ngancam aku? Kamu mau aku hancur?”Rudi menghela napas panjang, seperti kesal karena Yanti tidak paham ma

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 6 : Bayangan Dari Sebuah Rahasia

    Eko akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Yanti menatapnya, matanya masih hangat, masih penuh sisa-sisa keterikatan dari momen yang baru saja mereka lewati.“Ko… kamu yakin nggak mau istirahat dulu di sini?” suara Yanti lembut, tapi ada sedikit nada menahan.Eko menggeleng pelan.“Kalau saya nginap, nanti malah makin gila, Bu,” ucapnya sambil tersenyum lemah. “Lagipula… bahaya. Bu Yanti juga tau.”Yanti memandangnya lama, seolah ingin menyimpan wajah Eko dalam ingatan.Ada sedikit kecewa, sedikit rindu, tapi juga pengertian. Hubungan terlarang seperti ini memang tidak memberi ruang terlalu banyak untuk kelembutan yang terang-terangan.“Baiklah,” kata Yanti akhirnya, meski jelas ia ingin berkata sebaliknya. “Hati-hati pulang.”Eko hanya mengangguk. Tangannya sempat ingin menggenggam tangan Yanti, tapi ia menahan. Ia tahu, kalau ia menyentuhnya lagi, semuanya akan kembali terbakar.Dia keluar dari rumah Yanti dengan langkah berat—b

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 5 : Malam yang Mengundang Bahaya

    Eko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.“Kamu nggak sadar ya… tatapan kamu dari tadi bikin aku gila.”Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.“B-bu… saya nggak—”Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama…

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 4 : Langkah yang Terlambat Untuk Mundur

    Eko berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau.Yanti tersenyum samar, langkahnya pelan… hampir seperti melayang.“Masuk dulu, Ko… malam dingin.”Nada suaranya lembut, bukan memaksa—lebih seperti ajakan yang hangat.Eko menelan ludah, lalu melangkah masuk. Bau harum tubuh Yanti langsung memeluknya.Di ruang tamu, hanya lampu kecil yang menyala, menciptakan bayangan lembut di wajah Yanti.Dia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya.“Aku cuma… butuh ditemani.”Eko ragu, tapi dia duduk juga. Bahu mereka saling bersentuhan.Yanti merapikan rambutnya ke belakang telinga, gerakannya pelan… namun fatal.“Ko,” katanya lebih pelan lagi. “Tadi siang… kamu nggak bohong kan? Kamu beneran suka?”Eko menoleh. Jarak mereka terlalu dekat.Dalam hati Eko berteriak untuk pergi, tapi bibirnya hanya bisa bergumam:“Bu… jangan tanyain itu malam-malam begini… saya bisa kebablasan.”Yanti tersenyum kecil, mata menunduk.“Aku nggak akan marah kalau kamu kebablasan, Ko.”Pintu tertutup perla

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 3 : Panggilan tengah Malam

    Setelah beberapa saat terbaring dengan tubuh Yanti dalam pelukannya, rasa bersalah mulai merayapi pikiran Eko.“Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja meniduri istri orang lain…”Dada Eko terasa sesak. Dalam hatinya ia ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh sebelum semuanya semakin salah. Namun lembutnya kulit Yanti… aroma tubuhnya yang hangat… semua itu membuat langkahnya seolah terkunci. Sulit untuk berpaling. Sulit untuk pergi.“Kenapa, Ko?” suara Yanti terdengar pelan, namun menggoda. “Apa kamu nggak senang? Atau… kamu nggak puas sama aku? Apa aku terlalu tua buat jadi selera kamu?”Eko langsung menggeleng. “Oh, tidak, Bu… bukan begitu. Kamu—kamu sangat memuaskan. Bahkan… kamu luar biasa tadi.”Ia menelan ludah, memalingkan wajah. “Cuma… aku rasa kita nggak boleh lakuin ini lagi.”Ia tak berani menatap Yanti. Karena setiap kali matanya bertemu milik perempuan itu, kekuatannya runtuh.Yanti menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. “Bai

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 2 : Pertahanan yang Runtuh

    Eko menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang hampir hilang. Godaan itu begitu nyata, begitu dekat. Namun, bayangan Herman dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap memaksanya untuk berkata."Tidak, Bu... Yanti. Kita tidak boleh," ucap Eko dengan suara serak, sambil mencoba menarik tubuhnya mundur sedikit. Tangannya yang tadi memeluk erat, kini melunak. "Ini... ini salah."Yanti terkejut. Matanya yang tadi berkaca-kaca kini memancarkan cahaya berbeda—sebuah keberanian yang nekat. "Salah?" bisiknya, sinis. "Apa yang lebih salah dari pernikahan yang hanya menyisakan bentakan dan penghinaan?""Ibu sedang emosi. Kamu akan menyesali ini nanti. Kita bisa selesaikan ini ketika kamu sudah lebih tenang," bantah Eko, mencoba berdiri dari sofa.Namun, dengan gerakan yang lincah, Yanti justru mendekatkan diri lagi. Tangannya yang halus mencegah Eko untuk pergi, menahannya di tempat duduk."Jangan pergi, Ko," desaknya, suaranya lembut namun penuh arti. "Aku tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status