LOGINEko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.
Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.
Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.
“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.
Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.
“B-bu… saya nggak—”
Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.
“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama… lembut… tapi memabukkan.
Eko memejamkan mata, berusaha keras menarik napas. Tapi justru itu membuatnya makin sadar betapa tipis jarak mereka—nyaris tidak ada lagi.
“Bu… kalau kita terlalu dekat gini… saya takut… kebablasan. Ibu bilang butuh teman cerita… saya datang ke sini buat nemenin ibu cerita… bukan buat—”
Yanti tersenyum samar. Senyuman kecil, tapi efeknya seperti menghantam langsung ke tempat paling rapuh di hati Eko.
Dia menyentuh lengan Eko perlahan—sekadar sentuhan ringan—tapi cukup membuat seluruh tubuh Eko gemetar halus tanpa bisa dicegah.
“Ko…” suaranya turun satu oktaf, hampir seperti gumaman.
Eko membeku.
Yanti mendekatkan wajahnya—begitu dekat sampai ujung napas mereka saling bersentuhan.
Eko menahan napas. Tubuhnya kaku, seperti seluruh dunia berhenti.
“Kamu boleh takut… kamu juga boleh merasa bersalah.”
Itu pukulan telak.
Dia akhirnya membuka mata—dan tatapan Yanti langsung membunuh sisa-sisa logikanya.
“Bu… saya…”
Yanti tersenyum tipis, penuh kemenangan. Puas.
“Bagus,” bisiknya.
Detik itu juga, arah hidup Eko seperti hilang.
Yanti mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.
“Ko…” suaranya turun menjadi bisikan dalam.
Eko menelan ludah keras.
Yanti mendekat—lebih dekat lagi—hingga jarak mereka tidak lagi bisa dihitung dengan angka.
Ruangan terasa lebih gelap. Lebih sempit. Lebih mengikat.
Tangan Eko terangkat pelan, refleks… seakan ingin memegang Yanti.
Yanti melihat tangan itu dan tertawa kecil, hampir seperti desahan.
Kata-kata itu menghancurkan sisa-sisa kendali Eko.
Kali ini, Eko benar-benar tenggelam kembali ke dalam api yang mereka nyalakan bersama—api yang sudah terlalu besar untuk dipadamkan.
Bibir mereka akhirnya bertemu—dan begitu bersentuhan, semua batas runtuh.
“Bu… Yanti… maafkan aku,” desahnya di sela napas, suaranya pecah.
Yanti terkekeh manja, ujung bibirnya melengkung nakal.
Malam itu berlanjut seperti mereka berdua sudah kehilangan kendali diri.
Setelah gelombang terakhir mereda, mereka terbaring di sofa ruang tamu, masih dengan napas yang belum sepenuhnya stabil.
“Bu… maafkan aku,” ucap Eko lirih.
Yanti mengulurkan tangan dan mencubit lembut hidung Eko.
Keduanya tertawa kecil—hangat, terlalu dekat, terlalu nyaman untuk hubungan yang seharusnya terlarang.
Sejak Eko pertama kali masuk ke rumah Yanti,
Sosok itu berdiri di balik tirai gelap, mengikuti setiap gerakan, setiap suara… bahkan menyaksikan adegan di kamar tamu hingga akhir.
Saat semuanya selesai, orang itu melangkah pergi pelan—tanpa terburu-buru.
Ia tersenyum kecil, seringai licik yang menusuk seperti bayangan.
Yanti menatap lelaki itu dengan mata membesar. Jantungnya seperti berhenti sesaat begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya.Rudi.Tetangga depan rumah.Teman dekat Herman.Orang terakhir yang ingin ia temui dalam keadaan seperti ini.Mereka berdiri di sudut warung kopi kecil yang sepi, hanya ada satu lampu redup menggantung di atas kepala. Suasana pagi masih dingin, tetapi tengkuk Yanti terasa panas.“Jadi… kamu orangnya,” bisik Yanti, suaranya nyaris bergetar.Rudi hanya mengangguk pelan. Wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang memegang rahasia sebesar itu.“Yanti," katanya perlahan, "kalau aku memang mau ngasih tahu semua ke Herman… aku gak mungkin ngajak kamu ketemu. Aku tinggal kirim fotonya, selesai.”Yanti menelan ludah. Tangannya tanpa sadar meremas bagian bawah tasnya.“Lantas… apa yang kamu mau, Rud?” Nada paniknya muncul. “Kamu mau uang? Atau kamu mau… ngancam aku? Kamu mau aku hancur?”Rudi menghela napas panjang, seperti kesal karena Yanti tidak paham ma
Eko akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Yanti menatapnya, matanya masih hangat, masih penuh sisa-sisa keterikatan dari momen yang baru saja mereka lewati.“Ko… kamu yakin nggak mau istirahat dulu di sini?” suara Yanti lembut, tapi ada sedikit nada menahan.Eko menggeleng pelan.“Kalau saya nginap, nanti malah makin gila, Bu,” ucapnya sambil tersenyum lemah. “Lagipula… bahaya. Bu Yanti juga tau.”Yanti memandangnya lama, seolah ingin menyimpan wajah Eko dalam ingatan.Ada sedikit kecewa, sedikit rindu, tapi juga pengertian. Hubungan terlarang seperti ini memang tidak memberi ruang terlalu banyak untuk kelembutan yang terang-terangan.“Baiklah,” kata Yanti akhirnya, meski jelas ia ingin berkata sebaliknya. “Hati-hati pulang.”Eko hanya mengangguk. Tangannya sempat ingin menggenggam tangan Yanti, tapi ia menahan. Ia tahu, kalau ia menyentuhnya lagi, semuanya akan kembali terbakar.Dia keluar dari rumah Yanti dengan langkah berat—b
Eko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.“Kamu nggak sadar ya… tatapan kamu dari tadi bikin aku gila.”Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.“B-bu… saya nggak—”Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama…
Eko berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau.Yanti tersenyum samar, langkahnya pelan… hampir seperti melayang.“Masuk dulu, Ko… malam dingin.”Nada suaranya lembut, bukan memaksa—lebih seperti ajakan yang hangat.Eko menelan ludah, lalu melangkah masuk. Bau harum tubuh Yanti langsung memeluknya.Di ruang tamu, hanya lampu kecil yang menyala, menciptakan bayangan lembut di wajah Yanti.Dia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya.“Aku cuma… butuh ditemani.”Eko ragu, tapi dia duduk juga. Bahu mereka saling bersentuhan.Yanti merapikan rambutnya ke belakang telinga, gerakannya pelan… namun fatal.“Ko,” katanya lebih pelan lagi. “Tadi siang… kamu nggak bohong kan? Kamu beneran suka?”Eko menoleh. Jarak mereka terlalu dekat.Dalam hati Eko berteriak untuk pergi, tapi bibirnya hanya bisa bergumam:“Bu… jangan tanyain itu malam-malam begini… saya bisa kebablasan.”Yanti tersenyum kecil, mata menunduk.“Aku nggak akan marah kalau kamu kebablasan, Ko.”Pintu tertutup perla
Setelah beberapa saat terbaring dengan tubuh Yanti dalam pelukannya, rasa bersalah mulai merayapi pikiran Eko.“Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja meniduri istri orang lain…”Dada Eko terasa sesak. Dalam hatinya ia ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh sebelum semuanya semakin salah. Namun lembutnya kulit Yanti… aroma tubuhnya yang hangat… semua itu membuat langkahnya seolah terkunci. Sulit untuk berpaling. Sulit untuk pergi.“Kenapa, Ko?” suara Yanti terdengar pelan, namun menggoda. “Apa kamu nggak senang? Atau… kamu nggak puas sama aku? Apa aku terlalu tua buat jadi selera kamu?”Eko langsung menggeleng. “Oh, tidak, Bu… bukan begitu. Kamu—kamu sangat memuaskan. Bahkan… kamu luar biasa tadi.”Ia menelan ludah, memalingkan wajah. “Cuma… aku rasa kita nggak boleh lakuin ini lagi.”Ia tak berani menatap Yanti. Karena setiap kali matanya bertemu milik perempuan itu, kekuatannya runtuh.Yanti menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. “Bai
Eko menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang hampir hilang. Godaan itu begitu nyata, begitu dekat. Namun, bayangan Herman dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap memaksanya untuk berkata."Tidak, Bu... Yanti. Kita tidak boleh," ucap Eko dengan suara serak, sambil mencoba menarik tubuhnya mundur sedikit. Tangannya yang tadi memeluk erat, kini melunak. "Ini... ini salah."Yanti terkejut. Matanya yang tadi berkaca-kaca kini memancarkan cahaya berbeda—sebuah keberanian yang nekat. "Salah?" bisiknya, sinis. "Apa yang lebih salah dari pernikahan yang hanya menyisakan bentakan dan penghinaan?""Ibu sedang emosi. Kamu akan menyesali ini nanti. Kita bisa selesaikan ini ketika kamu sudah lebih tenang," bantah Eko, mencoba berdiri dari sofa.Namun, dengan gerakan yang lincah, Yanti justru mendekatkan diri lagi. Tangannya yang halus mencegah Eko untuk pergi, menahannya di tempat duduk."Jangan pergi, Ko," desaknya, suaranya lembut namun penuh arti. "Aku tidak







