LOGINEko berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau.
“Masuk dulu, Ko… malam dingin.”
Nada suaranya lembut, bukan memaksa—lebih seperti ajakan yang hangat.
Di ruang tamu, hanya lampu kecil yang menyala, menciptakan bayangan lembut di wajah Yanti.
“Aku cuma… butuh ditemani.”
Eko ragu, tapi dia duduk juga. Bahu mereka saling bersentuhan.
“Ko,” katanya lebih pelan lagi. “Tadi siang… kamu nggak bohong kan? Kamu beneran suka?”
Eko menoleh. Jarak mereka terlalu dekat.
Dalam hati Eko berteriak untuk pergi, tapi bibirnya hanya bisa bergumam:
“Bu… jangan tanyain itu malam-malam begini… saya bisa kebablasan.”
Yanti tersenyum kecil, mata menunduk.
Pintu tertutup perlahan di belakang Eko.
Yanti berdiri hanya beberapa langkah darinya, dasternya mengikuti setiap gerak kecil tubuhnya.
“Ko…” suaranya bergetar.
Eko menunduk, “Bu, saya cuma—”
Belum selesai bicara, Yanti mendekat.
“Aku cuma pengen ada yang lihat aku… sebagai perempuan.”
Sentuhan itu membuat seluruh tubuh Eko panas.
“Bu… saya takut kalau ini salah…”
Yanti menggeleng perlahan, menahan tangannya di dada Eko.
Eko terdiam.
Eko masuk, tapi langkahnya gemetar.
Yanti menutup pintu tanpa suara, namun Eko justru merasa dunia luar terputus dari dirinya.
“Ko… kamu tegang banget,” ujar Yanti sambil mendekat.
Eko memegang tengkuknya sendiri, berusaha menenangkan diri.
Yanti duduk, memiringkan tubuhnya sedikit, dasternya jatuh mengikuti lengkungan pinggang.
“Aku cuma pengen ditemani. Aku nggak suruh kamu ngelakuin apa-apa.”
Eko menarik napas panjang, mencoba keras untuk fokus.
“Bu Yanti… saya takut nanti saya nggak bisa nahan diri.”
Yanti mendongak, wajahnya lembut tapi entah kenapa terasa semakin berbahaya.
Kata-kata itu menancap langsung ke dada Eko.
Begitu Eko masuk, Yanti langsung mematikan lampu depan.
“Bu… kenapa matiin lampu?” tanya Eko pelan.
“Takut ada yang lihat dari luar. Malam-malam suka ada tetangga lewat.”
Kalimat itu saja sudah bikin jantung Eko naik dua tingkat.
Yanti mendekat, langkahnya pelan tapi mantap.
Tapi justru kata-kata itu membuat Eko makin gugup.
“Bu, kalo ada yang lihat… habis saya.”
Yanti menutup jarak di antara mereka, suaranya hampir seperti bisikan:
Lampu redup menyorot tubuhnya yang hanya tertutup daster tipis.
Di luar, terdengar suara motor lewat.
Yanti memegang dagunya, memaksa Eko menatapnya kembali.
“Ko… fokus ke sini. Jangan kemana-mana.”
Nafas Eko langsung tersangkut.
Lampu kecil di pojok ruang hanya memantulkan cahaya ke kulit Yanti yang tampak makin lembut, makin berbahaya.
“Ko… kamu kenapa kelihatan takut banget?” tanya Yanti sambil bergerak mendekat.
“A-a… saya cuma nggak mau… salah langkah, Bu,” jawab Eko terbata.
Yanti tertawa pelan—bukan mengejek, tapi seolah menikmati kepolosan Eko yang tidak berubah sejak siang tadi.
“Minum dulu, biar nggak tegang,” katanya sambil menyodorkan gelas.
Saat jemari mereka bersentuhan, sesuatu seperti arus listrik kecil menyentak ke seluruh tubuhnya.
“Bu…” suaranya melemah.
Yanti menatapnya lama.
“Ko, kalau kamu mau pergi… silakan,” ujarnya pelan.
Kalimat itu seharusnya membuat Eko langsung berbalik.
Tubuhnya tidak bergerak.
Yanti tersenyum samar melihatnya tak sanggup mengambil langkah mundur.
“Lihat kan?” katanya lirih.
Eko menelan ludah.
Yanti melangkah perlahan ke arahnya, hanya satu langkah… tapi cukup membuat Eko mundur setengah langkah tanpa sadar.
“Ko…”
Jantung Eko seperti berhenti sesaat.
Yanti menatap lelaki itu dengan mata membesar. Jantungnya seperti berhenti sesaat begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya.Rudi.Tetangga depan rumah.Teman dekat Herman.Orang terakhir yang ingin ia temui dalam keadaan seperti ini.Mereka berdiri di sudut warung kopi kecil yang sepi, hanya ada satu lampu redup menggantung di atas kepala. Suasana pagi masih dingin, tetapi tengkuk Yanti terasa panas.“Jadi… kamu orangnya,” bisik Yanti, suaranya nyaris bergetar.Rudi hanya mengangguk pelan. Wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang memegang rahasia sebesar itu.“Yanti," katanya perlahan, "kalau aku memang mau ngasih tahu semua ke Herman… aku gak mungkin ngajak kamu ketemu. Aku tinggal kirim fotonya, selesai.”Yanti menelan ludah. Tangannya tanpa sadar meremas bagian bawah tasnya.“Lantas… apa yang kamu mau, Rud?” Nada paniknya muncul. “Kamu mau uang? Atau kamu mau… ngancam aku? Kamu mau aku hancur?”Rudi menghela napas panjang, seperti kesal karena Yanti tidak paham ma
Eko akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Yanti menatapnya, matanya masih hangat, masih penuh sisa-sisa keterikatan dari momen yang baru saja mereka lewati.“Ko… kamu yakin nggak mau istirahat dulu di sini?” suara Yanti lembut, tapi ada sedikit nada menahan.Eko menggeleng pelan.“Kalau saya nginap, nanti malah makin gila, Bu,” ucapnya sambil tersenyum lemah. “Lagipula… bahaya. Bu Yanti juga tau.”Yanti memandangnya lama, seolah ingin menyimpan wajah Eko dalam ingatan.Ada sedikit kecewa, sedikit rindu, tapi juga pengertian. Hubungan terlarang seperti ini memang tidak memberi ruang terlalu banyak untuk kelembutan yang terang-terangan.“Baiklah,” kata Yanti akhirnya, meski jelas ia ingin berkata sebaliknya. “Hati-hati pulang.”Eko hanya mengangguk. Tangannya sempat ingin menggenggam tangan Yanti, tapi ia menahan. Ia tahu, kalau ia menyentuhnya lagi, semuanya akan kembali terbakar.Dia keluar dari rumah Yanti dengan langkah berat—b
Eko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.“Kamu nggak sadar ya… tatapan kamu dari tadi bikin aku gila.”Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.“B-bu… saya nggak—”Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama…
Eko berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau.Yanti tersenyum samar, langkahnya pelan… hampir seperti melayang.“Masuk dulu, Ko… malam dingin.”Nada suaranya lembut, bukan memaksa—lebih seperti ajakan yang hangat.Eko menelan ludah, lalu melangkah masuk. Bau harum tubuh Yanti langsung memeluknya.Di ruang tamu, hanya lampu kecil yang menyala, menciptakan bayangan lembut di wajah Yanti.Dia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya.“Aku cuma… butuh ditemani.”Eko ragu, tapi dia duduk juga. Bahu mereka saling bersentuhan.Yanti merapikan rambutnya ke belakang telinga, gerakannya pelan… namun fatal.“Ko,” katanya lebih pelan lagi. “Tadi siang… kamu nggak bohong kan? Kamu beneran suka?”Eko menoleh. Jarak mereka terlalu dekat.Dalam hati Eko berteriak untuk pergi, tapi bibirnya hanya bisa bergumam:“Bu… jangan tanyain itu malam-malam begini… saya bisa kebablasan.”Yanti tersenyum kecil, mata menunduk.“Aku nggak akan marah kalau kamu kebablasan, Ko.”Pintu tertutup perla
Setelah beberapa saat terbaring dengan tubuh Yanti dalam pelukannya, rasa bersalah mulai merayapi pikiran Eko.“Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja meniduri istri orang lain…”Dada Eko terasa sesak. Dalam hatinya ia ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh sebelum semuanya semakin salah. Namun lembutnya kulit Yanti… aroma tubuhnya yang hangat… semua itu membuat langkahnya seolah terkunci. Sulit untuk berpaling. Sulit untuk pergi.“Kenapa, Ko?” suara Yanti terdengar pelan, namun menggoda. “Apa kamu nggak senang? Atau… kamu nggak puas sama aku? Apa aku terlalu tua buat jadi selera kamu?”Eko langsung menggeleng. “Oh, tidak, Bu… bukan begitu. Kamu—kamu sangat memuaskan. Bahkan… kamu luar biasa tadi.”Ia menelan ludah, memalingkan wajah. “Cuma… aku rasa kita nggak boleh lakuin ini lagi.”Ia tak berani menatap Yanti. Karena setiap kali matanya bertemu milik perempuan itu, kekuatannya runtuh.Yanti menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. “Bai
Eko menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang hampir hilang. Godaan itu begitu nyata, begitu dekat. Namun, bayangan Herman dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap memaksanya untuk berkata."Tidak, Bu... Yanti. Kita tidak boleh," ucap Eko dengan suara serak, sambil mencoba menarik tubuhnya mundur sedikit. Tangannya yang tadi memeluk erat, kini melunak. "Ini... ini salah."Yanti terkejut. Matanya yang tadi berkaca-kaca kini memancarkan cahaya berbeda—sebuah keberanian yang nekat. "Salah?" bisiknya, sinis. "Apa yang lebih salah dari pernikahan yang hanya menyisakan bentakan dan penghinaan?""Ibu sedang emosi. Kamu akan menyesali ini nanti. Kita bisa selesaikan ini ketika kamu sudah lebih tenang," bantah Eko, mencoba berdiri dari sofa.Namun, dengan gerakan yang lincah, Yanti justru mendekatkan diri lagi. Tangannya yang halus mencegah Eko untuk pergi, menahannya di tempat duduk."Jangan pergi, Ko," desaknya, suaranya lembut namun penuh arti. "Aku tidak







