Share

Hatiku Terluka

Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?

Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan. 

Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya. 

Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami. 

"Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu," seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang.

"Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman." Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temannya ikut menimpali.

"Iya bener. Inget nggak Ati, apa yang kamu ucapkan pas nikahan suamimu!" timpal Elma. Akhir-akhir ini Elma adalah teman baik Ami. Aku tidak merasa heran jika mulutnya sebegitu tidak disaring.

Tak kuhiraukan semua yang mereka ucapkan. Mereka bersikap seolah akulah yang harus bertanggungjawab atas kematian Mas Farhan.

Padahal, jika ada orang yang harus dimintai pertanggungjawaban, itu adalah Ami. Karena selama satu bulan ini, Mas Farhan selalu bersamanya, tidak sekalipun ia mengunjungiku.

Satu bulan juga, Mas Farhan tidak memberiku nafkah. Termasuk pada Aliya. Ia larut dalam kehidupan dengan istri barunya.

Namun, tetap aku yang disalahkan atas kematiannya. Aneh sekali. Aku jadi iba pada pemikiran dangkal orang-orang.

***

Di depan rumah Ami berkibar bendera kuning. Di sana sudah ramai, bapak-bapak sibuk membuat keranda bambu di depan rumah Pak To'at. Rumah Pak To'at tepat di samping rumah Ami.

Aku berjalan mendekat, semua orang langsung melihat ke arahku dengan ekspresi yang berbeda-beda. 

Aku tak acuh, kuteruskan langkahku sampai di depan pintu. 

"Hayati, sini Nduk," panggil ibu mertuaku sambil melambaikan tangannya. 

Aku mendekat, kemudian duduk di sampingnya. 

Di hadapanku Mas Farhan terbujur kaku. Tubuhnya sudah terbalut kain kafan, selendang menutup tubuhnya. 

Ami terisak di samping Ibu. Semua orang sibuk menenangkannya. Beberapa sibuk mengomentari aku yang tidak menitikkan air mata. 

Memangnya apalagi yang harus kutangisi? Jika aku sudah menganggapnya mati sejak ia mulai mendua. 

"Mas Farhan, Pernikahan kita baru seumur jagung. Kenapa kamu harus meninggalkanku, Mas. hiks hiks," ucap Ami yang masih saja terisak. Aku menatapnya kosong. 

Tidak ada lagi iba yang tersisa untuknya.

Drama itu belumlah berakhir. Saat jenazah Mas Farhan dimasukkan ke dalam keranda. Untuk dibawa dan di salatkan di masjid terdekat, Ami berteriak histeris. 

"Jangan! Jangan bawa Mas Farhan pergi. Jangan." Ia berlari mengejar jenazah Mas Farhan. 

"Ibu, tolong hentikan mereka. Ibu, bawa Mas Farhan kembali." 

"Mas Farhan!" Ami berteriak histeris. Kulihat perutnya sedikit buncit, ia sepertinya sudah hamil tiga bulan.

Aku menggeleng pelan, tidak menyangka ia tega mengkhianatiku. Jadi sejak kapan mereka berselingkuh, dan terlibat zina. Aku mengusap dadaku. 

'Sabar sabar.' lirihku dalam hati.

Ami masih meraung-raung. Beberapa orang yang menenangkannya sampai kewalahan. 

"Ini semua karena kamu, Hayati!" Ami menatapku garang. Membuatku sempat bergidik karenanya.

Ami berjalan ke arahku, kakinya menghentak-hentak karena marah. 

"Ini salahmu! Coba saja kamu tidak menyumpahi dia mati. Maka suamiku tidak akan pergi. Aku tidak akan menjanda, Ati!" teriaknya marah tepat di wajahku. 

"Wanita lakn*t! Rasakan ini!"

Plak! 

Ami menampar wajahku, mataku melebar tidak percaya. Ia cukup berani dengan berbuat senekat ini. 

"Kenapa melotot? Tidak terima? Sini tampar wajahku kalau kamu tidak terima. Kalau perlu sumpahi aku sekalian. Supaya bisa cepat menyusul Mas Farhan. Hahaha." 

Aku masih diam. Tidak ingin menambah keributan di rumah ini. Meskipun telingaku panas, tanganku mengepal kuat, dan dadaku bergemuruh hebat. 

"Sabar ya , Mbak Ati. Aku tahu di sini Mbak ati enggak salah." Seseorang menepuk pundakku, menyalurkan kekuatan untuk menguatkanku. 

Dia adalah Bu Isma. Istri Pak RT di tempatku tinggal. 

Aku, Ami, dan Mas Farhan memang tinggal di RT yang sama. Jadi Bu Isma juga saksi dari segala yang terjadi. 

Dulunya, aku dan Ami memang sahabat dekat. Ami dan Mas Farhan bekerja di kantor yang sama, aku tidak tahu sejak kapan mereka mulai menjalin hubungan. Aku bahkan tidak pernah curiga setiap Mas Farhan mengantar Ami pulang. 

Itu semua karena aku dan Ami adalah sahabat, jadi tak pernah terbersit mereka akan tega melakukan ini. 

Mungkin inilah hadiahku, sebagai wanita yang lalai dalam menjaga suaminya dari dekapan wanita lain. 

***

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status