Share

Bab 5

Penulis: Daliah Wahidah
Setelah berkeliling untuk waktu yang lama, aku menemukan sebuah alamat dari ponselku. Aku berjalan pulang dengan perlahan. Setibanya di rumah, aku melihat seseorang di dapur.

Arhan pulang. Sejak bersama Nikita, Arhan tidak pernah pulang lagi. Suasana hatinya tidak baik. Dia memegang botol anggur, lalu menatap meja di belakangku. Ada dua buah delima yang merah dan besar di sana, persis dengan yang ada di gunung belakang sekolah.

"Makanlah," ujar Arhan dengan tidak acuh, tetapi juga tegas.

Aku tidak menghiraukannya. Aku hendak berjalan melewatinya, tetapi Arhan tiba-tiba menarikku dengan kuat. Dengan tatapan suram, Arhan bertanya, "Kamu mengabaikanku? Kamu kira aku buta, nggak bisa lihat apa-apa?"

Nada bicara yang tajam ini seolah-olah ingin mencabikku. Kebutaan Arhan adalah tabu bagi dirinya sendiri. Arhan tidak akan berinisiatif mengungkitnya, kecuali ada masalah yang membuatnya marah besar.

Aku termangu, berusaha memikirkan kejadian pagi dan siang tadi. Namun, pikiranku kacau. Yang tersisa hanya beberapa adegan.

"Ngapain sih? Memangnya aku mengganggumu? Kepalaku pusing. Aku mau tidur. Kamu pergi sana," ucapku dengan ekspresi dingin sambil mencoba melepaskan tangan Arhan.

"Kamu mengusirku? Kamu nggak ingat hari ini hari apa? Benar juga. Mana mungkin wanita kejam sepertimu ingat." Arhan tersenyum mengejek.

"Tapi, aku harus memperingatkanmu. Sekarang kamu tinggal di rumahku. Semua kebutuhanmu pun dipenuhi olehku. Jadi, kamu nggak berhak mengusirku," lanjut Arhan.

Hari ini hari apa? Aku memejamkan mata, berusaha mencari informasi di pikiranku yang hampa. Sayang sekali, aku tidak bisa ingat apa-apa. Lupakan saja. Sebentar lagi, aku juga akan melupakan Arhan. Tidak masalah kalau melupakan hari biasa seperti ini.

Ketika melihatku tidak merespons, kesabaran Arhan pun habis. Dia mengupas buah delima, lalu menyuapiku dengan kesal. "Makan, jangan buat aku mengulangi perkataanku lagi."

Aku sontak mendorong Arhan, lalu mengambil delima itu dan melemparkannya ke wajahnya. "Bawa delimamu pergi sana! Aku nggak mau lihat kamu lagi!"

Arhan memelotot dan menggigit bibirnya dengan geram. Saat berikutnya, dia menahanku di sofa. "Kamu berani main tangan denganku?"

Tidak terlihat ketakutan apa pun pada wajahku. "Kenapa memangnya? Kamu berani membunuhku? Hehe. Takutnya kamu nggak bisa memegang pisau dengan baik karena buta."

Wajah Arhan menjadi sangat dingin. Dia melempar botol anggur di tangan. Bau alkohol yang kuat membuatku makin pusing.

Sebelum aku bereaksi, Arhan tiba-tiba membuka bajuku dan berkata, "Aku nggak pernah melihat orang semenyebalkan kamu."

Arhan seperti binatang buas. Dia menjamah tubuhku, memaksaku untuk berhubungan intim. Aku seketika merasa takut. Aku menggigit Arhan dan berujar, "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku ...."

Namun, Arhan berpura-pura tidak mendengarnya. Gerakan tangannya sama sekali tidak berhenti, bahkan menjadi makin lancang.

Aku ingin melawan, tetapi rasa sakit di tubuhku membuatku kehilangan tenaga. Aku hanya bisa membiarkan Arhan menghancurkan tekadku.

....

Pelampiasan ini tidak berlangsung lama. Aku merasa sangat sakit, tetapi harga diriku melarangku meneteskan air mata.

Arhan bersandar di sofa sambil tersenyum dingin. "Sepertinya kamu nggak menemukan pria baru selama dua tahun ini. Wajar saja. Belum tentu ada yang mau meski gratis. Kasihan sekali kamu."

Aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku. "Yang jelas, aku lebih baik menjadi gratisan untuk orang lain daripada kamu. Arhan, kamu menjijikkan."

Arhan sontak menoleh sambil memelototiku. Dia berkata, "Kamu wanita paling keras kepala yang pernah kutemui. Kamu bisa mati kalau mengalah ya? Elena, kamu merasa sangat bangga karena berhasil mempermainkanku ya? Aku malah nggak bisa melupakanmu. Konyol sekali."

Arhan membanting semua barang yang ada di ruang tamu untuk melampiaskan emosinya. Meskipun begitu, aku tetap terlihat tenang. Lagi pula, itu bukan barang-barangku.

Setelah Arhan selesai menggila, aku bangkit untuk kembali ke kamar. "Ingat panggil petugas kebersihan kemari."

Tiba-tiba, ponsel di ruang tamu berdering.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rna 1122
laki" macam apa kauuuuu sialan nyesellll nanti luuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Rahasia yang Tak Kau Ketahui   Bab 12

    Ketika aku siuman, Arhan dan Nikita telah pergi. Sebelum Arhan pergi, dia sempat menjanjikanku sesuatu. "Nana, tunggu aku kembali. Aku akan memberimu penjelasan. Jangan lupakan aku. Masalah ini nggak seperti yang dia katakan."Ingat atau tidak, aku tidak peduli. Selama tiga hari berikutnya, Arhan tidak datang mencariku. Aku keguguran, tetapi aku tidak sedih. Aku menerima kenyataan ini dengan cepat.Erick beberapa kali ingin membahas tentang Arhan denganku, tetapi aku selalu melarang. Mentalku akhirnya pulih. Aku tidak ingin mendengar tentang pembuat onar.Jadi, Erick membahas tentang sanatorium di Negara Darsha, "Lingkungan di sana sangat bagus. Ada chinese food dan western food. Setiap hari ada dokter yang berkunjung, bahkan mereka mengatur tamasya setiap tiga bulan sekali. Nanti kubawa kamu jalan-jalan. Kita bakal main sampai puas."Aku mencebik dan tidak peduli. "Terserah. Lagian, ujung-ujungnya aku bakal lupa."Aku menyadari diriku salah bicara. Aku meneruskan, "Tapi, aku senang ka

  • Rahasia yang Tak Kau Ketahui   Bab 11

    Aku hamil. Setelah mengetahui kabar ini, aku hampir jatuh pingsan. Aku tidak punya pacar. Kok malah hamil?Erick membawaku melakukan pemeriksaan dengan cemas. Arhan juga tampak tidak senang. Dia menatapku dengan tatapan tidak karuan, seolah-olah bisa menangis kapan saja."Kok aku bisa hamil? Kamu tahu ini anak siapa?" tanyaku. Aku cuma percaya pada Erick, tetapi Erick tidak mau memberitahuku apa-apa.Erick hanya bilang kesehatanku kurang baik, jadi anak ini tidak bisa dipertahankan. Aku tidak peduli. Lagi pula, aku tidak bisa menjaga anak ini setelah melahirkannya nanti.Setiap hari, kerjaanku hanya makan dan tidur. Meskipun selalu lupa, kehidupanku sangat bahagia. Sampai suatu hari, seorang wanita muncul di hadapanku."Elena, kamu sengaja menggunakan anak untuk mengikat pria, 'kan? Dasar tercela," ejek wanita itu.Paras wanita ini sangat cantik, tetapi sikapnya padaku tidak baik. Aku tidak ingin menghiraukannya, tetapi dia terus menggangguku."Hei, bicara! Nggak ada gunanya pura-pura

  • Rahasia yang Tak Kau Ketahui   Bab 10

    Menyebalkan sekali, aku lagi-lagi mendengar keributan.Aku membuka mata dengan susah payah, lalu melihat dua pria tampan berdebat di depanku. Wajah keduanya terluka. Satpam berusaha melerai dan membujuk, "Tenangkan diri kalian. Bicara baik-baik kalau ada masalah."Aku bangkit dan duduk di ranjang. Aku menatap pria berjas putih, lalu melambaikan tangan untuk memanggilnya. Namun, pria bersetelan di sampingnya malah terlihat lebih tergesa-gesa.Pria itu sontak berlutut di depan ranjangku, lalu bertanya dengan wajah berlinang air mata, "Nana, kamu masih ingat aku?"Nana? Kenapa ada orang yang memanggilku dengan panggilan seperti itu? Aku mengernyit sambil menarik tanganku dari genggamannya."Siapa kamu? Aku mengenalmu? Kak Erick, dia temanmu?" tanyaku dengan kebingungan.Erick bergegas menghampiri, lalu bertanya dengan wajah agak pucat, "Elena, kamu bilang apa tadi? Kamu sudah lupa siapa dia?"Aku mengejapkan mataku sambil berpikir dengan cermat. Namun, aku yakin tidak mengenalnya.Arhan s

  • Rahasia yang Tak Kau Ketahui   Bab 9

    Erick membantuku memesan tiket ke Negara Darsha untuk minggu depan. Sebelum pergi, aku membeli leci favorit ibu Arhan untuk memberi penghormatan terakhir di makamnya. Ini tidak ada hubungannya dengan Arhan. Ibu Arhan memang berjasa padaku.Ibu Arhan dimakamkan di pemakaman termewah di pinggir kota. Di potretnya, terlihat senyumannya yang lembut dan damai, persis dengan yang ada di ingatanku.Aku membungkuk untuk membersihkan makam ibu Arhan. Tiba-tiba, terdengar suara familier dari belakangku. "Bu Elena, kenapa kamu ada di sini?"Itu Nikita. Nikita berkata dengan lembut, "Kamu mau bersihkan makam calon mertuaku ya? Baik hati sekali. Lain kali nggak usah repot-repot. Aku bakal suruh orang bersihkan nanti."Di hadapanku, Nikita melempar bunga yang kubawa. Aku tidak sengaja melirik gelang di pergelangan tangan Nikita. Itu adalah gelang yang sangat familier!Aku mengepalkan tanganku, lalu bertanya, "Kenapa kamu bisa pakai gelang itu?"Gerak-gerik Nikita terlihat sangat angkuh. Dia menyahut

  • Rahasia yang Tak Kau Ketahui   Bab 8

    Hari ini seharusnya tanggal 15 November. Begitu membuka mata, aku langsung melihat kalender ponsel.Ketika aku bangun, seorang dokter berjas putih berdiri di sampingku. Aku ingat dia. Dia Erick, kakak kelas sekaligus dokter penanggung jawabku.Masih ada seorang pria yang berdiri di depanku. Ekspresinya tampak galak. Pria itu berkata, "Main pingsan begitu saja. Sejak kapan kamu begitu pintar berakting?"Kepalaku sakit untuk sesaat. Detik berikutnya, aku baru ingat dia adalah Arhan. Aku bertanya, "Bukannya kamu sudah tunangan? Kenapa masih kemari?"Arhan terkekeh-kekeh dan tidak menanggapi pertanyaanku. "Saat mengantarmu ke rumah sakit, kudengar kamu sering cari pria ini. Sebelumnya aku penasaran gimana hidupmu selama dua tahun menghilang. Sekarang aku sudah dapat jawabannya."Arhan berjalan ke hadapan Erick sambil menatap Erick dengan tatapan penuh amarah. "Sayangnya, kamu kurang jago. Masa nggak ada hasil apa-apa selama dua tahun? Terakhir aku yang untung."Hinaan yang terang-terangan

  • Rahasia yang Tak Kau Ketahui   Bab 7

    Beberapa hari kemudian, foto pertemuan antara Arhan dengan CEO Grup Ecostar menjadi berita utama di berbagai media besar.Kemudian, Arhan dan Nikita melakukan wawancara. Nikita merangkul lengan Arhan dengan mesra. Keduanya terlihat sangat serasi."Bu Nikita, apa kamu pernah dengar tentang rumor yang berkaitan dengan Bu Elena? Apa ada yang ingin kamu katakan?" tanya reporter.Nikita menyahut dengan murah hati, "Siapa yang tidak punya mantan pacar di zaman sekarang? Itu bukan masalah. Yang paling penting adalah aku dan Arhan menemukan sesama. Kami bakal hidup bahagia di masa depan. Jadi, nggak usah bahas orang tak berkepentingan seperti itu."Aku duduk di depan TV sambil menonton seluruh wawancara dengan ekspresi datar. Seorang gadis yang berdiri di belakangku tampak memasang ekspresi angkuh dan mendengus. Dia mendekatiku sambil berkata, "Bu Nikita akan jadi istri sah Pak Arhan sebentar lagi. Rumah ini bakal jadi properti mereka. Sebaiknya kamu pindah sekarang."Aku malas meladeninya. Ak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status