Short
Hadiah Jenazah Untuk Perebut Posisiku

Hadiah Jenazah Untuk Perebut Posisiku

By:  PeachCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
10Chapters
1views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Aku menunggu donor jantung selama dua tahun, tetapi jantung itu malah ditransplantasikan oleh suamiku kepada putri palsu keluarga kaya, Inara. Dokter mengatakan aku hanya memiliki sisa waktu hidup satu minggu. Karena itu, aku memutuskan untuk membekukan jenazahku. Aku menyumbangkan jasadku sendiri kepada studio milik Inara. Pada hari aku menandatangani surat donasi, anakku berlari memelukku dan berkata bahwa akhirnya Mama dan Bibi sudah berdamai kembali. Orang tuaku memujiku karena akhirnya aku mengerti arti kasih sayang antarsaudari dan mau saling membantu. Suamiku pun merasa lega, mengatakan bahwa aku akhirnya melepaskan ganjalan di hati dan menjadi lebih pengertian. Aku tersenyum tipis. Ya, kali ini aku benar-benar sudah belajar untuk patuh. Aku akan mengembalikan identitas putri Keluarga Mahardian kepada Inara dan mengabulkan keinginan kalian semua.

View More

Chapter 1

Bab 1

"Waktumu sudah nggak banyak. Setelah ini, berpamitanlah dengan baik kepada keluargamu." Nada bicara dokter penanggung jawab itu sangat lembut dan penuh empati, tetapi rasanya seperti sebongkah batu besar menghantam dadaku.

Padahal, dari dulu aku memang menebak hasilnya. Namun, ketika vonis "hukuman mati" itu benar-benar dijatuhkan, aku tetap tak kuasa menahan air mata.

Aku baru 28 tahun. Demi bisa bertahan hidup, aku selalu berusaha sekuat tenaga. Tak kusangka, donor jantung yang akhirnya kutunggu dengan susah payah malah direbut oleh suamiku. Jantung itu ditransplantasikan kepada Inara, si putri palsu, yang mengalami gagal jantung.

Dengan langkah limbung, aku mendatangi ruang rawat Inara. Di sana, aku melihat ayah dan ibuku, suamiku Dzaki, serta putraku Mirda, semuanya mengerubungi Inara dan menunjukkan perhatian yang hangat.

Begitu melihatku masuk, Dzaki yang semula sedang menyuapi Inara segera meletakkan gelas air dan berjalan menghampiriku. "Apa kata dokter?" tanyanya.

Aku menatapnya. Dia langsung menghindari tatapanku dengan gelisah, lalu menjelaskan terbata-bata, "Waktu itu keadaannya darurat. Kalau nggak segera diganti jantungnya, Inara bisa mati kesakitan."

Ibuku segera menimpali, "Dzaki benar. Perdita, ini soal nyawa manusia. Kamu nggak mungkin sebegitu nggak dewasanya sampai marah sama kami hanya karena ini, 'kan?"

Kata-kata yang sudah hampir keluar dari bibirku, kutelan kembali. Aku berkata dengan nada datar, "Aku nggak marah. Dokter bilang, seminggu lagi akan ada kabar baik."

Aku berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Kabar yang baik untuk kita semua."

Dzaki mendorong kacamata berbingkai emas di pangkal hidungnya. Sepasang mata indah di balik lensa itu seketika dipenuhi senyum. "Secepat itu sudah ada donor jantung yang cocok? Sudah kuduga, keputusan hari itu memang benar."

Ayahku pun menghela napas lega dan tersenyum. "Inara memang anak yang bernasib baik. Kalau donor jantung itu nggak diberikan padanya, dia pasti nggak akan bisa menunggu sampai seminggu ke depan."

Ibuku mengangguk berulang kali. Dia menyibakkan anak rambut di pelipis Inara ke belakang telinganya dengan lembut, lalu berkata, "Kemujuran Inara kami masih panjang ke depannya."

"Nggak kayak seseorang. Padahal masih bisa terus menunggu donor jantung, tapi malah buat keributan besar sampai mempermalukan Keluarga Mahardian."

Meski aku sudah lama kecewa pada mereka, pada saat ini juga, hatiku tetap terasa perih. Aku menggenggam erat ujung gaunku, barulah kesedihan yang hampir meluap dari mataku bisa surut kembali.

Dzaki menatapku dengan lembut, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar ketus, "Memang hari itu kamu terlalu impulsif. Menurutku, kamu seharusnya minta maaf sama Inara."

Aku menatapnya dengan tidak percaya. Inara telah merebut jantungku, dan sekarang aku masih harus meminta maaf padanya?

Ibuku ikut menimpali, "Benar. Lagian, kalau bukan karena hari itu kamu menindas Inara, dia nggak akan mengalami nyeri jantung."

"Kamu seharusnya bersyukur dia sekarang masih bisa berbaring dengan baik di sini. Kalau nggak, seumur hidup aku nggak akan mengakui kamu sebagai anakku."

Aku teringat hari itu, ketika Inara berdiri di hadapanku dengan wajah penuh kemenangan dan sengaja memamerkan bekas-bekas di lehernya. Dia menyombongkan betapa Dzaki begitu menyayanginya, betapa Dzaki tidak mampu menahan diri demi dirinya ....

Aku tidak bisa menahan diri dan menamparnya. Kebetulan, mereka semua melihat kejadian itu. Dzaki menerjang ke depan dengan marah dan mendorongku.

Aku terjatuh ke lantai. Dalam pandangan yang berkunang-kunang, ibuku menerjang maju dan memukuliku. Ayahku hanya berdiri tidak jauh dari sana, seolah dia juga merasa aku pantas diberi sedikit pelajaran.

Tak lama kemudian, penyakit jantungku kambuh, sementara Inara juga memegangi dadanya sambil mengeluh kesakitan. Namun, semua orang mengira aku hanya berpura-pura, sedangkan dia benar-benar sakit.

Memikirkan hal itu, aku menarik sudut bibir dengan getir dan berkata datar, "Maaf. Ini salahku."

Tak seorang pun menyangka aku akan meminta maaf dengan begitu patuh.

Tatapan Dzaki tampak menyelidik terhadapku.

Inara pun mengerutkan alisnya yang indah, memperlihatkan ekspresi seolah berkata, "Kenapa kamu bisa jago akting begini?".

Ayah dan ibuku bahkan menatapku dengan penuh kewaspadaan, seakan takut aku akan kembali membuat keributan.

Hanya anakku yang tampak benar-benar bahagia. Dia berlari dan memelukku sambil berkata, "Mama, hebat sekali. Akhirnya Mama mengakui kesalahan."

"Mulai sekarang Mama jangan lagi ganggu Bibi, ya. Kalau nggak, aku juga akan benci Mama kayak Nenek dan Kakek."

Aku menundukkan pandangan menatapnya. Sikap dingin, kesalahpahaman, dan keberpihakan orang tua serta suamiku masih bisa kuterima.

Namun, dia berbeda. Anak yang kukandung selama sembilan bulan ini malah lebih menyayangi Inara. Itulah satu-satunya hal yang tak sanggup kuterima. Hanya saja, aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk memperjuangkan apa pun.

Aku mengusap lembut pipinya, tersenyum, lalu berkata, "Mama bakal dengarin kamu."

Barulah ibuku mengangguk puas dan berkata, "Hm, sepertinya Perdita akhirnya belajar patuh."

Dzaki pun benar-benar menghela napas lega. "Istriku akhirnya 'dewasa'."

Melihat ekspresinya yang pura-pura penuh kasih, dadaku justru terasa mual.

Saat itu juga, Inara tiba-tiba menjerit pelan, "Sakit sekali," dan Dzaki langsung bergegas menghampirinya.

Anakku yang barusan masih berada dalam pelukanku pun melepaskan tangannya dan ikut berlari ke sana sambil berseru, "Bibi, bagian mana yang sakit? Aku tiupin ya."

Ayah dan ibuku bahkan memerah matanya karena khawatir. Sementara aku yang berdiri jauh di sana, terasa seperti seorang badut. Aku tidak sanggup lagi bertahan dalam suasana seperti itu. Dengan alasan aku lelah, aku berbalik dan meninggalkan ruang rawat.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status